Pasca kemerdekaan dalam keadaan darurat perang, negara membutuhkan lahan untuk pangkalan senjata hingga perumahan Tentara Nasional Indonesia. Perolehan lahan dilakukan dengan cara okupasi Aset Bekas Milik Asing. Sengketa muncul ketika sebagian masyarakat yang berstatus Warga Negara Indonesia keturunan menuntut kepada Tentara Nasional Indonesia untuk mengembalikan tanah okupasi pada mereka. Status tanah okupasi tidak dikenal dalam UUPA dan seharusnya tidak dapat dijadikan bukti kepemilkian atas tanah. Bukti kepemilkian hak atas tanah berupa sertipikat yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional. Status okupasi menunjukkan bahwa status tanah tersebut hanya dikuasai secara fisik namun tidak dimiliki secara sah. Upaya hukum yang dilakukan oleh pemegang sertipikat Hak Milik yakni menempuh jalur litigasi. Majelis hakim menyatakan bahwa sertipikat Hak Milik No. 2034, Kec Babat, Kab Lamongan dan Sertipikat Hak Milik No. 25 Kec Babat, Kab Lamongan adalah sah secara hukum. Sedangkan Tentara Nasional Indonesia yang digugat oleh pihak pemegang Hak Milik dinyatakan perbuatan melanggar hukum. Seharusnya pihak pemegang sertipikat Hak Milik hasil konversi hak eigendom yang tanahnya masuk dalam daftar okupasi Tentara Nasional Indonesia, secara suka rela dihapuskan dari daftar tersebut karena aset yang dimiliki telah memenuhi syarat Pasal 21 UUPA adalah sah dan tidak perlu menunggu putusan hakim untuk membuktikan pihak yang berhak atas kepemilikan tanah.