Tarian Pitu atau dalam bahasa Toraja disebut sebagai Ra' Pitu merupakan 7 (tujuh) peradilan adat tradisional yang berasal dari Suku Toraja, provinsi Sulawesi Selatan. Sistem peradilan adat tradisional Tarian Pitu tersebut sudah digunakan jauh sebelum pihak Hindia Belanda menduduki Tana Toraja pada tahun 1906. Sekarang sistem peradilan adat tradisional Tarian Pitu tersebut hanya berlaku di kampung sekitar Tana Toraja yang jauh dari pusat kota di mana yang sistem peradilannya kini sudah dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri.[1]
Peradilan adat tradisional Tarian Pitu umumnya dilaksanakan sebagai cara mengadili yang paling terakhir bagi kedua belah pihak yang bersengketa ketika tidak ada lagi pihak yang mampu lagi memediasi kedua belah pihak tersebut. Pelaksanaan pengadilan adat Tarian Pitu tersebut dilakukan oleh Badan Dewan Adat yang merupakan badan peradilan secara adat diakui dan sah oleh masyarakat suku Toraja tanpa melibatkan bukti tertulis dan saksi hidup lagi. Ketika proses mediasi gagal oleh kedua belah pihak yang berselisih, Badan Dewan Adat memberikan opsi salah satu dari tujuh Tarian Pitu tersebut dengan segala konsekuensi beserta keputusannya yang bersifat mutlak sehingga tidak dapat diganggugugat oleh pihak manapun.[2]
Sesuai dengan namanya yang mengandung kata pitu yang berarti tujuh, sistem peradilan ini terdiri dari 7 (tujuh) bentuk peradilan yang masing-masing terdiri dari Si-Pantetean Tampo atau Si-Ba'ta Tungga, Si-Ukkukan, Si-Pakoko, Si-Londongan, Si-Biangan atau Si-Rektek, Si-Tempoan, dan Si-Rari Sangmelambi.[3]
Asal Mula Peradilan Adat Tarian Pitu
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari para tetua adat Suku Toraja yang terdiri dari Ne' Mika, Ne' Silamba', Ne' Karre' , Ne Gandang Palo'lian, dan Ne' Banne Borong dari tahun 1967 sampai tahun 1979 sepakat bahwa Daerah Adat beserta masyarakat di Toraja sangat menghormati segala keputusan dari Tarian Pitu secara mutlak. Alasan dari mutlaknya keputusan aturan peradilan adat tersebut dikarenakan peradilan adat Tarian Pitu berasal dari ajaran budaya Aluk Todolo yang artinya agama leluhur.[4] Ajaran tersebut berupa kepercayaan terhadap eksistensi peradilan adat Tarian Pitu yang sudah ada sejak zaman dahulu kala diatas langit yang mana merupakan asal usul dari nenek moyang Suku Toraja tersebut.[5]
Proses Peradilan Adat Tarian Pitu
Ketika salah satu dari 7 (tujuh) pilihan dari peradilan adat Tarian Pitu sudah ditentukan oleh kedua belah pihak yang sedang berselisih, maka adakan dilakukan beberapa ketentuan yang wajib untuk diikuti dan disepakati bersama. Sebelum memulai peradilan adat Tarian Pitu tersebut, kedua belah pihak tersebut berdoa kepada Tuhan yang maha esa guna meminta berkat kemenangan serta memohon perlindungan. Tuhan menurut kepercayaan Aluk Todolo oleh Suku Toraja disebut sebagai Puang Matua, deata, dan Tomembali Puang.[6]
Setelah berdoa, kedua belah pihak tersebut diambil sumpahnya oleh Penghulu Aluk Todolo disertai dengan berbagai ritual dan ketentuan adat yang berlaku. Setelah diambil sumpahnya masing-masing, segala ketentuan beserta keputusan yang telah ditentukan baik sebelum maupun sesudah pelaksanaan peradilan adat Tarian Pitu tersebut bersifat mengikat dan tidak boleh dilanggar baik oleh masing-masing pihak maupun kedua belah pihak. Setelah proses pengambilan sumpah oleh Penghulu Aluk Todolo terhadap masing-masing pihak selesai, barulah proses salah satu Tarian Pitu bisa dimulai. Umumnya pelaksanaan Tarian Pitu tersebut berlangsung singkat karena Suku Toraja percaya bahwa pihak yang benar diantara kedua belah pihak yang berselisih tersebut berarti doanya dikabulkan oleh Puang Matua, deata, dan Tomembali Puang.[7]
