Adiguna Sutowo (31 Mei 1958 – 18 April 2021) adalah seorang pebisnis asal Indonesia. Bisnisnya antara lain, Hard Rock Cafe di Jakarta. Pada tahun 2005, Adiguna divonis bersalah karena membunuh seorang pelayan di Hotel Hilton, Jakarta, yang dimiliki oleh keluarga Sutowo.[1] Ia pun dihukum penjara selama tujuh tahun, tetapi dibebaskan dalam waktu kurang dari tiga tahun. Ia meninggal pada tanggal 18 April 2021 di Rumah Sakit Pusat Pertamina.
Awal mula dan pendidikan
Adiguna lahir di Jakarta pada tanggal 31 Mei 1958 sebagai anak terakhir dari Ibnu Sutowo dan Zaleha. Saudaranya adalah Nuraini Zaitun Kamarukmi Luntungan, Endang Utari Mokodompit, Widarti, Pontjo Nugro Susilo, Sri Hartati Wahyuningsih, dan Handara.
Ayahnya memimpin Pertamina mulai tahun 1957 hingga 1976, yang mana melalui pengelolaan yang korup, memungkinkannya memperkaya diri dan hampir membuat Pertamina bangkrut, padahal pada dekade 1970-an terjadi ledakan permintaan minyak global.[2][3]
Adiguna lalu bersekolah di SMA Negeri 4 Jakarta. Sebagai anak terakhir, ia diberitakan dimanja oleh ibunya dan diperbolehkan mengemudikan mobil Mercedes-Benz ke sekolah. Mantan teman sekelasnya ingat bahwa Adiguna sering bolos untuk berburu di hutan bersama gengnya, namun tetap berhasil naik kelas.[4]
Adiguna kemudian berkuliah bisnis di University of Southern California. Ia lalu kembali ke Indonesia pada tahun 1981 untuk mulai berbisnis.
Insiden senjata Kemang 2004
Pada bulan Oktober 2004, Adiguna mengancam akan membunuh David Reynaldo Titawono (saat itu masih berusia 22 tahun), keponakan dari musisi rock Achmad Albar dan penyanyi Camelia Malik.[5] Insiden tersebut terjadi di Kemang, Jakarta Selatan, diberitakan di sebuah properti milik Ricardo Gelael, yang merupakan suami dari mantan istri Achmad Albar, Rini S. Bono. Sejumlah saksi mata menyatakan bahwa Adiguna, yang ditemani oleh pengawalnya, menembak sekitaran telinga David. Pasca insiden tersebut, polisi mencabut izin senjata api milik Adiguna dan menyita sebuah senjata api yang menembakkan peluru karet.[6][7]
Menurut pemberitaan media lokal, sebuah pertengkaran terjadi antara David dan salah satu keponakan Adiguna, sehingga membuat Adiguna mengintervensi. Ricardo Gelael tidak melaporkan insiden tersebut ke polisi, namun keluarga Achmad Albar melaporkan. Adiguna dan Ricardo kemudian dimintai keterangan di Markas Polda Metro Jaya, namun kasus tersebut akhirnya berakhir dengan damai dan keluarga Achmad Albar pun menarik laporannya.[8] Camelia Malik mengkonfirmasi kepada majalah Gatra bahwa “Adiguna tidak sengaja menembak keponakan saya dengan senapan angin, dan hampir mengenai telinganya."
