Suku Ketengban

Ketengban
Kupel
Jumlah populasi
42.025[1]
Daerah dengan populasi signifikan
Papua Pegunungan
Bahasa
Ketengban
Agama
Kekristenan[2]
Kelompok etnik terkait
Lepki • Murop • Ngalum • Mek

Suku Ketengban adalah sebuah suku bangsa Mek yang mendiami kawasan pegunungan di Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua Pegunungan. Suku ini merupakan salah satu dari tujuh suku besar di Kabupaten Pegunungan Bintang.[3]

Bahasa

Ketengban, juga dikenal sebagai Kupel, adalah sebuah bahasa Papua yang dituturkan di Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua Pegunungan.

Dialek bahasa ini adalah Okbab (Okbap), Bime, Onya (Una Timur), Omban (Kamume), dan Sirkai.[4]

Budaya

Rumah adat

Rumah tradisional suku Ketengban, seperti banyak suku di Papua, memisahkan antara laki-laki dan perempuan, dan memiliki bentuk menyerupai rumah honai. Rumah laki-laki dalam bahasa Ketengban disebut "boam ati" dan rumah perempuan disebut "nerep ati". Lantai rumah dibuat dari kulit kayu diatas tanah seperti rumah panggung, dan di bagian tengah akan ada perapian. Dinding rumah dibuat dari papan kayu, dan atap dari daun sagu yang dikeringkan terutama untuk yang tinggal di daerah rendah, sedangkan di dataran tinggi daun dari kain (buah merah) atau Pandanus lainnya yang digunakan. Walaupun pada masa sekarang rumah keluarga lebih umum dimana satu keluarga berupa suami, istri, anak laki-laki atau perempuan yang belum menikah, dan janda tinggal bersama. Setelah umur tertentu laki-laki akan pindah ke rumah laki-laki, di sini juga bisa ditemukan duda, biasanya bangunan tersebut akan lebih besar karena bisa mengakomodir hingga 20 orang. Selain itu juga terdapat rumah khusus untuk wanita melahirkan yang biasanya dibangun lebih rendah dan menjauh dari perkampungan utama. Babi bisa dipelihara dibawah rumah atau di kandang khusus yang dibangun terpisah dari perkampungan.[5][6]

Kekerabatan

Sama seperti suku-suku Mek lainnya, suku Ketengban tidak memiliki sistem moeitas eksogami moietas eksogami, walaupun ada sistem eksogami yang berlaku diatas level klan. Berdasarkan mite Ketengban, tokoh penciptaan di atas Puncak Mandala bernama Doyap menetapkan totem (lyouna) kepada klan-klan (yala) suku Ketengban berdasarkan wilayah klan tersebut (duman si). Hewan-hewan yang diciptakan Duman kebanyakan adalah normal, tetapi beberapa hewan dianggap memiliki roh (isoke/kamaya) manifestasi kekuasaan Duma sehingga menjadi totem sebuah klan. Satu klan bisa memiliki lebih dari satu totem. Selanjutnya totem roh menepati wilayah yang ditentukan dan kemudian memiliki anak sepasang laki-laki dan perempuan yang menjadi nenek moyang klan-klan Ketengban. Totem diturunkan secara patrilineal, sehingga contohnya totem ular memiliki anak laki-laki yang kemudian menikahi anak perempuan totem hewan lain, dan anaknya menjadi anggota totem ular. Anak perempuan dari totem ular akan dinikahi anak laki-laki dari totem lain, dan anaknya menjadi anggota totem lain tersebut. Anggota sebuah klan bisa meminta pertolongan dari roh totem mereka seperti penyembuhan dari sakit, tanah subur untuk kebun mereka, dan kemenangan dalam perang.[6]