Si-Ba'ta Tungga atau Si-Pantetean Tampo
Sesuai namanya, Si-Ba'ta Tungga memiliki arti pertandingan satu lawan satu. Peradilan Si-Ba'ta Tungga merupakan salah satu jenis peradilan adat Tarian Pitu yang berupa pertarungan duel antar kedua belah pihak yang berselisih yang dilakukan diatas pematang sawah yang dalam Bahasa Toraja disebut Tampo. Dikarenakan pertarungan tersebut dilakukan diatas pematang sawah, Si-Ba'ta Tungga juga disebut sebagai Si-Pantetean Tampo yang artinya pertarungan diatas pematangan sawah.[8]
Dalam pertarungan tersebut masing-masik pihak berselih diperbolehkan menggunakan senjata seperti Tombak atau Dokee, Pedang yang tajam atau La'bo' Dualalan, atau bahkan sebatang kayu yang berbentuk pentungan atau disebut Tara Sulu' . Pelaksanaan Si-Ba'ta Tungga atau Si-Pantetean Tampo tersebut berada didalam kurungan berbentuk persegi 4 (empat) yang disebut Pangkung. Alasan pemasangan Pangkung tersebut adalah menghindari pihak yang menerobos masuk baik itu penonton maupun pihak keluarga dari salah satu pihak yang berselisih ketika pertarungan Si-Ba'ta Tungga atau Si-Pantetean Tampo sedang berlangsung agar berlangsung adil.[9]
Syarat yang wajib dipenuhi oleh kedua belah pihak yang berselisih adalah berada dalam kondisi yang berani, kuat, tangkas, dan sehat. Karena selain sebagai sarana peradilan adat, pertarungan Si-Ba'ta Tungga atau Si-Pantetean Tampo ini juga merupakan salah satu bentuk gengsi antar keluarga karena dihadiri oleh keluarga kedua belah pihak. Sebelum dimulai, setelah berdoa kedua belah pihak yang berselisih tersebut diminta bersumpah oleh Penghulu Aluk Todolo dengan narasi Barang siapa yang tidak benar maka akan kalah dan Barang siapa yang benar tidak akan mengalami sesuatu. Ketua adat ini juga yang nantinya menentukan siapa yang menang, gugur, atau lari dari arena pertarungan. Apapun hasil yang didapat maka keputusannya bersifat mutlak karena berdasarkan kepercayaan Suku Toraja bahwa kemenangan akan berkuasa atau disebut Ma' Pesalu atau Na Ola Salunna.[10]
Si-Ukkukan
Si-Ukkukan merupakan merupakan salah satu jenis peradilan adat Tarian Pitu berupa aturan untuk menyelam kedalam air sungai yang dalam bagi kedua belah pihak yang tengah berselisih. Pihak yang muncul keatas permukaan air maka pihak tersebut dinyatakan kalah dalam perkara yang sedang diadili. Sebelum dimulai, kedua belah pihak yang berselisih tersebut diminta berdoa dan bersumpah oleh Penghulu Aluk Todolo dengan narasi Barang siapa yang tidak benar maka akan kalah dan Barang siapa yang benar tidak akan mengalami sesuatu lalu kedua pihak tersebut menyelam secara bersamaan. Ketua adat yang nantinya akan menentukan siapa yang menang atau gagal dari pertarungan tersebut. Apapun hasil yang didapat maka keputusannya bersifat mutlak karena berdasarkan kepercayaan Suku Toraja bahwa kemenangan akan berkuasa atau disebut Ma' Pesalu atau Na Ola Salunna.[11]
Si-Pakoko
