Wanita simpanan
Wanita simpanan adalah pasangan wanita jangka panjang milik seorang lelaki yang tidak terikat pernikahan atau perkawinan. Hubungan biasanya stabil dan sekurang-kurangnya semi-permanen, tetapi pasangan ini tidak hidup bersama secara terang-terangan. Hubungan ini juga biasanya tidak senantiasa rahasia. Terdapat banyak lelaki pada masa lalu yang memiliki wanita simpanan bersama istri mereka. Persamaan istilah wanita simpanan adalah perempuan simpanan, perempuan piaraan, istri gelap, bini gelap, atau gundik. Dalam sejarah, istilah ini digunakan bagi wanita yang disimpan dengan gaya hidup mewah oleh lelaki kaya agar wanita ini senantiasa bersedia melayani kebutuhan seksualnya. Wanita demikian dapat berganti peranan dari perempuan simpanan dan pelacur tergantung pada keadaan diri dan sekelilingnya. Namun, pada masa kini, istilah "perempuan simpanan" biasanya digunakan untuk merujuk pada pasangan wanita milik lelaki yang menikah dengan wanita lain; dalam kasus lelaki tidak menikah ia biasanya dirujuk sebagai "pacar" atau "pasangan rumah tangga." Secara sejaran, lelaki "menyimpan" wanita simpanan. Sebagaimana yang dibayangkan oleh istilah itu, ia bertanggung jawab bagi utangnya dan memberi uang sebagaimana dia berikan kepada isterinya. Pada zaman ini dan kebebasan hak, kemungkinan wanita simpanan tersebut turut bekerja, dan jika ada, kurang bergantung sepenuhnya secara keuangan kepada lelaki tersebut. Adalah menjadi perkara biasa bagi lelaki mempunyai anak bersama wanita simpanannya. Perempuan simpanan tidak dianggap pelacur (menurut undang-undang). Pelacur mendapatkan uang dengan layanan seks, tetapi perbedaan mendasar adalah perempuan simpanan menyimpan dirinya khusus bagi satu lelaki, sama seperti seorang isteri. Terdapat juga kemungkinan adanya hubungan sosial dan emosi antara lelaki dan perempuan, sementara pelacur hanyalah khusus secara seksual. Wanita simpanan dalam sejarahPerempuan simpanan yang paling dikenal dan banyak diteliti adalah perempuan simpanan raja-raja Eropa semasa Renaisans, sebagai contoh Nell Gwynne dan Madame de Pompadour. Namun, menyimpan perempuan simpanan di Eropa tidak terbatas kepada keluaga raja dan bangsawan tetapi menurun ke segala lapisan masyarakat. Siapapun yang mampu memiliki wanita simpanan akan menyimpan satu, tanpa memandang kedudukannya dalam masyarakat Eropa. Pedagang yang kaya atau bangsawan muda mungkin memiliki perempuan simpanan. Juga sebagian paus dan pendeta yang lain menyimpan perempuan simpanan, untuk memenuhi sumpah selibat yang diwajibkan oleh Gereja Katolik Roma. Menjadi perempuan simpanan merupakan karier biasa bagi wanita muda, yang bila beruntung akan menikah dengan kekasihnya atau orang yang lain. Di istana kerajaan Eropa, terutama di Versailles dan Whitehall pada abad ke-17 dan 18, wanita simpanan sering kali memiliki kekuasaan dan pengaruh yang besar. Perempuan simpanan Raja Louis XV dan Charles II sering kali dianggap mempunyai pengaruh besar atas kekasih mereka, hubungan mereka menjadi rahasia umum. Seseorang yang amat kaya menjaga wanita simpanannya sepanjang hidupnya (seperti George II dari Inggris denga "Ny. Howard"), malahan setelah tak memiliki hubungan romantis apapun, meskipun hal itu tak berlaku bagi beberapa orang wanita. Pada tahun 1736, ketika George II baru naik tahta, Henry Fielding (di Pasquin) meminta penguasa istananya berkata, "...tapi, Nona, setiap orang kini menjaga dan dijaga; tidak ada hal seperti itu seperti pernikahan pada masa kini, kalau bukan semata-mata kontrak Smithfield, dan untuk dukungan keluarga; namun kemudian suami dan istri dijaga dalam 2 minggu." Wanita simpanan abad ke-19Di dunia Barat, selama abad ke-19, ketika moral menjadi lebih puritan, penjagaan wanita simpanan menjadi lebih berhati-hati, tetapi sebaliknya mengeratnya moralitas juga membentuk hasrat besar untuk seorang pria memiliki wanita