Aboe Bakar Djoenaedi (EYD: Abu Bakar Junaidi; lahir di Tangerang, 24 Juli 1918 โ meninggal tahun 2000) atau A. Bakar adalah seorang aktor dan sutradara film berkebangsaan Indonesia.[1] Pada tahun 1989, ia menerima piagam Kesetiaan Profesi dari Dewan Film Nasional, dimana pada saat itu ia sudah tidak aktif lagi di dunia film. Setelah memutuskan pensiun dari dunia perfilman, ia memutuskan untuk memulai perjalanannya dalam dakwah Islam.
Biografi
Abu Bakar lahir pada tanggal 24 Juli 1918 di Tangerang, Hindia Belanda. Ia lahir sebagai seorang putra sulung dari pasangan S. Ali dan Mas Siti Muhaja. Ayahnya berasal dari Jakarta, sedangkan ibunya merupakan keturunan Banten. Ia mendapat pendidikan di Europese Lagere School dan Mulo hingga kelas II, dan memperdalam pengetahuannya dalam memegang buku, steno, mengetik, dan pengetahuan umum, yang dipandang perlu untuk seorang artis.
Sejak kecil, ia telah gemar melihat film dan sandiwara yang sangat menarik perhatiannya. Setelah ia dewasa, ia kerapkali memimpin sandiwara amatir di Tangerang dan Serang. Jiwa seninya memang sudah terkandung semenjak ia masih kecil. Ia juga dikenal gemar bermain musik meski tidak mendapat pelajaran seni musik. Ia dikenal sangat gemar akan dunia olahraga, diantaranya sepak bola, tenis, renang, dan biliar. Selain itu, ia tidak sedikitpun 'menelan' buku-buku yang memang perlu juga untuk perkembangan jiwanya.
Dalam perkawinannya, ia mendapatkan seorang istri yang juga menyukai dunia seni. Pada tahun 1938, ia resmi menikah dengan R.I. Suriamiatmadja (R. Umami) dan memiliki 2 orang anak perempuan.
Pada zaman penjajahan Jepang, ia ikut berpartisipasi di Nippon Eiga Sha, memegang peran utama dalam film Hoedjan bersama Dhalia. Ia mengikuti juga PERSAFI Sandiwara dan turut tampil dalam film-film lainya, seperti Ajahku Poelang, Mekar Boenga Madjapahit, Tjitarum, dan Hoedjan bersama dengan Roekiah.
Pada masa revolusi fisik, ia memimpin Jawatan Penerangan Kabupaten Tangerang hingga kota tersebut diduduki kembali oleh Belanda. Ia mengundurkan diri dan pindah ke Serang, dimana ia kemudian memimpin sandiwara amatir. Terdesak oleh keadaan, ia selalu berusaha untuk menjauhkan diri dari kejaran Belanda dan pergi dari satu daerah ke daerah lain hingga akhirnya memutuskan untuk pergi ke Yogyakarta, turut serta dengan rombongan Sandiwara Pantjawarna.[2]
Di Yogyakarta, ia menulis cerita perjalannya, dimulai saat menjadi pembantu sutradara dalam film Penjelundup (1952). Setelah itu, ia juga menjadi sutradara dalam Sengsara (1955) dan La Tando di Toradja (merangkap menulis skenario) pada tahun 1971. Ia masih berkarier pada film Pembalasan Si Pitung (1977) sebagai pemeran. Sewaktu menerima piagam Kesetiaan Profesi dari Dewan Film Nasional pada tahun 1989, ia sudah tidak aktif lagi di dunia perfilman. Kemudian ia mengalihkan kegiatannya pada dakwah Islam.[3]
Kematian
Pada tahun 2000, ia dinyatakan meninggal dunia pada usia 82 tahun akibat sakit yang dideritanya.[4]