Pembunuhan Tahun Baru
Pada tanggal 1 Januari 2005 sekitar jam 04:47, Adiguna menembak mati seorang pelayan bernama Yohanes Brachmans Haerudy Natong (biasa dipanggil Rudy), di Island Bar Fluid Club & Lounge yang terletak di lantai satu Hilton Hotel Jakarta.[9]
Adiguna merayakan tahun baru di klub malam Dragonfly bersama istri keduanya, Vika Dewayani, serta temannya, Novia Herdiana alias Tinul dan Thomas 'Tom' Edward Sisk. Mereka kemudian pergi ke Hilton Hotel, dan langsung menuju ke kamar Adiguna. Sekitar jam 03:00, Adiguna, Tinul dan Tom keluar dari kamar dan pergi ke Fluid Club, di mana mereka berbincang dengan orang lain yang ada di sana. Tom lalu pergi ke lounge, sementara sekitar jam 04:40, Adiguna duduk di bar dan Tinul berdiri di sampingnya. Tinul kemudian memesan vodka tonik untuk Adiguna dan martini leci untuk dirinya sendiri. Tinul lalu bertanya kepada Rudy apakah minuman tersebut dapat dibayar bersamaan dengan pembayaran kamar. Rudy lalu menjawab bahwa hal tersebut tidak dapat dilakukan, sehingga Tinul membayar tagihan bar sebesar Rp 150.000 dengan menggunakan kartu Visa HSBC miliknya. Adiguna kemudian memesan minuman yang sama sebanyak dua kali dan berupaya membayarnya dengan kartu debit BCA. Rudy pun mengambil kartu tersebut dan bertanya kepada kasir Hari Suprasto apakah kartu tersebut dapat digunakan. Hari lalu menjawab bahwa mesin untuk memproses kartu tersebut belum tersedia. Rudy pun mengembalikan kartu tersebut ke Tinul, yang kemudian memberikan kartu tersebut Adiguna.[10] Rudi lalu menjelaskan bahwa kartu tersebut tidak dapat digunakan karena bar belum memiliki mesin untuk memprosesnya. Hal tersebut pun membuat Tinul kecewa dan mengatakan “Tidakkah kamu tahu siapa dia? Dia adalah pemegang saham terbesar dari hotel ini!”, sambil menunjuk ke arah Adiguna, yang duduk di sebelahnya.[11]
Adiguna kemudian marah, berdiri, dan mengambil sebuah pistol Smith & Wesson kaliber .22 dari celana panjangnya dan mengarahkan pistol tersebut ke kepala Rudy. Polisi menyatakan bahwa Adiguna menarik pelatuk pistol tersebut sebanyak dua kali, namun baru pada tarikan ketiga, pistol tersebut mengeluarkan peluru, yang akhirnya mengenai kepala Rudy. Pelayan tersebut pun jatuh dan meregang nyawa.[12] Adiguna lalu mengelap pegangan pistol tersebut, dan menyerahkannya ke disc jockey, Werner Saferna alias Wewen, yang berdiri sekitar satu meter darinya. Adiguna kemudian keluar dari klub tersebut.[13]
Tubuh Rudy kemudian dikeluarkan dari bar dan dibawa ke klinik dari hotel tersebut. Tubuh Rudy lalu dibawa ke RSAL Dr. Mintohardjo, di mana Rudy diumumkan meninggal dunia. Jenazah Rudy pun dijaga oleh dua orang satpam Hilton Hotel dan seorang satpam Fluid Club. Tunangan Rudy, Riska Leliana, lalu mengeluh karena manajemen klub tersebut tidak meminta maaf ataupun bersimpati atas kematian Rudy.
Polda Metro Jaya kemudian menetapkan Adiguna sebagai tersangka. Di kamar Adiguna, yakni kamar nomor 1564, lalu ditemukan 19 butir peluru yang sama dengan yang digunakan untuk membunuh Rudy. Peluru tersebut disembunyikan di toilet.[14] Polisi kemudian menemukan bahwa Adiguna sedang dalam pengaruh metamfetamin kristal dan alkohol saat berada di bar.[15] Adiguna lalu diketahui mengalami mimisan pada pagi hari sebelum berada di bar. Polisi juga menemukan tisu, saputangan, dan handuk yang penuh dengan noda darah di kamarnya di Hilton. Polisi awalnya menduga bahwa darah tersebut adalah darah Rudy, namun pemeriksaaan forensik kemudian menyimpulkan bahwa darah tersebut adalah darah Adiguna. Detikcom kemudian memberitakan bahwa polisi menyatakan bahwa mimisan dapat disebabkan oleh penghirupan narkotika, karena Adiguna cenderung mengkonsumsinya dengan cara tersebut.[16]
