Teater Gandrik

Teater Gandrik adalah kelompok seni teater dari Yogyakarta, Indonesia. Kelompok ini didirikan pada tanggal 13 September 1983 oleh Heru Kesawa Murti, Susilo Nugroho, Saptaria Handayaningsih, dan Jujuk Prabowo. Teater Gandrik mulai diakui keberadaannya setelah memenangi Festival Pertunjukan Rakyat tingkat daerah sebagai juara pertama.[1][2] Teater Gandrik lebih banyak mengangkat tema-tema sosial, kritik terhadap penguasa atas keadaan masyarakat kecil yang semakin terpinggirkan, tetapi tetap disampaikan dengan gaya yang enak, bahkan diselingi canda. Sehingga, pada masa Orde Baru, kelompok ini termasuk yang cukup aman melenggang tanpa dihinggapi ketakutan akan dicekal oleh penguasa. Aktivitas Teater Gandrik berpusat di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja.[3]

Sejarah

Teater merupakan salah satu kelompok teater kontemporer Indonesia yang mampu mengolah bentuk dan spirit teater tradisional dengan gaya pemanggungan modern. Kelompok yang didirikan 13 September 1983 oleh Jujuk Prabowo, Heru Kesawa Murti,[4] Susila Nugraha, Sepnu Heryanto, Novi Budianto itu, hingga kini masih malang melintang di dunia seni pertunjukan nasional. Sejak terbentuk, dan melewati pasang surut kreatif bahkan masa-masa vakum yang menggelisahkan, Teater Gandrik senantiasa mencoba dan mengembangkan semangat guyon parikena dalam pertunjukannya.[5]

Tahun 1980-1990, bisa dikatakan menjadi tahun-tahun paling produktif bagi Teater Gandrik. Ditandai dengan beberapa pementasan yang menjadi bagian penting dari dinamika sosial politik di Indonesia pada masa itu. Ketika hagemoni kekuasaan Orde Baru begitu kuat, lakon-lakon Teater Gandrik mampu menjadi medium untuk melakukan kritik sosial sekaligus katarsis politik.

Lakon-lakon Teater Gandrik merupakan ‘manifestasi teateral dan modern dari pola kritik varian rakyat kecil’, terutama rakyat kecil Jawa, dengan menggunakan guyon parikena, menyindir secara halus yang tidak menimbulkan kemarahan yang berkuasa, dan bahkan seperti mengejek diri sendiri walaupun sesungguhnya yang dibidik adalah orang lain (yang tengah berkuasa).

Model kritik guyon parikena dan semangat mengolah bentuk-bentuk teater tradisional ke dalam bentuk pementasan teater modern, menjadi dua hal penting yang menjadi orientasi estetis lakon-lakon Teater Gandrik. Itulah sebabnya Teater Gandrik kemudian disebut sebagai kelompok yang mengembangkan estetika sampakan. Dimana panggung menjadi medan permainan para aktor secara luwes, cair dan cenderung ‘memain-mainkan karakter’ dalam lakon-lakonnya, sehingga tak ada batasan yang jelas antara ‘aktor sebagai pemain’ dengan ‘watak yang dimainkannya’. Inilah pola permainan gaya sampakan, yang oleh para personil Teater Gandrik disebut sebagai pengembangan dari pola permainan yang mereka temukan pada banyak teater tradisional di Indonesia.

Para personil dan penggiat Teater Gandrik yang di kemudian hari diperkuat Butet Kartaredjasa, Djaduk Ferianto, Whani Darmawan, dan Agus Noor memang tumbuh dalam lingkungan tradisi (Jawa) yang kental. Lingkungan tradisi inilah yang banyak memberi warna pada pementasan-pementasan Teater Gandrik. Tradisi itu juga menjadi jalan bagi Teater Gandrik untuk mencari (dan menemukan) identitas estetiknya. Namun begitu para personil Teater Gandrik juga mengalami modernisasi, yang mengakibatkan mereka memiliki keinginan untuk berbeda dengan generasi sebelumnya, dimana mereka kemudian memasuki ‘sebuah dunia baru yang bernama Indonesia’.

Sebagai komunitas kreatif, Teater Gandrik sangat fleksibel dalam keanggotaan. Keanggotaan Teater Gandrik hanya ‘diikat’ oleh kebersamaan dalam melakukan pencarian idiom-idiom teaterikal yang ingin mereka capai bersama. Tidak mengherankan, apabila banyak anggotanya yang kemudian keluar masuk, berganti-ganti personil. Yang jelas, sampai sekarang beberapa personil Teater Gandrik terus berupaya membangun soliditas kelompok dengan terus melakukan proses bersama.

Salah satu upaya dalam membangun soliditas grup dilakukan dengan menjadikan Tater Gandrik sebagai suatu kelompok terbuka, dimana para angota (yang baru maupun yang lama) terus melakukan proses dan pencarian bersama untuk menemukan idiom-idiom teater yang relevan dan orisinil bagi pementasan-pementasan berikutnya.

Upaya lain yang dilakukan Teater Gandrik ialah dengan membangun sistem internal yang lebih tertata dan terencana. Dengan begitu, secara manajemen, Teater Gandrik bisa menjadi kelompok teater yang bersifat modern. Itulah yang menjadi kesadaran dan paradigma berpikir Teater Gandrik, bahwa sebuah kelompok teater tak bisa lagi hanya berfungsi sebagai media pergaulan bersama dan medan pengembaraan artistik, tetapi juga mesti mampu menjadi media yang memungkinkan setiap orang menjadi manusia kreatif. Latar pemikiran seperti itulah, yang kemudian membawa Teater Gandrik berada dalam lingkungan Yayasan Bagong Kussudiardja, yang kian memungkinkan bagi Teater Gandrik untuk terus mengembangkan diri.

Repertoar

  • Meh (1983)
  • Kesandung (1984)
  • Pasar Seret (1985)
  • Pensiunan (1985)
  • Sinden (1986)
  • Isyu (1986)
  • Dhemit (1986)
  • Juru Kunci (1987)
  • Orde Tabung (1987)
  • Flu (1988)
  • Kera-Kera (1988)
  • Upeti (1989)
  • Juragan Abiyoso (1990)
  • Tangis (1990)
  • Buruk Muka Cermin Dijual (1991)
  • Khayangan Goyang (1992)
  • Proyek (1992)
  • Brigade Maling (1999)
  • Mas Tom (2002)
  • Departemen Borok (2003)
  • Dewan Perwakilan Rayap (2007)
  • Sidang Susila (2008)
  • Keluarga Tot (2009)[6]
  • Pandol (2010)
  • Gundala Gawat (2013)
  • Tangis (2014)
  • Hakim Sarmin (2017)

Lihat pula

Rujukan

  1. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-06-26. Diakses tanggal 2010-06-06. 
  2. ^ "Kelola Art, diakses 3 Feb 2015". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-03-09. Diakses tanggal 2021-05-27. 
  3. ^ Agus Noor Files, diakses 3 Feb 2015
  4. ^ "Tempo.co, diakses 3 Feb 2015". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-02-03. Diakses tanggal 2015-02-03. 
  5. ^ VOA Indonesia, diakses 3 Feb 2015
  6. ^ "Teater Gandrik Pentaskan Keluarga Tot Kembali, Indosiar, diakses 3 Feb 2015". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-02-04. Diakses tanggal 2015-02-03.