Mirip seperti peradilan Si-Ukkukan, peradilan Si-Pakoko merupakan merupakan salah satu jenis peradilan adat Tarian Pitu berupa mencelupkan kedua tangan kedua belah pihak tersebut kedalam airmendidih secara bersamaan. Pihak yang muncul keatas permukaan air mendidih tersebut maka pihak tersebut dinyatakan kalah dalam perkara yang sedang diadili. Sebelum dimulai, kedua belah pihak yang berselisih tersebut diminta berdoa dan bersumpah oleh Penghulu Aluk Todolo dengan narasi Barang siapa yang tidak benar maka akan kalah dan Barang siapa yang benar tidak akan mengalami sesuatu kemudian kedua pihak tersebut mencelupkan kedua tangannya secara bersamaan. Ketua adat yang nantinya akan menentukan siapa yang menang atau gagal dari pertarungan tersebut. Apapun hasil yang didapat maka keputusannya bersifat mutlak karena berdasarkan kepercayaan Suku Toraja bahwa kemenangan akan berkuasa atau disebut Ma' Pesalu atau Na Ola Salunna.[12]
Si-Londongan
Si-Londongan atau Massaung Manuk merupakan merupakan salah satu jenis peradilan adat Tarian Pitu berupa pertandingan sabung ayam. Sebelum dimulai, kedua belah pihak yang berselisih tersebut diminta berdoa dan bersumpah oleh Penghulu Aluk Todolo dengan narasi Barang siapa yang tidak benar maka akan kalah dan Barang siapa yang benar tidak akan mengalami sesuatu kemudian kedua pihak tersebut mencelupkan kedua tangannya secara bersamaan. Setelah selesai Penghulu Aluk Todolo tersebut memerintahkan kedua pihak yang berselisih tersebut memilih ayam jago pilihannya masing-masing untuk diadu.[13]
Setelah kedua belah pihak tersebut memperoleh ayam jagonya masing-masing, kedua ayam tersebut kemudian didoakan dan disumpah dengan narasi ayam jago dari pihak yang bersalah akan mati dalam pertarungan dan pihaknya dinyatakan kalah dan ayam jago dari pihak yang benar akan baik-baik saja dan pihaknya dinyatakan menang. Setelah Penghulu Aluk Todolo tersebut selesai memberi sumpah dan doa pada ayam jago tersebut, kemudian tiap ayam jago akan dipasangi taji yang tajam dan runcing lalu diadu untuk mencari pemenangnya. Walaupun dahulu tidak menggunakan taji yang tajam dan runcing, penggunaannya sekarang agar pertarungan sabung ayam berlangsung cepat dan dapat diambil keputusannya oleh Ketua Adat. Menurut kepercayaan Aluk Todolo bentuk peradilan Si-Londongan ini sudah berlaku sejak dahulu kala di langit yang kemudian diturunkan ke bumi oleh nenek moyang Suku Toraja yang disebut Pong Mula Tau. Oleh karena itu sabung ayam bisa dikatakan sebagai budaya inti bagi Suku Toraja.[14]
Faktor kemenangan ayam jago tersebut menurut Suku Toraja ditentukan oleh jenis buluh ayam jago disertai dengan mantra-mantra atau Galla' Manuk dari pemiliknya. Adapun bentuk buluh ayam jago yang paling mematikan adalah buluh ayam dengan kategori Sissik. Saat sabung ayam berlangsung, dalam waktu singkat biasanya terdapat 3 kemungkinan. Ketua adatlah yang nanti berhak menentukan pihak mana yang akan menang dan keputusannya bersifat mutlak dan tidak dapat diganggugugat.[15]
Adapun berbagai hasil menurut kriteria ayam jago dalam sabung ayam tersebut adalah sebagai berikut:
Manuk toka' yang berarti kedua ayam jago tersebut tidak melakukan perlawanan sehingga pertandingan dinyatakan batal.
Manuk puli' yang berarti kedua ayam tersebut tidak ada yang menang maupun kalah sehingga dinyatakan seri.
Manuk ma' pitto' yang berarti ayam tersebut menang dan disepakati sebagai pemenang dalam pertarungan tersebut.
Manuk tangma' pitto' yang artinya ketika ayam yang telah memenangkan pertarungan tetapi tidak mematuk lawannya pada pertarungan berikutnya maka dianggap seri.
Parasila yang artinya pemasangan kepal ayam pada ayam yang kalah agar dipatukk ayam yang menang.
Sepak yang berarti ayam yang kalah dikelaurkan kaki yang dipasangkan taji ketika didalam pertarungan.
