Ujungan adalah sebuah tradisi berupa tarian pukul – memukul yang terdapat di Jawa barat, Jakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tradisi tersebut dilakukan dengan cara mengadu dua orang dan mereka harus saling memukul satu sama lain dengan sebuah rotan diiringi musik gamelan. Walau terkesan berbahaya karena terkadang sampai menggoreskan luka, tradisi tersebut memiliki pesan kedamaian, yaitu jika tidak mau disakiti maka jangan menyakiti. Dalam melaksanakan Tari Ujungan, para penari tidak boleh menggunakan kemarahan dan kebencian. Mereka memukul orang lain namun diselingi canda tawa, sehingga tercipta kekompakan di masyarakat.[1]
Ujungan adalah seni permainan ketangkasan pukul memukul dan tangkis menangkis dengan menggunakan media senjata rotan. Banyak ditemukan di pesisir utara Jakarta yang memiliki kehidupan petani kebun atau sawah tadah hujan, seperti di sebagian Jakarta Utara, Jakarta Timur, Majalengka, Cirebon dan Bekasi – Jawa barat. Ujungan atau sampyong di Jawa barat merupakan salah satu seni pertunjukan rakyat yang diwarnai unsur tari, olahraga, bela diri, kekebalan dan bahkan unsur magis.
Di Cirebon alat yang digunakan untuk adu kekuatan yaitu tongkat rotan ukuran panjang kurang lebih 125 cm. Waditra yang digunakan adalah bedug, ketuk kenong, gendang, gong, dan kecrek. Jumlah wiyaga hanya 5 orang. Sampyong atau ujungan berkembang di wilayah utara diantaranya daerah Cirebon Utara dan Kapetakan (Bedulan) juga.
Sayangnya seni pertunjukan bela diri Ujungan menggunakan tongkat, yang dipadukan dengan musik dan tari kini di Jawa barat nyaris tak pernah terdengar. Padahal Ujungan adalah seni ketangkasan beladiri menggunakan tongkat yang usianya sangat tua, dari abad ke-7 masehi (zaman Kerajaan Sunda) hingga masa kejayaannya pada abad 18 sampai awal abad ke 19.
Hampir di semua daerah di Jawa Barat dan Jakarta, mengenal Ujungan meski dengan nama yang berbeda-beda. Di Banyumas Jawa Tengah ada juga permainan Ujungan, sebuah ritual mistis memanggil hujan.
Di Bekasi – Jawa Barat sendiri, jejaknya terekam dalam artefak dan gerabah yang ditemukan di sekitar situs Buni, Bebelan. Mungkin hanya Ujungan, satu-satunya seni beladiri yang tercatat secara arkeologis. Sementara di Majalengka sejarah keberadaan nama kesenian Ujungan dikenal sebagai permainan rakyat pada tahun 1960 di daerah Kecamatan Cibodas - Jawa barat kemudian dikenal sebagai Seni Sampyong.
Ujungan/Sampyong Majalengka ini mengandalkan kewaspadaan dan kekuatan menyerang. Alat yang digunakan untuk menyerang adalah tongkat rotan berukuran 60 cm. Permainan dilakukan oleh dua orang, baik perempuan dan laki-laki, dipimpin oleh seorang wasit bernama "malandang".
Pemain memakai teregos atau “balakutak” yaitu kain yang terbuat dari bahan lembut untuk menutupi kepala pemain, sehingga dapat menghalangi kepala saat dipukul. Sasaran pukulan tidak dibatasi dari kepala sampai kaki dan tidak terhalang. Seorang pemain memukul musuh sebanyak mungkin, sampai musuh dikalahkan dan tidak mampu menahan rasa sakit.
Ujungan merupakan suatu kesenian bela diri yang berkembang di Bekasi. Kata ujungan sendiri berasal dari Bahasa Sunda, Jung yang berarti dari lutut ke bawah. Kata ini berkembang menjadi ujung yang artinya kaki. Beberapa tokoh ujungan Bekasi mengatakan bahwa ujungan berasal dari kata ujung (bongkot, bahasa dialek Bekasi), baik ujung rotan maupun ujung kaki.
Di Bekasi, ujungan memiliki nama lain seperti Sabet Rotan dan Gitikan. Di Desa Srijaya, Kampung Gabus, Tambun Utara, kata ujungan diistilahkan dengan Pencug di Ujung. Tetapi sebagian besar masyarakat mengenalnya sebagai ujungan. Dalam ujungan terdapat tiga unsur seni, yaitu bela diri yang dimiliki para pemain, tari yang diperlihatkan dalam Uncul, serta musik berupa instrumen perkusi Sampyong dan Tok Tok sebagai waditra pengiring ujungan dan uncul.
Sampyong akan dimainkan bersamaan dengan masuknya ”Pengibing” pencak silat atau biasa disebut Uncul ke arena. Pengibing akan berjalan keliling untuk mencari penantang. Jika ada orang yang masuk menerima tantangan, maka dimulailah Ujungan. Sang pemenang kemudian akan mengajukan tantangan kepada penonton, begitu seterusnya hingga seseorang petarung dianggap sebagai seorang jawara Ujungan apabila tidak adalagi yang berani menantang.
