Agus Djaya (nama lengkap Raden Agoes Djajasoeminta, 1 April 1913 – 24 April 1994) merupakan pelukis asal Indonesia. Di zaman pendudukan Jepang, ia direkomendasikan oleh Bung Karno untuk menjadi Ketua Pusat Kebudayaan Bagian Senirupa (1942-1945). Pada zaman revolusi kemerdekaan ia aktif sebagai Kolonel Intel dan F.P (Persiapan Lapangan). Namun, setelah kemerdekaan ia kembali aktif ke dunia seni rupa.
Ada suasana magis terpancar dari warna biru dan merah Agus Djaya. Sosok-sosok penari yang tampil dalam lukisannya merupakan penampilan suasana ritual dari masyarakat yang maísih sangat dekat dengan alam. Warna biru dan merahnya seperti sudah menemukan karakter tersendiri, sehingga merupakan idiom yang khas dari Agus. Dunia pewayangan rupanya amat menarik hati pelukis kelahiran Pandeglang, Banten ini. Dalam kanvas-kanvasnya, apabila Agus mengerjakan objek wayang, terasa ada kekayaan.
Lukisan Agus Djaja yang berjudul "Kuda Kepang" (1975), cat air, 50 x 68 cm memiliki warna meriah dan humor yang membersit di sana-sini, agus juga terampil menangkap segi-segi lucu kehidupan. Dinyatakan sebagai salah seorang cikal-bakal seni lukis Indonesia, Agus pendiri dan Ketua Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) organisasi pertama para seniman seni rupa Indonesia periode 1937-1942.
Cita-cita yang terkandung dalam Persagi sering disebut menyatu dengan cita-cita pergerakan nasional. Reproduksi lukisannya banyak mengisi buku koleksi lukisan Presiden Soekarno, yang dicetak di Beijing 1960-an. Ia menerima pendidikan kesenian dari Akademi Seni rupa Amsterdam, Belanda.
Kadang-kadang sambil bergurau, Agus menertawakan dirinya yang bekerja seni untuk seni, dengan mengorbankan karier sebagai calon jenderal. April 1976 ia berpameran tunggal di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Yang pertama kali setelah absen berpameran tunggal selama 40 tahun. Lebih dari 70 buah lukisan dipajangnya. Tampak percobaan untuk beranjak dari seni-sosok menuju lukisan-lukisan yang sifatnya abstrak, atau semi-abstrak. Ia mencita-citakan lahirnya corak seni-lukis Indonesia yang khas. Bukan perbedaan-perbedaan bentuk, katanya, akan tetapi sari. Tetapi lebih penting dari itu adalah corak pribadi, tutor mantan tentara dengan 11 tanda jasa ini, ia lalu menyebut nama Affandi sebagai yang sudah punya corak kepribadian.
Sering berpameran baik itu di dalam maupun di luar negeri, di dalam negeri seperti di Taman Ismail Marzuki, Balai Budaya, Museum Pusat, Mitra Budaya, Lembaga Indonesia (LIA), Oet’s fine art gallery, dll. Sedangkan pamerannya di luar negeri seperti di Stedelijk Museum Amsterdam, Galerie Barbison Paris, Grand Prix des Beaux Art Monaco, Biennale Sao Paolo Brazil, International Art Gallery Sydney dll. Ia berharap generasi muda Indonesia mampu memenuhi museum-museum yang penuh dengan koleksi senilukis sebagai ciri dari mutu seni budayanya sendiri.
Tentang organisasi yang ada pada masa Persagi. Banyak tokoh yang muncul saat itu salah satunya adalah Agus Djaya. Tokoh yang satu ini lahir di Pandeglang, Banten tanggal 1 April 1913 dengan nama aslinya Raden Agus Djaya Suminta, Dia merupakan pendiri Persagi (Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia), yang juga ketua selama empat tahun pada 1938 – 1942.
Semasa kecilnya, saudara kandung, R. Otto Djaya yang juga terkenal sebagai pelukis besar Indonesia ini pernah berkeinginan menjadi dokter dengan alasan banyak anggota keluarga yang menjabat profesi tersebut, namun karena bakat seni yang kuat dari ibunya ditambah pengarahan dari guru gambarnya semasa sekolah di H.I.S. Pandeglang, Suwanda Mihardja, membuat Agus Djaja menjadi seorang pelukis. Setelah lulus HIS Agus Djaja melanjutkan sekolah ke MULO, Bandung pada tahun 1923, kemudian ke Middelbare Landbouw School, Bogor (1923-1924), dan diteruskan ke H.I.K. Lembang,Bandung tahun 1927.
Selama di Eropa, Agus Djaya juga berkenalan dengan pelukis-pelukis besar Eropa seperti Pablo Picasso di Vallauris, Prancis Selatan. Juga bersahabat dengan perupa dunia Salvador Dali di Madrid, Spanyol. Termasuk dengan pematung Paris asal Polandia, Ossip Zadkine.
Setelah memiliki kesempatan yang luar biasa di luar negri, akhirnya ia kembali juga ke tanah air. Selama di tanah air, prestasi dia makin tenggelam dengan dunia seni rupa, hingga suatu ketika ia memutuskan meninggalkan Ibu kota, hijrah ke Kuta, Bali. Di sanalah ia mendirikan studio sekaligus galeri impian di tepi Pantai Kuta.