Adiguna membantah telah menembak Rudy. Ia menyatakan kepada polisi bahwa ia hanya melewati Fluid Club untuk mencari anaknya.[17] Ia juga membantah telah duduk di bar tersebut dan berbincang dengan Tinul. Ia pun membantah telah membawa pistol. Ia mengklaim bahwa ia membantu membawa Rudy, sehingga akhirnya terdapat noda darah di bajunya. Namun pengacaranya menyatakan bahwa darah tersebut adalah darah Adiguna, bukan darah Rudy.[18]
Wewen, yang mendapat pistol dari Adiguna, menyimpan pistol tersebut di rumahnya selama lima hari, sebelum akhirnya menyerahkannya ke polisi dan memberikan keterangan.[19] Pemeriksaaan balistik kemudian menyimpulkan bahwa pistol tersebut sesuai dengan peluru yang ditembakkan ke kepala Rudy.[20]
Pada awal bulan Februari 2005, polisi menyatakan bahwa mereka masih mengumpulkan bukti dan menunggu hasil ujinya untuk menuntut Adiguna atas penyalahgunaan narkotika, terpisah dari tuntutan pembunuhan dan kepemilikan senjata api.[22] Polisi kemudian mengklaim bahwa sampel kuku dan rambut Adiguna negatif mengandung narkotika, sehingga polisi batal mengajukan tuntutan penyalahgunaan narkotika. Komjen Suyitno Landung, yang kemudian dipenjara karena menerima suap dari kasus lain, menolak untuk menjelaskan mengapa hasilnya berbeda dengan hasil uji terhadap sampel darah dan urin.[23][24]
Pasca pembunuhan tersebut, nama Hilton Hotel Jakarta diubah menjadi Hotel Sultan, dan dimiliki oleh kakak Adiguna, yakni Pontjo Nugro Susilo, yang lebih dikenal sebagai Pontjo Sutowo.
Rudy berasal dari keluarga berpenghasilan rendah di Flores, Nusa Tenggara Timur dan bekerja paruh waktu di Hilton untuk membiayai kuliah hukumnya di Universitas Bung Karno. Ia juga membiayai dua orang adiknya. Ia seharusnya lulus pada tahun 2005. Orang tua Rudy mendapat informasi bahwa anaknya telah tertembak mati saat adanya protes kenaikan harga BBM di Jakarta.[25]
Sebelum sidang Adiguna dimulai, Pontjo Sutowo pergi ke Flores, di mana ia memberi kepala sapi kepada keluarga Rudy sebagai bentuk belasungkawa. Ia juga menyerahkan sejumlah uang. Ayah Rudy lalu menulis sebuah surat yang kemudian dibacakan di dalam sidang. Surat tersebut intinya meminta hakim memberikan hukuman seringan mungkin kepada Adiguna.
[26]
Setelah ditangkap, Adiguna awalnya ditahan di Markas Polda Metro Jaya. Ia lalu dipindah ke Lembaga Pemasyarakatan Salemba, di mana ia menempati Blok K, yang disebut sebagai "sayap eksekutif". Tahanan terkenal yang pernah menempati Blok K antara lain Abdullah Puteh dan Nurdin Halid. Pengacara Amir Karyatim menyatakan bahwa Adiguna dapat tertawa di dalam sel dan dapat memesan kopi dari Starbucks dan nasi padang.[27]
Persidangan
Jaksa sempat menunda dimulainya sidang Adiguna, karena Adiguna masih perlu dirawat di rumah sakit akibat asma.[28] Sidang akhirnya dimulai pada tanggal 22 Maret 2005 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, namun Adiguna tidak menghadiri sejumlah sesi sidang atas alasan sakit. Adiguna juga pernah datang terlambat.
Walaupun Adiguna pernah tidak menghadiri sejumlah sesi sidang, pendukungnya selalu hadir. Pendukung Adiguna kerap menggunakan jubah berwarna putih dan disebut oleh pers sebagai "preman bayaran" untuk mengintimidasi hakim dan keluarga Rudy yang beragama Kristen.[15][29]
Pembunuhan tak berencana dapat dituntut penjara hingga 20 tahun, sementara kepemilikan senjata api dan amunisi secara ilegal dapat dituntut penjara hingga seumur hidup. Walaupun begitu, tunangan Rudy, Riska Leliana, menyatakan bahwa ia berharap Adiguna mendapat hukuman mati.[30] Jaksa akhirnya menuntut hukuman penjara seumur hidup kepada Adiguna.[31]
Untuk kasus tersebut, polisi meminta keterangan dari 20 orang saksi. Sejumlah saksi kemudian menarik kesaksiannya atau memberikan kesaksian yang berlawanan di dalam persidangan.
^"PUTUSAN No. 107 PK/Pid/2006". Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Diakses tanggal 26 July 2020.