simpanan. Ketika seorang pria kelas atas menikahi wanita berderajat setara, amat mungkin bahwa sang isteri dibawa secara ketat untuk percaya bahwa hubungan seksual hanyalah untuk pro-kreasi ketimbang rekreasi. Hal itu membuat beberapa pria lari ke wanita simpanan jika menginginkan mitra wanita yang kurang pemalu. Perubahan peranSecara kebetulan amat mungkin bahwa wanita simpanan berada dalam kedudukan tinggi bagi pasangannya dalam hal keuangan dan sosial. Katarina yang Agung dikenal memiliki beberapa lelaki simpanan semasa pemerintahannya; namun, seperti banyak wanita berkuasa di zamannya, meskipun menjanda dan bebas menikah, ia tak memilih berbagi kekuasaan dengan seorang suami, dan lebih memilih mempertahankan kekuasaan absolut sendirian. Dalam sastra, Lady Chatterley's Lover karya D.H. Lawrence menampilkan keadaan di mana seorang wanita menjadi wanita simpanan pengawas binatang buruan suaminya. Hingga kini, seorang wanita yang mengambil pasangan lelaki yang lebih rendah status sosialnya dianggap lebih mengejutkan dibandingkan sebaliknya. Wanita hari iniPada abad ke-20, banyak wanita telah mendapat pendidikan tinggi dan mampu menanggung diri mereka sendiri, tidak banyak wanita mendapat kepuasan dalam kedudukan menjadi wanita simpanan dan mereka lebih cenderung menjalin hubungan dengan lelaki yang belum menikah. Oleh karena perceraian menjadi lebih mudah diterima masyarakat, lebih mudah bagi lelaki untuk menceraikan isteri mereka dan menikah dengan wanita yang telah menjadi kekasih mereka yang pada masa sebelumnya menjadi perempuan simpanan mereka. Namun, kebiasaan menyimpan perempuan simpanan masih ada di kalangan lelaki yang menikah, terutama yang kaya. Di Eropa, sebagai contoh, sebagian besar kebudayaan kebudayaan terus menerima dan membiarkan perbuatan menyimpan perempuan simpanan. Kadang kala, lelaki menikah dengan perempuan simpanan mereka. Sir James Goldsmith, setelah menikah dengan perempuan simpanannya, Lady Annabel Goldsmith, menyatakan, "Apabila seseorang menikah dengan perempuan simpanan, ia membuka kekosongan".[1] Wanita simpanan dalam sastra2 karya John Cleland, Fanny Hill dan Daniel Defoe dalam Moll Flanders termasuk dalam pelbagai novel mengenai masalah wanita, perbedaan antara "wanita simpanan" dan pelacur amat penting. Mereka yang mengamalkan hal itu merujuk kepada amalan Timur Dekat kuno yang mengamalkan wanita simpanan dan sering memetik dari Perjanjian Lama untuk membuktikan bahwa wanita simpanan adalah praktik kuno dan dengan itu, walaupun tidak boleh diterima, sekurang-kurangnya dapat dipahami. John Dryden, dalam Annus Mirabilis, telah mencoba mengesankan bahwa raja menyimpan perempuan simpanan; dan anak di luar nikah adalah hasil dari sifat murah hati dan semangat raja tersebut. Dalam bentuk yang lebih serius, tema sebagai "disimpan" tidak pernah jauh-jauh dalam novel mengenai wanita sebagai korban pada abad ke-18 di Inggris, begitu juga dalam novel Eliza Haywood atau Samuel Richardson (yang pahlawatinya dalam novel Pamela dan Clarissa diletakkan dalam kedudukan diancam dengan penghinaan seksual dan dianggap semata-mata benda simpanan). Dengan kemunculan Romantisisme pada awal abad ke-19, isu perempuan simpanan menimbulkan masalah, dalam erti hubungan seksual tanpa pernikahan kadang-kadang dapat dianggap sebagai lambang kebebasan wanita dan pilihan lain yang baik. Maryann Evans (lebih dikenal sebagai George Eliot) memilih untuk hidup "bergelombang dosa" bersama lelaki yang telah menikah, sebagian sebabnya sebagai lambang pemisahan/kebebasan dirinya dari moral kelas pertengahan, tetapi kebebasannya memerlukannya tidak "disimpan." Novel Charlotte Brontë, Jane Eyre (1848) mewakili pandangan kedua pihak bagi persoalan ini, karena Rochester, tidak mampu memisahkan dirinya dari isterinya yang tidak waras, mencoba memujuk Jane untuk tinggal bersamanya, tetapi ditolak. Referensi
Lihat juga |