Aborsi paksaAborsi paksa adalah tindakan pemaksaan kepada ibu hamil untuk menghentikan kehamilan atau menggugurkan kandungannya tanpa persetujuan dari korban[1]. Aborsi paksa yakni aborsi yang dilakukan secara paksa, yang bisa terjadi karena berbagai tekanan dari luar seperti tekanan sosial, atau karena campur tangan dari pihak-pihak tertentu seperti pasangan intim, orang tua atau wali, praktisi medis, atau individu lain dengan menggunakan kekerasan, ancaman, atau paksaan untuk melakukan aborsi.[2] Ini juga dapat terjadi ketika tindakan tersebut dilakukan pada seseorang yang sedang hamil tanpa persetujuannya, atau ketika persetujuan yang sah dipertanyakan karena adanya paksaan. Ini juga mencakup situasi-situasi di mana tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan secara medis atau dalam pengaturan perawatan di rumah sakit, tetapi tidak termasuk situasi di mana individu yang sedang hamil menghadapi risiko cedera yang mengancam nyawa akibat kehamilan yang tidak diinginkan.[2] Perempuan yang menghentikan kehamilannya karena paksaan dari pihak lain disebut sebagai penyintas aborsi paksa.[3] Perserikatan Bangsa-Bangsa menganggap aborsi paksa sebagai pelanggaran hak asasi manusia karena tindakan ini melanggar HAM untuk memiliki pilihan dan kendali atas reproduksi tanpa tekanan, diskriminasi, atau kekerasan.[4] Nazi JermanSelama Perang Dunia II, kebijakan aborsi di Nazi Jerman bervariasi tergantung pada orang, kelompok, dan wilayah yang menjadi tujuan kebijakan tersebut, karena perempuan Jerman dilarang melakukan aborsi. Kebijakan tersebut bertujuan untuk meningkatkan angka kelahiran dan populasi "ras Arya" dan meminimalkan populasi wanita seperti Yahudi, Polandia dan Roma.[5] Selain itu, mereka yang dianggap membebani masyarakat Jerman seperti penyandang cacat atau sakit jiwa juga menjadi sasaran aborsi paksa yang diikuti dengan sterilisasi, dan merupakan orang Jerman yang secara hukum menjadi sasaran aborsi. Kisah-kisah ini dikategorikan sebagai bagian dari "program genosida sistematis Nazi Jerman, yang bertujuan menghancurkan negara dan kelompok etnis asing".[6] Setelah Perang berakhir, praktik aborsi paksa terhadap kelompok tertentu di bawah rezim Nazi dianggap sebagai kejahatan perang, hal ini berdasarkan penilaian selama Pengadilan Nuremberg. Mereka yang terbukti mendorong atau memaksa aborsi selama Holocaust dihukum dengan minimal 25 tahun penjara karena praktik tersebut dianggap sebagai "tindakan penghancuran yang tidak manusiawi".[5] Republik Rakyat TiongkokAborsi paksa yang terkait dengan pelaksanaan kebijakan satu anak telah terjadi di Republik Rakyat Tiongkok; tindakan ini melanggar hukum Tiongkok dan tidak diakui sebagai kebijakan resmi.[7] Tekanan pemerintah terhadap pejabat daerah menyebabkan penerapan cara kekerasan terhadap ibu hamil.[8] Pada 29 September 1997, sebuah usulan undang-undang di Kongres Amerika Serikat yang dikenal sebagai Undang-Undang Penghukuman Aborsi Paksa diperkenalkan dengan tujuan untuk mengutuk para pejabat Partai Komunis Tiongkok, pemerintah Republik Rakyat Tiongkok, dan individu lain yang terlibat dalam tindakan tersebut, dengan melarang mereka memasuki atau tinggal di Amerika Serikat.[9] Pada bulan Juni 2012, Feng Jianmei dipaksa untuk menggugurkan janinnya yang berusia 7 bulan setelah gagal membayar denda karena melanggar kebijakan satu anak. Kasus ini menjadi topik yang sangat dibahas di internet di Tiongkok dan menimbulkan kecaman secara luas setelah foto bayi yang lahir mati diunggah secara online.[10] Dua minggu setelah aborsi paksa, Feng terus diganggu oleh otoritas lokal di Provinsi Shanxi. Pada tanggal 5 Juli, Parlemen Eropa mengeluarkan resolusi yang secara khusus mengutuk kasus Feng dan secara umum mengutuk aborsi paksa, terutama dalam konteks kebijakan satu anak.[11] Pengungsi Korea UtaraAborsi paksa dan pembunuhan bayi digunakan sebagai bentuk hukuman di kamp penjara. Pada tahun 1980-an, rezim Korea Utara melarang kehamilan di kamp-kamp mereka.