Aenesidemus (lahir abad ke-1 SM, Knossos, Kreta) adalah seorang filsuf dan ahli dialektika dari sebuah perguruan tinggi di Yunani yang menghidupkan kembali prinsip Pyrrhonian. adalah aliran skeptisisme filosofis Yunani Kuno yang menolak dogma dan menganjurkan Epoche, yaitu penangguhan penilaian atas kebenaran semua keyakinan. Pyrrhonisme merupakan solusi praktis terhadap masalah pengetahuan yang masih rumit dan “belum terpecahkan”.
Menurut Amy Tikkanen, Aenesidemus dalam tulisannya yang berjudul Pyrrhonian Discourses, merumuskan 10 teori untuk membela Skeptisisme, empat argumen untuk sifat-sifat yang muncul akibat mempersepsi, dua tentang hal yang dirasakan, dan empat mengenai hubungan antara yang mempersepsi dan hal yang dirasakan.[1]
Gisela Striker menulis sangat sedikit yang diketahui tentang biografi Aenesidemus. Dia pernah tinggal di Alexandria (Aristocles ap. Eusebius, Praep. ev. XIV 18.22). Photius menyebut Aenesidemus mendedikasikan sebuah buku kepada “sesama Akademisi,” Roman L. Tubero, dan ini sebagai bukti bahwa dia adalah sarjana yang skeptis, namun kemudian memutuskan untuk berdebat. Tentu saja ini merupakan suatu bentuk skeptisisme berbeda tentang Pyrrho.[2]
Dari catatan Photius diketahui bahwa Aenesidemus tidak puas dengan perubahan dogmatis yang diadopsi perguruan tinggi, maka dia mengajukan banding kepada pendiri gerakan skeptis. Menurut Aenesidemus, dogmatis itu mitos. Tidak diketahuo dengan pasti perkenalan Aenesidemus dengan tradisi Pyrrhonist. Namun, para ahli sepakat bahwa Daftar Tropes merupakan karya Aenesidemus, karena dia orang pertama yang menyajikan artikel tentang sistematis argumen Pyrrhonist.
Dialektika Logika
Dialektika, pada awalnya merupakan suatu bentuk argumentasi logis, tapi sekarang menjadi konsep filosofis evolusi yang diterapkan pada berbagai bidang ilmu pengetahuan termasuk pemikiran, ilmu alam, dan sejarah.
Pada kalangan pemikir Yunani klasik, makna dialektika adalah teknik sanggahan dalam perdebatan. Teknik menyanggah dengan menggunakan metode evaluasi definisi secara sistematis, sampai kepada penyelidikan dan klasifikasi hubungan antara konsep-konsep khusus dan umum.
Sejak masa para filsuf Stoa hingga akhir abad pertengahan Eropa, dialektika merupakan ilmu logika formal. Immanuel Kant menyebut "dialektika transendental” sebagai upaya mengungkap adanya ilusi yang terlibat dalam upaya menggunakan kategori serta prinsip pemahaman di luar batas fenomena kemungkinan dan pengalaman.
GWF Hegel mendefenisikan dialektika sebagai kecenderungan suatu gagasan untuk beralih ke negasinya sendiri, sebagai akibat dari konflik antara aspek-aspek inheren yang bertentangan. Defenisi ini diadopsi Karl Marx dan Friedrich Engels dan menerapkannya pada proses sosial dan ekonomi.
Zaman Filsafat
Amy Tikkanen melanjutkan, Epochē, dalam filsafat Yunani, “penangguhan penilaian atas kebenaran semua keyakinan,” adalah sebuah prinsip yang awalnya dianut oleh para skeptis filosofis nondogmatis dari perguruan tinggi di Yunani kuno. Aliran ini memandang masalah pengetahuan merupakan suatu hal yang tidak dapat diselesaikan. Aliran ini juga berpendapat ketika kontroversi muncul, maka kita harus netral agar mendapatkan ketenangan pikiran dalam menjalani kehidupan sehari-hari.[1]
Epoche digunakan pada abad ke-20 oleh Edmund Husserl, pendiri aliran fenomenologi. Edmund menilai epoche adalah sebuah teknik yang lebih mendasar dari abstraksi dan pemeriksaan esensi. Epocje berfungsi untuk menyoroti kesadaran itu sendiri. Menurut dia, filsuf harus mempraktikkan keraguan Cartesian, yang bersifat metodis dan tentatif. Terutama untuk semua hal yang masuk akal. Begitu juga dengan semua hal yang bersifat empiris-alami. Filsuf harus menempatkan hal-hal tersebut pada penangguhan keyakinan transendental.
Edmud melanjutkan, filsuf harus mengenyampingkan keyakinannya dan fokus pada realita, seperti halnya melihat rumah, pepohonan, dan manusia, sama halnya dengan kesadarannya terhadap hal-hal tersebut. Dengan demikian, kesadaran tersebut kebal terhadap zaman yang melenyapkan objek-objeknya.
Namun, zaman telah menyelesaikan tugasnya, segera setelah kesadaran diwujudkan ke dalam persepsi batinnya, karena hanya dengan demikianlah kesadaran dapat dikenai abstraksi generalisasi dan pemeriksaan esensi yang sama seperti yang telah diterapkan pada objek-objeknya. Dengan demikian, dihasilkan fenomenologi murni yang melengkapi ontologi (teori keberadaan) untuk area khusus dan menjelaskan tentang munculnya atau diberikanya suatu objek.
Referensi
- ^ a b Tikkanen, Amy (2924-05-05). "Aenesidemus Greek philosopher". Britannica.
- ^ Striker, Gisela (2022-06-05). "5 - The Ten Tropes of Aenesidemus". Cambridge University Press. Diakses tanggal 2024-05-25.