Dalam kepercayaan Suku Toraja Ayam Jantan atau Ayam Jago merupakan bintang jasa atau tanda jasa bagi para pejuang rakyat, pahlawan, dan pemimpin dalam masyarakat. Bahkan kokok Ayam Jantan atau Ayam Jago dimalam hari dianggap seolah-olah menerangi kegelapan dan dianggap sebai simbol patriotik, kejujuran, dan pembela keadilan.[16]
Kontroversi Si-Londongan
Salah satu contoh Suku yang melestarikan sabung ayam sebagai salah satu ritual adat adalah Suku Sabu Raijua. Hal ini diutarakan oleh Bupati Sabu Raijua Marthen Dira Tome yang menjelaskan bahwa sabung ayam bukanlah judi melainkan ritual adat serta hiburan yang dapat mempererat tali persaudaraan antar Suku Sabu.[17] Walaupun masih dianggap sebagai salah satu ritual adat, sabung ayam merupakan salah satu bentuk perjudian yang dilarang keras oleh pemerintah yang ketentuannya diatur dalam hukum positif KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) Undang-Undang Nomor 7 (tujuh) tahun 1974 dan hukum positif KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) PP (Peraturan Pemerintah) No. 9 (sembilan) tahun 1981 mengenai penertiban perjudian. Adapun sabung ayam merupakan salah satu bentuk judi berupa adu ayam yang tertera jelas dalam penjelasan PP (Peraturan Pemerintah) No. 9 (sembilan) tahun 1981 khususnya pasal 1 (satu) ayat 1 (satu) poin c. Dalam pemberantasannya terutama dalam masyarakat Suku Toraja, pihak aparat penegak hukum masih menemui banyak kendala karena masih banyak dilakukan secara sembunyi-sembunyi yang tertutup dalam upacara kematian Bulangan Londong tersebut. [18]
Uniknya budaya sabung ayam lestari dari berbagai generasi bahkan sampai disebarkan oleh Suku Toraja di tanah perantauan. Namun dalam pelaksanaannya tradisi sabung ayam tidak seperti dahulu ketika dilakukan oleh nenek moyang Suku Toraja. Saat ini marak dilakukan sabung ayam yang diiringi dengan kegiatan perjudian dan kerap kali pula terjadi penggrebekan oleh pihak kepolisian untuk menangkap para penjudi sabung tetapi hal tersebut tidak langsung membuat jera. Masyarakat Suku Toraja pun terpecah menjadi 2 (dua) ppihak dengan pendapat yang bertentangan. Salah satu pihak menyatakan bahwa sabung ayam merupakan adat yang perlu dilestarikan. Di sisi lain berpendapat bahwa sabung ayam dianggap sebagai bisnis judi yang merupakan penyakit masyarakat sehingga perlu untuk dibasmi.[19]
Walaupun dianggap sebagai salah satu bentuk judi yang artinya melanggar hukum, pemerintah tidak bisa serta merta membubarkan kegiatan Si-Londongan atau sabung ayam tersebut jika sudah berizin dalam rangka upacara Bulangan Londong atau upacara kematian Suku Toraja dikarenakan sudah menjadi bagian hukum adat di Tana Toraja.[20]
Si-Biangan atau Si-Rektek
Si-Biangan merupakan merupakan salah satu jenis peradilan adat Tarian Pitu yang mirip seperti Lotre atau bisa dikatakan sebagai peradilan menggunakan sistem probabilitas. Adapun langkahnya diawali dengan pembacaan mantra-mantra oleh Penghulu Aluk Todolo menggunakan perantara bambu kecil yang oleh Suku Toraja disebut Biang atau Tile yang umumnya tumbuh di tebing-tebing tertentu. Pertama-tama Penghulu Aluk Todolo mengambil sebatang (satu ruas) Sepotong Ruas Biang atau Tile tersebut kemudian dibelah sama besar. Setelah Sepotong Ruas Biang atau Tile tersebut terbelah, satu belahan tersebut diberi tanda yang nantinya akan dipilih oleh kedua belah pihak yang tengah berselisih tersebut. Salah satu pihak memilih bagian belakang belahan sementara pihak lainnya akan memilih bagian muka belahan kayu tersebut.[21]
Setelah selesai memilih lalu kedua belah pihak tersebut akan duduk berhadapan didepan Penghulu Aluk Todolo. Sebelum dimulai, kedua belah pihak yang berselisih tersebut diminta berdoa dan bersumpah oleh Penghulu Aluk Todolo dengan narasi Terkutuklah bagi pihak yang tidak benar dan Terberkatilah bagi pihak yang benar kemudian dilemparlah belahan batang Biang tersebut sebanyak 3 (tiga) kali secara berturut-turut keatas oleh Penghulu Aluk Todolo dihadapan Ketua Adat. Perbanding yang umum terjadi biasanya tiga banding nol (3:0) atau dua banding satu (2:1). Pihak yang mendapatkan nilai terbanyaklah yang akan memenangkan gugatan. Pemenang gugatan tersebut nantinya akan diputuskan oleh Ketua Adat dengan keputusan yang mutlak tanpa diganggugugat oleh pihak manapun.[22]
Si-Tempoan
Si-Tempoan merupakan merupakan salah satu jenis peradilan adat Tarian Pitu yang berbentuk saling menyumpahi atau Menggata satu sama lain antar pihak yang berselisih. Sebelum dimulai, Penghulu Aluk Todolo melakukan sumpah dan doa terhadap dua pihak yang saling berselisih tersebut. Pelaksanaan peradilan Si-Tempoan mirip dengan pelaksanaan pengambilan sumpah dalam Pengadilan Negeri. Setelah selesai, kedua pihak akan mengucapkan sumpah dihadapan keluarga pihak masing-masing dengan ulangan dari arahan doa dan sumpah dari Penghulu Aluk Todolo. Adapun sumpah tersebut berbunyi sebagai berikut:[23]
Puang Matua, Deata To Tallu Esunganna Tomembali Puang laun rimpi' na' lan Tangnga Padang sia tang laana pasitirona' kameloan sia kamananmanan sae lakona ketanggumpokadana' tang tongan anna... seterusnya
Arti sumpah tersebut adalah sebagai berikut:
Tuhan Sang Pencipta, Dewa Sang Pemelihara tiga serangkai dan Leluhur akan menghancurkan penghidupan dan akan mengutuk selama-lamanya kalau saya tidak berkata benar... dan seterusnya...