Para pemain Ujungan akan saling beradu ”kesaktian” dengan mengunakan tongkat yang dimainkan berdasarkanteknik pencak silat masing-masing. Ukuran tongkat bervariasi, berkisar 40–125 cm, umumnya di daerah Betawi dan sekitarnya menggunakan rotan berukuran 70 cm, dengan diameter sebesar lengan bayi.
Ujungan merupakan seni ketangkasan pukul memukul menggunakan rotan. Sasarannya pinggang ke bawah, di luar area alat vital, dengan fokus utamanya tulang kering dan mata kaki. Rotan yang digunakan dipilih dengan tingkat fleksibilitas yang tinggi, sehingga dapat melengkung saat dipukulkan ke kaki atau badan lawan, polos tanpa dilapisi apapun sebagai pegangan.
Setiap pertandingan akan dipimpin wasit yang disebut Bobotoh. Biasanya seorang Bobotoh merupakan tokoh sesepuh yang memiliki kesaktian di atas rata-rata, para guru silat. Kehadiran Bobotoh sangat diperlukan untuk menengahi, maklum pada peserta Ujungan kebanyakan jawara, sehingga rentan lepas kendali yang bisa menyebabkan terjadi perkelahian sesungguhnya.
Bobotoh akan mengunakan tongkat panjang atau selendang sebagai alat memimpin pertandingan,di arena seluas 5x10 meter. Seperti juga umumnya pertandingan, selalu ada aturan. Bagian kepala dan kemaluan tidak boleh dipukul, hanya dibolehkan pinggang ke bawah. Sasaran utama pukulan terletak pada tulang kering, dan mata kaki lawan baik yang kanan maupun yang kiri.
Setiap pukulan yang mengenai sasaran atau disebut Balan, akan mendapatkan nilai untuk menentukan pemenang. Pemenang bisa juga ditentukan dari siapa yang keluar dari arena atau tunduk. Seni ini berkembang dari tradisi para pendekar, jawara atau jago maen pukulan dalam menyeleksi yang terkuat di antara yang kuat dan yang terjago di antara para jago.
Ada juga yang mengartikannya pertandingan antar jago maen pukulan, dalam mengadu ketahanan fisik dan non fisik (ilmu kesaktian), agar mendapatkan tempat dan status sosial di masyarakat. Pendekar, jawara, atau jago turun bertanding menggunakan teknik dari aliran silat masing-masing, seperti aliran Ki Atu, Ki Jirimin, Bongkot, dan Jalan Enam Pengasinan atau aliran silat yang secara khusus memiliki permainan senjata tongkat atau toya.
Peserta yang paling sedikit mendapat pukulan dan paling banyak memberikan pukulan keluar sebagai juara. Belakangan ujungan tidak lagi digelar untuk menyeleksi jago terbaik, tapi hanya sebagai seni pertunjukan dan hiburan rakyat. Di zaman penjajahan, ujungan digunakan sebagai sarana untuk membina mental dan fisik para pejuang, agar tidak takut menghadapi Belanda dan Jepang. Ujungan juga dijadikan ajang pelatihan mental spiritual. Karena itu ujungan tidak dapat dikategorikan sebagai cabang ilmu bela diri, namun dapat difungsikan sebagai sarana melatih ilmu bela diri.
Uncul merupakan wiyaga, bentuk seni tari yang mengawali laga ujungan. Seorang peserta ujungan ketika akan bertanding dan mencari lawan melakukan gerakan-gerakan jurus yang meledek sambil berkeliling ke arah penonton. Gerakan uncul juga bermakna tantangan kepada peserta lain. Jika ada orang yang terpancing masuk arena, dimulailah ujungan. Jika tantangan tidak bersambut, peserta yang melakukan wiyaga akan keluar. Begitu seterusnya hingga seorang peserta dianggap sebagai jawara, karena tak ada lagi yang berani menantang.
Instrumen pengiring seni Ujungan adalah Sampyong. Ini adalah alat musik semacam gambang, terbuat dari kayu yang dipotong kasar, artinya kulit pada bagian luar batang kayu tidak dibuang. Potongan-potongan kayu dengan ukuran berbeda diikatkan pada tali, kemudian untaian potongan kayu itu diletakkan di atas dua batang bambu yang melintang.
Perbedaan ukuran potongan kayu itu menghasilkan tangga nada yang bervariasi. Semakin pendek ukuran kayu semakin tinggi nadanya. Pada perkembangannya, di sebagian daerah Betawi yang berdekatan dengan area budaya Sunda penggunaan sampyong ditambah dengan waditra pencak silat.