[12] Tiongkok mengusir semua imigran ilegal dari Korea Utara, yang sering kali dipenjara di fasilitas jangka pendek. Banyak pembelot dari Korea Utara mengungkapkan bahwa aborsi paksa dan pembunuhan bayi adalah hal yang umum terjadi di penjara-penjara ini. [13] Mayoritas tahanan di pusat penahanan Tiongkok adalah perempuan. Warga Korea Utara yang dipulangkan sering kali dipaksa untuk melakukan aborsi, terlepas dari kejahatan yang mereka lakukan. Langkah-langkah polisi Korea Utara bertujuan untuk mencegah perempuan Korea Utara melahirkan anak yang berasal dari campuran etnis dengan laki-laki Tionghoa Han. Perawatan medis tidak disediakan bagi perempuan Korea Utara yang mengalami aborsi paksa.[14] Inggris RayaPada 21 Juni 2019, Pengadilan Perlindungan Inggris memutuskan agar seorang perempuan dengan kondisi disabilitas untuk melakukan aborsi meskipun tidak dengan keinginannya.[15] Perempuan tersebut mengalami gangguan mood sedang dan ketidakmampuan belajar. Hakim Nathalie Lieven memberikan izin untuk melakukan aborsi paksa berdasarkan Undang-Undang Kapasitas Mental tahun 2005, walaupun ada keberatan dari perempuan tersebut dan ibunya. Keputusan ini mendapat kritik dari Gereja Katolik, Komisi Hak Disabilitas, dan sejumlah kelompok aktivis anti-aborsi seperti Life dan Society for the Protection of Unborn Children.[16] Namun, kasus ini kemudian dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi.[17][18] IndiaHukum aborsiIndia menetapkan Undang-Undang Penghentian Kehamilan Secara Medis (MTP) yang disahkan pada tahun 1971 sebagai respons terhadap meningkatnya insiden aborsi yang dilakukan tanpa pengawasan medis memadai, sehingga menyebabkan tingginya angka kematian ibu. Undang-undang MTP melegalkan aborsi di India. Sebelum adanya undang-undang ini, aborsi dianggap sebagai tindakan kriminal, sehingga banyak perempuan yang melakukan aborsi meskipun berisiko.[19] Undang-undang ini menetapkan standar dan batasan untuk penghentian kehamilan, yang hanya dapat dilakukan oleh praktisi medis terdaftar (seorang praktisi medis yang memiliki kualifikasi medis yang diakui, sesuai dengan definisi dalam bagian 2(h) Undang-Undang Dewan Medis India, 1956).[19] Pembaruan terbaru pada undang-undang ini dilakukan pada tahun 2021 melalui Undang-Undang Pengakhiran Kehamilan Secara Medis (Amandemen) tahun 2021, yang mengubah Undang-Undang Pengakhiran Kehamilan Secara Medis tahun 1971 untuk meningkatkan batas maksimum aborsi dari 20 menjadi 24 minggu untuk sejumlah kategori perempuan tertentu. Amandemen tersebut menaikkan batas usia kehamilan yang dapat diakhiri dari 20 menjadi 24 minggu untuk kategori-kategori tertentu, yang akan ditentukan dalam MTPA 2021 dan mencakup penyintas pemerkosaan, korban incest, dan perempuan rentan lainnya (seperti perempuan penyandang disabilitas atau anak di bawah umur).[20] Hukum aborsi paksaPasal 314 KUHP India mengatur tentang aborsi paksa, yang menyatakan bahwa siapa pun yang dengan maksud menyebabkan keguguran pada seorang wanita yang sedang hamil dan akibatnya wanita tersebut meninggal dunia, akan dihukum dengan penjara maksimal sepuluh tahun dan dapat dikenakan denda, jika tindakan tersebut dilakukan tanpa persetujuan wanita tersebut.[21] Aborsi selektifPara peneliti memperkirakan bahwa pada tahun 2030, akan ada lebih dari 6,8 juta kelahiran perempuan yang rendah di India karena praktik aborsi selektif yang masih berlangsung. Undang-Undang Teknik Diagnostik Pra-Konsepsi dan Pra-Natal tahun 1994 melarang pengungkapan jenis kelamin janin kecuali untuk alasan medis. Rasio jenis kelamin saat lahir memburuk di beberapa negara bagian karena penegakan hukum yang tidak konsisten. Pihak berwenang India sering menindak kelompok yang melakukan tes jenis kelamin janin. Rasio gender di India antara 900 dan 930 perempuan per 1.000 laki-laki mencerminkan pandangan negara terhadap anak perempuan, di mana laki-laki dianggap sebagai pencari nafkah dan anak perempuan dianggap sebagai beban di semua lapisan sosial ekonomi. Laki-laki cenderung mendapatkan pola makan yang lebih sehat dan akses yang lebih baik terhadap perawatan medis dibandingkan perempuan.[22] Referensi
|