Ketika pengucapan sumpah tersebut harus disertai dengan tempo atau jangka waktu yang sudah disepakati kedua belah pihak yang tengah berselisih. Rentang waktu yang dipilih biasanya 3 (tiga) hari, 6 (enam) hari atau disebut sebagai Sang Pasa' , 30 (tiga puluh) hari atau disebut sebagai Sang Bulan, atau Sang Tahun yang rentang waktunya dihitung dengan waktu sekali panen. Ketika tempo yang ditentukan telah tiba, isi sumpah tersebut biasanya akan terjadi kutukan dari Tuhan, Deata, dan To Membali Pulang atau kematian salah satu pihak untuk membuktikan mana pihak yang salah dan mana pihak yang benar. Ketika salah satu pihak mendapatkan kutukan atau kematian, Ketua Adat segera mengumumkan pemenang dalam gugatan tersebut yang hasilnya sudah pasti mutlak. Biasanya sumpah dan doa yang dipanjatkan oleh Penghulu Aluk Todolo sudah terbukti terjadi pada kedua belah pihak yang tengah berselisih.[25]
Semenjak masuknya pengaruh dari eksternal Suku Toraja seperti pendudukan Hindia Belanda serta pengaruh Islam ke Tana Toraja mengakibatkan status peradilan Si-Tempoan ini berubah yang tadinya bersifat mutlak menjadi sebagai pembukti pernyataan saja karena rentan terhadap sumpah palsu untuk mengelabui masyarakat. Selain itu dinilai kejam karena masih terkena kutukan terus menerus. Saat ini peradilan Si-Tempoan tersebut dilakukan di pedalaman daerah Tana Toraja saja dengan tata cara pengambilan sumpah mirip dengan tatacara pengambilan sumpah di Pengadilan Negeri.[26]
Si-Rari Sangmelambi
Si-Rari Sangmelambi merupakan merupakan salah satu jenis peradilan adat Tarian Pitu dalam bentuk perang yang dilaksanakan pada waktu subuh atau dalam Bahasa Toraja disebut sebagai Sirari Sang Melambi' atau Perang Sepagi. Umumnya bentuk peradilan Si-Rari Sangmelambi dilakukan oleh Penguasa Adat atau Bangsawan yang berselisih paham dalam menentukan daerah kekuasaan masing-masing. Perang antar Penguasa Adat atau Bangsawan dimulai ketika ayam mulai berkokok sampai matahari mulai terbit. Peradilan Si-Rari Sangmelambi sering terjadi ketika Suku Toraja masih sering terjadi perang saudara dari tahun 1800 sampai datangnya pihak kolonial Belanda.[27][28]
Segala proses peradilan peperangan tersebut diawasi oleh Badan Pengawas Adat yang disepakati oleh kedua belah pihak. Pemenang peradilan Si-Rari Sangmelambi adalah pihak Penguasa Adat atau Bangsawan yang berhasil memasuki daerah lawannya. Selain itu, jika salah satu pihak Penguasa Adat atau Bangsawan terluka atau berdarah, maka Badan Pengawas Adat tersebut akan berteriak To' Do' Damo yang artinya sudah ada yang terluka atau berdarah. Jika sudah ada yang terluka atau berdarah maka peperangan akan selesai dan pihak yang kalah tersebut akan dinyatakan sebagai Talo Rari yang artinya kalah perang oleh Penguasa Adat dengan hasil keputusan mutlak tanpa gugatan pihak manapun.[29]
Peradilan Si-Rari Sangmelambi selain mengambil alih daerah lawan juga mewajibkan menyerahkan seluruh harta benda yang dimiliki kepada pihak lawan. Selain itu juga diwajibkan untuk membayar dengan benda tertentu sesuai kesepakatan atau sampai menjadi hamba untuk pihak lawan. Kewajiban membayar tersebut bagi Suku Toraja yang disebut sebagai Di Pakalao. Kewajiban tersebut berbeda dengan kewajiban Pamali dalam kepercayaan Aluk Todolo. Jika Pamali terjadi karena adanya pelanggaran, maka Di Pakalao terjadi karena adanya persengketaan antar dua belah pihak.[30]