Musik yang mengiringi uncul dan ujungan sama halnya musik pengiring ibing pencak silat, seperti tepak dua, paleredan, pongpang atau padungdung, dengan lagu berjudul Barlen dan Kembang Kawung. Selain itu adalah Tok-Tok yang merupakan instrumen yang menyertai atraksi uncul dan ujungan, berbahan baku bambu seperti kentongan. Alat ini berfungsi mengatur ritme musik dalam mengiringi gerakan peserta uncul dan ujungan.
Seperti sampyong, pengembangan instrumen musik uncul dan ujungan dimodifikasi dengan instrumen ibing pencak silat pada umumnya. Di beberapa tempat tok-tok diganti alat musik kecrek. Dalam permainan ujungan ini, ujung kaki (jari-jari kaki, khususnya ibu jari) harus diperhatikan dan dipertahankan agar tidak terkena ujung rotan. Sebab akan menimbulkan luka berat bila terkena pukulan penjug (istilah dalam permainan ujungan). Menariknya dalam permainan ujungan ini terdapat dua hal yang perlu diperhatikan yakni Ujung Rotan dan Ujung Kaki
Bagi para Jawara, ujungan adalah pertaruhan harga diri dan perebutan status sosial. Uniknya, setiap jawara yang bertanding harus dari daerah yang berbeda dan tidak saling mengenal, untuk mencegah timbulnya balas dendam bagi yang kalah. Tokoh yang dikenal sebagai jawara dan pelestari Ujungan di Bekasi adalah Abah Natrom. Ada juga Ki Dalih atau akrab dipanggil Baba Dalih yang terkenal merajai arena Ujungan dari Cikarang, Cakung, Betawi hingga Tanggerang di era tahun 1950an.
Abah Natrom dan Baba Dalih adalah generasi terakhir yang setia melestarikan Ujungan sampai awal dekade 1980an. Sampai tahun 80an, di daerah Babelan dan sekitarnya kita masih bisa menyaksikan pertunjukan Ujungan. Biasanya digelar pada hari-hari besar, seperti pernikahan, perayaan adat dan lainnya. Tapi sekarang nyaris sudah tidak ada.
Ujungan kini di ujung kepunahan. Padahal seni bela diri ini merupakan kesenian Sunda, Betawi dan Jawa yang sudah berumur ribuan tahun. Di dalamnya menanamkan sportivitas dan persaudaraan. Kesenian warisan budaya leluhur, yang didalamnya berpadu pencak silat, musik, tari dan nilai-nilai luhur.
Di daerah Banjarnegara tepatnya di desa Gumelem kecamatan Susukan, ujungan sebagai festival kebudayaan ketika musim kemarau, awalnya untuk meminta hujan. Namun karena minat masyarakat akan kebudayaan ujungan di banjarnegara. Terkadang di adakan ketika musik kemarau panjang, tapi tidak setiap saat kemarau di adakan, hanya pada saat-saat tertentu saja.
Di daerah Jombang, Tari Ujungan dilakukan pada musim kemarau. Tujuan dari tradisi tersebut adalah sebagai usaha untuk meminta hujan kepada Tuhan. Sama dengan yang ada di Probolinggo, penari yang akan dicambuk melakukannya tanpa diperintah melainkan secara sukarela.[2]
Namun seiring waktu, Tari Ujungan yang awalnya dijadikan sarana untuk meminta hujan kini hanya dilaksanakan sebagai pertunjukan seni dan hiburan biasa. Pada umumnya para penari mendapat beberapa puluh ribu rupiah untuk sekali tampil.[3]
Dalam pertunjukannya, tidak ada ketentuan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Permainan berakhir ketika kedua penari yang diadu telah merasa cukup. Jika ditilik berdasarkan sejarah, Tari Ujungan diambil dari cerita rakyat Aji Saka, dimana menceritakan kedua anak buahnya yang memperebutkan senjata tuannya.[4]
Namun ada juga yang mengatakan bahwa Tari Ujungan merupakan warisan dari Kerajaan Majapahit. Terlepas dari mana sebenarnya Tari Ujungan berasal, tradisi ini dilaksanakan sekali dalam setahun.[5]
Referensi
- ^ "Ujung-ujungan, Simbol Kelemahan Manusia..." Kompas.com. Diakses tanggal 2019-02-19.
- ^ "Uniknya Seni Ujung, Tradisi Minta Hujan yang Digelar Warga Jombang". iNews.ID (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-02-19. Diakses tanggal 2019-02-19.
- ^ News, Top; Terkini; Pariwisata, Budaya &; Ekonomi; Hukum; Olahraga; Haji, Info; Politik; Mlaku-mlaku. ANTARA News https://jatim.antaranews.com/foto/227380/tradisi-ujungan. Diakses tanggal 2019-02-19.
- ^ radarmalangonline (2017-09-14). "Ujung-Ujungan, Maknai Berkelahi Untuk Hidup Rukun". Radar Malang Online (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-09-15. Diakses tanggal 2019-02-19.
- ^ Media, Solopos Digital. "Ritual Minta Hujan Dikemas dalam Pesta Rakyat di Banjarnegara". Semarangpos.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-02-19. Diakses tanggal 2019-02-19.