Tanggapan agama terhadap teknologi reproduksi berbantuanTanggapan agama terhadap teknologi reproduksi berbantuan berkaitan dengan tantangan-tantangan baru yang ditimbulkan oleh teknologi reproduksi berbantuan (TRB) modern pada komunitas-komunitas keagamaan dan sosial dalam tradisinya masing-masing. Karena banyak komunitas keagamaan memiliki peraturan agama dan opini yang kuat dalam hal pernikahan, seks, dan reproduksi, teknologi fertilitas atau kesuburan modern telah memaksa agama-agama untuk menanggapinya. Pengumpulan spermaBaik dalam hal pengujian faktor laki-laki maupun dalam menggunakan sel sperma untuk inseminasi intrauterin atau fertilisasi in vitro (IVF, "bayi tabung"), pertama-tama pasangan tersebut perlu mengumpulkan suatu sampel sperma. Bagi banyak kelompok keagamaan, hal ini menciptakan suatu tantangan ataupun kontroversi karena larangan untuk melakukan masturbasi. KekristenanKatolisismeGereja Katolik Roma menentang segala jenis TRB dan kontrasepsi buatan karena memisahkan tujuan prokreatif seks dalam pernikahan dari tujuan menyatukan pasangan dalam pernikahan. Gereja Katolik Roma mengizinkan penggunaan sejumlah kecil teknologi reproduksi dan metode kontrasepsi seperti keluarga berencana alami, yang meliputi pencatatan waktu ovulasi. Gereja memperbolehkan beberapa bentuk lain teknologi reproduksi yang melibatkan terjadinya konsepsi atau pembuahan dari persetubuhan, misalnya pelumas fertilitas. Fertilisasi in vitroPaus Benediktus XVI secara terbuka menegaskan kembali penentangan Gereja Katolik terhadap fertilisasi in vitro (IVF) atau "bayi tabung", menyebutnya menggantikan cinta antara seorang suami dan seorang istri.[1] Selain itu, Gereja menentang IVF karena memungkinkan pembuangan embrio-embrio, mengeliminasi hak hidup mereka; umat Katolik meyakini bahwa embrio adalah individu dengan jiwa yang harus diperlakukan sebagaimana mestinya.[2]
Menurut Katekismus Gereja Katolik,
Gereja Katolik berpendapat bahwa infertilitas bukanlah suatu kemalangan secara objektif, dan mendukung adopsi sebagai pilihan bagi pasangan-pasangan yang masih ingin memiliki anak:
Transfer gamet intra fallopi (GIFT)[6] secara teknis berbeda dengan fertilisasi in vitro karena dengan GIFT pembuahan terjadi di dalam tubuh, bukan di sebuah cawan petri. Gereja Katolik tetap mengkhawatirkannya karena sejumlah teolog "memandang hal ini sebagai suatu pengganti dari tindakan perkawinan, dan karenanya amoral".[7] Gereja OSZAGereja Yesus Kristus dari Orang-orang Suci Zaman Akhir "sangat melarang donasi sperma" dan demikian pula sangat tidak mendukung fertilisasi in vitro yang "menggunakan semen dari orang lain selain sang suami atau sel telur dari orang lain selain sang istri". Namun, kebijakan resmi OSZA juga menyatakan kalau keputusan tersebut adalah persoalan pribadi dan karenanya "perlu diserahkan pada penilaian sang suami dan istri".[8] ProtestanismeBeberapa denominasi Protestan yang lebih liberal mendukung TRB. Namun, banyak kalangan Evangelikal, terutama Calvinis, mengambil posisi yang sama seperti Katolik.[butuh rujukan] HinduKalangan Hindu tidak berkomentar apa-apa mengenai IVF atau "bayi tabung", tetapi, disebutkan beberapa tokoh yang terlahir tanpa hubungan seksual seperti Karna dan Kelima Pandawa.[9] IslamSetelah dikeluarkannya fatwa mengenai TRB oleh Gad El-Hak Ali Gad El-Hak dari Universitas Al-Azhar di Mesir, dikatakan bahwa komunitas Islam pada umumnya menerima TRB.[10] IVF dan teknologi-teknologi serupa diperbolehkan selama tidak melibatkan segala bentuk donasi atau sumbangan pihak ketiga (sel sperma, sel telur, embrio, atau rahim). Sehubungan dengan donasi pihak ketiga, terdapat perbedaan pendapat antara kalangan Sunni dan Syi'ah. Komunitas Sunni yang mengikuti fatwa Al-Azhar tidak mengizinkan donasi pihak ketiga. Pada tahun 1999, Ayatullah Khamenei, otoritas bagi Muslim Syi'ah, mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa donor pihak ketiga diperbolehkan.[11] YudaismeMendefinisikan pandangan Yahudi tentang teknologi reproduksi berbantuan dengan hanya didasarkan pada cabang-cabang Yudaisme dipandang problematik karena terdapat tumpang tindih yang substansial dalam hal opini dan otoritas moral.[2] Lihat pulaReferensi
Pranala luar
|
Portal di Ensiklopedia Dunia