Vo v. France adalah sebuah perkara yang diputuskan oleh Mahkamah Hak Asasi Manusia Eropa pada tahun 2004 dan dikenal karena berkaitan dengan pertanyaan mengenai apakah janin dapat dianggap memiliki hak untuk hidup sesuai dengan Pasal 2 Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia.[1]
Latar belakang
Perkara ini berkaitan dengan Vo, seorang wanita Prancis berdarah Vietnam. Saat sedang hamil, ia menerima layanan medis yang di bawah standar akibat salah kira dengan wanita lain yang bernama sama dan ketidakmampuan Vo dalam berbahasa Prancis. Akibat kesalahan ini, dokter mencoba mengeluarkan belitan dari rahimnya, tetapi dalam prosesnya malah mengakibatkan kerusakan pada janin. Pada akhirnya ia harus dibawa ke unit gawat darurat dan janinnya yang masih berumur sekitar 20 hingga 21 minggu pun meninggal.[1]
Vo menggugat sang dokter secara pidana karena secara tidak sengaja telah membunuh janinnya. Pada 3 Juni 1996, pengadilan pidana Prancis memutuskan bahwa sang dokter tidak bersalah karena janin tidak dapat dianggap sebagai "manusia" dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Prancis (saat itu Pasal 319, kini Pasal 221—226).[1]
Pengadilan Banding Lyon membatalkan putusan ini pada 3 Maret 1997. Putusan pengadilan banding lalu dibatalkan oleh Pengadilan Kasasi pada 30 Juni 1999.[1]
Vo membawa perkara ini ke Mahkamah Hak Asasi Manusia Eropa. Menurutnya, pemerintah Prancis telah gagal memidanakan dokter yang telah membunuh janin, dan hal ini bertentangan dengan kewajiban negara untuk melindungi hak untuk hidup sang janin dalam Pasal 2 Konvensi HAM Eropa. Perkara ini disidang di Grand Chamber Mahkamah HAM Eropa.[1]
Putusan
Mahkamah HAM Eropa menyatakan bahwa mahkamah tidak perlu menentukan apakah janin dilindungi oleh hak untuk hidup. Menurutnya, isu ini masuk ke dalam margin apresiasi negara anggota, yang berarti bahwa setiap negara dapat menafsirkan sendiri apakah Pasal 2 Konvensi HAM Eropa juga mencakup hak hidup janin. Alasan mahkamah mengambil putusan ini adalah karena isu ini masih belum diputuskan oleh sebagian besar negara anggota, dan juga karena belum ada konsensus Eropa mengenai kapan kehidupan dimulai secara ilmiah maupun hukum.[2]
Referensi