Sistem kepemimpinan dan hirarki adat

Berdasarkan sistem keagamaan lokal suku Ketengban, pemimpin tertinggi adalah asuru kwa neng ("lelaki dengan mata bercabang") seorang dukun yang telah dipilih oleh Um Bo (ketua dari roh roh jahat). Mereka diberi mata khusus sehingga bisa mengkontak roh-roh tersebut, menjadi perantara bagi manusia biasa. Mereka biasanya dihormati dan ditakuti. Hirarki kedua ditempati mem deiyo neng adalah orang yang dipercayakan oleh Um Bo untuk menjadi pemimpin ritual. Biasanya ritual sebuah klan akan dilakukan oleh anggota klan tersebut saja karena memiliki hubungan khusus dengan totem dan kamaya. Walaupun anak pertama laki-laki dianggap memiliki hubungan darah dengan kamaya dari klan ibunya, sehingga bisa membantu upacara dan ritual dari klan sang ibu. Pemimpin ritual biasanya akan memilih anak pertama sebagai muridnya dan dia tidak bisa menolak. Walaupun anak selanjutnya juga bisa diajari sehingga tradisi dan ritual tersebut tidak dilupakan ketika sang ayah dan anak laki-laki pertama meninggal sebelum sang cucu dapat mempelajarinya. Selanjutnya ada juga kwetena neng (penyembuh) dan nimi kerdon neng (penyihir), nimi kerdon neng bisa dijabat oleh perempuan, biasanya sudah tua dan kakak perempuan dari pemimpin ritual yang memiliki hubungan dengan kamaya (roh pendamping) klannya. Posisi dibawahnya ada kwet neng yaitu lelaki yang sudah melakukan upacara inisiasi, mereka akan diprioritaskan dalam mendapatkan makanan, tempat, pengetahuan, dan untuk menjabat posisi yang lebih tinggi. Dibawahnya ada nofet neng, lelaki pra pubertas yang belum melakukan upacara inisiasi, belum tinggal di rumah laki-laki dan masih tinggal bersama ibunya, sehingga dianggap setingkat dengan perempuan. Karena secara tradisional upacara inisiasi hanya dilakukan setiap tiga atau lima tahun, bisa saja ada laki laki yang sudah cukup umur tapi belum melakukan upacara inisiasi. Ini dianggap bisa mengakibatkan kompetisi dan kecerembuan, sehingga ada tingkat perantara. Anak laki-laki tersebut dibawah oleh saudaranya yang sudah menjalani inisiasi biasanya mem ngop (pemimpin ritual) atau du ngop (tetua) membawa mereka masuk ke dalam rumah laki-laki, di dalam noken yang digantung di lehernya. Kemudian mem deiyo ngop dan beberapa lelaki lain memberikan inkantasi sebagai proses pertama inisiasi anak tersebut. Anak tersebut diberikan hak untuk memakan makanan yang sebelumnya dilarang dimakan oleh pria yang belum melakukan inisiasi, berupa kain (buah merah), lemak punggung babi, jenis kuskus tertentu, dll. Terakhir adalah perempuan suku Ketengban yang secara adat memiliki status yang rendah, mereka dilarang makan-makanan tertentu sehingga makanannya berupa kodok, burung kecil, kadal, dan makanan lain yang dianggap lebih rendah (dingin, basah, dan lemah). Perempuan juga dilarang berada di tempat upacara adat. Pelanggaran aturan tersebut dapat menyebabkan mereka dibunuh pada masa lampau. Walaupun pada saat ini larangan-larangan tersebut sudah dilonggarkan. Walapun begitu posisi perempuan penting untuk suku Ketengban karena merekalah yang bekerja di ladang untuk mengumpulkan makanan, memelihara babi, menjaga anak. Karena itu biaya mas kawin yang perlu dibayarkan untuk menikah biasanya mahal, dan secara adat anak perempuan bisa ditunangkan sebelum mengalami pubertas.[6]

Upacara perkawinan

Syarat perkawinan adalah kedua pasangan sudah dewasa ( 'Nimi Nerapu Nong kangi gatapu Neng Geda telep Ati tenpu kuna' , artinya "laki-laki dan perempuan yang telah dewasa secara badan dan pikiran sudah bisa menjalani kehidupan dalam satu rumah tangga.") dan bukan berasal dari klan/kelompok klan yang sama. Setelah itu pihak keluarga kedua mempelai akan bertemu untuk menentukan waktu perkawinan dan upacara perkawinan seperti buru dangna (pelepasan perempuan secara resmi kepada pihak lelaki). Pada tahap ini akan dilakukan telep (jabat tangan) dan pertukaran barang berupa noken, parang, busur, panah, keladi, tebuh, ubi, pisang, dan lain-lain. Upacara yang dilakukan berikutnya adalah Ner Alen Kulumna yaitu penyerahan mas kawin dari pihak pengantin pria ke pihak pengantin wanita. Maskawin bisa berupa bentuk noken, anak babi betina, bulu burung cendrawasih, kapak batu, busur dan barang-barang bernilai lainnya. Pada masa modern bisa ditambahakan uang kartal, parang, kapak besi, pakaian, dan lain/lain. Proses penyerahan diantar sambil berdangsa tarian adat suku Ketengban (Limne-Yasi) dari kampung lelaki menuju ke kampung perempuan. Sedangkan pihak pengantin perempuan juga mempersiapkan babi untuk bakar batu makan-makan untuk pihak pengantin laki-laki.[7]

Referensi

  1. ^ Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk 2010. Badan Pusat Statistik. 2011. ISBN 9789790644175. 
  2. ^ Fani (19 Desember 2021). "Ribuan Warga Suku Ketengban Hadiri Natal Bersama". www.pasificpos.com. Diakses tanggal 4 Agustus 2022. 
  3. ^ "Ribuan Warga Suku Ketengban Hadiri Natal Bersama". papuabangkit.com. 12 April 2022. Diakses tanggal 4 Agustus 2022. 
  4. ^ "Ketengban in Ethnologue". www.ethnologue.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 4 Agustus 2022. 
  5. ^ Andersen, Øystein Lund (November 2006). "The Ketengban people of the greater Nongme area and their environment" (PDF). PapuaWeb. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal September 20, 2014. 
  6. ^ a b c Sims, Andrew (1991). "Of Red Men and Ritual: The Ketengban People of Eastern Irian Jaya". Irian: Bulletin of Irian Jaya. 19: 39–90. 
  7. ^ Wasini, Frans (2020-05-27). "Pentingnya Pelestarian Upacara Perkawinan Suku Ketengban Di Kabupaten Pegunugan Bintang". mandalapapua. Diakses tanggal 2025-01-18. 

 

Prefix: a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Portal di Ensiklopedia Dunia