Proses pengambilan sampel dilakukan dengan memasukkan sebuah alat usap yang terdiri dari tangkai dengan ujung yang berfungsi untuk pengambilan sampel ke dalam lubang hidung dan secara perlahan dimasukkan hingga mencapai nasofaring. Nasofaring merupakan bagian dari faring yang menyelimuti bagian langit-langit mulut.[9] Alat usap yang digunakan kemudian diputar untuk beberapa saat agar bisa mengambil mukus, lalu dikeluarkan untuk diletakkan kedalam media transpor yang steril yang berfungsi sebagai penyimpanan sementara untuk analisis selanjutnya.[5][6] Penyimpanan tidak boleh dilakukan pada media yang dingin bila uji ini dilakukan untuk penyakit meningitis. Agen penyebab penyakit meningitis, seperti Neisseria meningitidis dan Haemophilus influenzae sangat rentan untuk terbunuh dan mati pada suhu dingin.[3]
Bahan baku alat usap
Alat usap yang digunakan memiliki prinsip yang sama dengan kapas pentul. Bahan baku yang digunakan biasanya merupakan sebuah tangkai pendek yang terbuat dari tongkat kecil berbahan plastik dengan ujung yang berasal dari bahan yang memiliki sifat menyerap, seperti kapas, poliester dan nilon yang telah mengalami proses flocking. (Beberapa tangkai alat usap dibuat dari nikrom atau kawat baja nirkarat).[3][10] Bahan alat usap yang digunakan tergantung dari penerapan diagnosis yang juga beragam tergantung jenis uji yang dilakukan. Beberapa penelitian menunjukkan alat usap yang menggunakan bahan alat usap hasil proses flocking mengumpulkan jumlah sampel yang lebih banyak dibandingkan alat usap serat.[7][11]
Metode berhubungan
Metode yang sedikit berbeda, tetapi berhubungan dengan metode ini ialah aspirasi nasofaring. Dibandingkan menggunakan alat usap fisik untuk mengambil sampel dari nasofaring, metode ini menggunakan kateter yang ditempelkan alat suntik. Sama dengan metode uji usap, kateter dimasukkan kedalam lubang hidung dan secara perlahan dimasukkan sampai nasofaring yang akan menghasilkan satu hingga tiga milimeter larutan garam fisiologi yang diikuti dengan aspirasi larutan tersebut bersamaan dengan sel dan mukus kembali ke alat suntik .[7] Metode aspirasi sering digunakan ketika pasien merupakan seorang lansia dan bayi. Metode ini juga digunakan ketika terindikasi efektif untuk jenis uji pada penyakit yang dilakukan uji.[6][12]
Komplikasi yang timbul setelah uji
Meskipun, mayoritas uji biasa dilakukan oleh tenaga semi profesional, kemungkinan terjadinya kejadian yang tidak diharapkan tidak menunjukkan kasus yang jarang.[13] Ada beberapa kejadian yang tidak diharapkan terjadi, seperti kasus tertinggalnya alat uji usap di hidung karena pasien yang mengalami uji tidak koperatif dengan sering mengoyangkan kepalanya [14] serta kebocoran zalir serebrospinal setelah melakukan uji usap COVID-19.[15] Ada sebuah kasus komplikasi berupa munculnya bisul pada bagian faring. Kondisi ini muncul karena uji usap berulang yang dilakukan oleh pasien tiap minggu.[16]
^ abcJunkins, Alan (2010). Mukherjee, Kanai L.; Ghosh, Swarajit, ed. Medical Laboratory Technology Vol 2, 2/E (dalam bahasa Inggris). 2 (edisi ke-2). New Delhi: Tata McGraw-Hill Education. hlm. 515. ISBN978-0-07-007663-1.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^"Specimen Collection". www.cdc.gov (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 19 Maret 2021.
^ abc"Influenza Specimen Collection"(PDF). Centers for Disease Control and Prevention. Diakses tanggal 19 Maret 2021. Usap nasofaring merupakan metode pengambilan spesimen pada jalur pernafasan bagian atas yang optimal untuk pengujian penyakit influenza
^Costa, Christina; Sidoti, Francesca; Cavallo, Rosanna (2014). "Clinical and laboratory diagnosis of human respiratory viral infections". Dalam Singh, Sunit K. Human Respiratory Viral Infections (dalam bahasa Inggris). Boca Raton: CRC Press. hlm. 166. ISBN978-1-4665-8320-7.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)