Ahmad Amin

Ahmad Amin - selain disebut-sebut sebagai budayawan, cendekiawan, sejarawan Mesir dan salah satu guru besar yang berjasa mengembangkan bahasa Arab di Mesir, - dia juga dikenal sebagai salah satu tokoh kontroversial Mesir karena beberapa pemikirannya, terutama dalam bidang hadits yang dinilai berseberangan dengan alur pemikiran para ulama pada umumnya.[1][2][3] Namun pemikirannya yang demikian dalam bidang tersebut tidak bisa dimungkiri memiliki pengaruh besar, tidak hanya di tanah airnya, melainkan juga di seluruh dunia Islam.[2][4]

Kehidupan: Keluarga, Pendidikan, dan Karier

Ahmad Amin lahir di Kairo pada awal bulan Oktober, 14 tahun menjelang akhir abad XIX, tepatnya, 1 Oktober 1886 M. atau yang bertepatan dengan 2 Muharram 1304 H. dan meninggal pada tanggal 30 Mei 1954 M. yang bertepatan dengan 30 Ramadham 1373 H. di Kairo pada umur 68 tahun.[4] Sejak kecil dia hidup di tengah keluarga yang terdidik dan penuh disiplin.[4] Sang ayah juga membuatkan rumah yang dipenuhi dengan beberapa literatur beragam bidang keilmuan untuk Amin bersama saudara-saudarinya yang lain, yang membuat mereka betah di dalamnya.[4]

Pendidikan lain yang diterima Amin, selain dari kondisi keluarganya yang demikiran ketat mendidik anak-anaknya, dia juga belajar di Kuttāb untuk tingkat dasar dan menengah.[4] Selanjutnya dia juga belajar di Al-Azhar hingga menamatkan Jurusan Peradilan Agama, kemudian - di samping menjabat sebagai Hakim pada Lembaga Peradilan Agama, - dia juga mengajar sampai tahun 1921.[4][5] Beberapa tahun tinggal di sekitar Al-Azhar, kemudian Amin memutuskan untuk pindah ke Kairo.[4] Di kota kelahirannya tersebut, pada tahun 1926, dia diangkat menjadi dosen Fakultas Sastra Arab (Kulliyat al-Adab) di Al-Jami'ah Al-Mishriyyah (Mesir University), yang selanjutnya diangkat menjadi dekan di perguruan tinggi tersebut secara berturut-turut pada tahun 1939.[4][5] Berikutnya, pada tahun 1947, dia diangkat menjadi rektor pada Direktorat Kebudayaan di Liga Arab (Jami'ah Ad-Duwal Al-'Arabiyyah) hingga wafatnya.[4][5]

Selain memangku jabatan resmi di atas, Ahmad Amin juga aktif di beberapa kegiatan keilmuan lainnya, seperti menjadi anggota Dewan Keilmuan Arab (Al-Majma' al-'Ilm al-Arab) di Syiria; Dewan Bahasa di Kairo; dan anggota Dewan Keilmuan Irak di Baghdad.[4] Karena keaktifan tersebut, pada tahun 1948 Universitas Kairo menganugerahkan gelar Doktor Honoris Causa padanya.[3][4]

Pemikiran dalam Bidang Hadits

Terlepas dari semua prestasi dan reputasinya di dunia Internasional, atau setidanya di tiga negara Arab, yakni di Mesir, Irak, dan Syiria, Ahmad Amin tidak pernah lepas dari kritik dan kecaman dari berbagai pihak, antara lain dari Mushthafa As-Siba'i terkait pemikirannya yang kontorversial, secara khusus dalam bidang hadits.[1][4][5] Beberapa butir pemikiran Ahmad Amin antara lain sebagai berikut:

  • Penulisan Hadits
Mengenai penulisan hadits, menurut Ahmad Amin, sebenarnya hadits tidak ditulis pada masa ketika Nabi masih hidup.[5] Ia hanya diriwayatkan berdasarkan ingatan para periwayatnya, sehingga hal tersebut menyebabkan lahirnya banyak hadits palsu.[5][6] Usaha ulama untuk melakukan kajian pun - menurutnya - tidak berhasil karena mereka hanya melakukan kritik sanad hadits dan tidak kritis dalam menilai keadilan para sahabat Nabi dan matan hadits itu sendiri.[5]
  • Subyektivitas Pengumpul Hadits
Menurut pandangan Ahmad Amin, periwayat atau pengumpul hadits, seperti Imam Al-Bukhari, Imam Muslim dan Imam Ahmad yang dinilai adil oleh para ulama pada dasarnya mereka tidak tsiqah karena adanya subyektivitas politik.[5] Amin mencontohkan, Imam Ahmad banyak meriwayatkan hadits-hadits Amawiyah, sedangkan Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim justru sebaliknya, yakni mereka berpihak pada Abbasiyah.[5]

Karya-karya

Ahmad Amin adalah figur yang produktif.[3] Ada banyak karya yang sudah dihasilkannya, antara lain:

  1. Fajrul Islām;
  2. Fayd al-Khāthir;
  3. Zhuhrul Islam;
  4. Yaumul Islam;
  5. Asy-Syarq wa al-Gharb;
  6. An-Naqdul Adabi;
  7. Zumala'ul Ishlāh fil 'Ashril Hadits;
  8. Mabādi'ul Fashāhah;
  9. Hārun Ar-Rasyid;
  10. Al-Akhlāq;
  11. Dhuha al-Islam
  12. Hayātī; dan lain-lain.[3][5]

Referensi

  1. ^ a b (Indonesia) Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran (Jakarta: Gema Insani Press, 2008), hal. 38.
  2. ^ a b (Indonesia) Nina M. Armando (et. al), Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ikhtiar Baru van Hoeve, 2005), I, hal. 189.
  3. ^ a b c d (Indonesia) Muhammad Makmun, “Ahmad Amin: Sastrawan Hadits yang Kontroversial,” dalam Yang Membela dan Yang Menggugat, ed. Muammar Zayn Qadafy (Yogyakarta: Interpena, 2011), hal. 201, 203.
  4. ^ a b c d e f g h i j k l (Indonesia) Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan As-Sunnah, (Bogor: Prenada Media, 2003), hal. 1-2, 80-87, 93-134.
  5. ^ a b c d e f g h i j (Indonesia) Abdul Majid Khon Pemikiran Modern dalam Sunnah, (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 83, 92.
  6. ^ (Indonesia) Syuhudi Ismail, Hadits Nabi menurut Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hal. 40.