Pemali
Pemali merupakan perintah berupa larangan-larangan yang wajib dipatuhi oleh Suku Toraja berdasarkan ajaran Aluk Todolo. Jika melanggar maka si pelanggar akan mendapatkan sanksi yang amat berat. Berbeda dengan Tarian Pitu yang disebabkan oleh perselisihan dua pihak, Pemali murni merupakan larangan yang sepatutnya untuk dihindari agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, baik berupa sanksi adat maupun kutukan dari Pemali itu sendiri. Berikut ini adalah Pemali dalam Suku Toraja:
Pemali umboko sunga' na pedanta tolino yang berarti dilarang saling bunuh sesama manusia. Pemali ini adalah pemali paling berat dengan sanksi keluarga sang pembunuh dengan keluarga sang korban bersumpah untuk tidak saling berhubungan dalam hal apapun yang dalam Bahasa Toraja disebut Sissalang.
Pemali ma' kada penduan yang berarti dilarang untuk melakukan dusta.
Pemali unkasirisan deata misanta yang berarti dilarang untuk berbuat khianat kepada kedua orang tua.
Pemali ungkattai bubun yang berarti dilarang buang air besar di sumur.
Pemali umbala' bala' tomanglaa yang berarti dilarang untuk menyiksa anak gembala.
Pemali meloko yang berarti dilarang untuk mengambil barang yang berasal dari kuburan.
Pemali umbala-bala' patuoan yang berarti dilarang untuk menyiksa sekawanan hewan ternak.
Pemali unteka' pelanduan yang berarti dilarang untuk melakukan pernikahan antara golongan budak atau sahaya dengan golongan bangsawan baik itu Tomakaka dan Tokapua. Sanksi Pemali ini adalah keduanya akan diusir seumur hidup dari Tana Toraja.
Pemali massape-ao' yang berarti dilarang meninggalkan rumah dalam hari yang sama dengan arah yang berbeda.
Pemali boko yang berarti dilarang untuk mencuri barang yang bukan miliknya.
Pemali urrusak pote dibolong yang berarti dilarang menggagu jalannya upacara penguburan orang yang telah mati.
Pemali ma' pangan bumi yang berarti dilarang untuk berbuat zina.
Pemali unromok tatanan pasak yang berarti dilarang berbuat keonaran didalam pasar.
Untuk sanksi lainnya tidak mendapat hukuman tetapi akan mendapat kutukan berupa kecelakaan bagi keluarga yang melakukan Pemali tersebut.[31]
Stratifikasi Suku Toraja
Untuk Tana Toraja sendiri terdiri dari 5 (lima) daerah yang dipimpin oleh pemimpin yang berbeda-beda. Pemimpin tersebut terdiri dari:
Daerah Sangala, Makale, dan Mengkendek dipimpin oleh bangsawan bergelar Puang.
Daerah Toraja barat dipimpin oleh bangsawan bergelar Ma'dika.
Daerah Rantepao dimpimpin oleh bangsawan bergelar Parengi.[32]
Adapun stratifikasi atau kasta bagi Suku Toraja adalah sebagai berikut:
Bangsawan Tinggi yang disebut Tana' Bulaan. Denda yang dikenakan jika terjadi pelanggaran berupa perceraian bagi strata tersebut berjumlah 24 (dua puluh empat) ekor kerbau.
Bangsawan Menengah yang disebut Tana' Bassi. Denda yang dikenakan jika terjadi pelanggaran berupa perceraian bagi strata tersebut berjumlah 6 (enam) ekor kerbau.
Rakyat Merdeka yang disebut Tana' Karurung. Denda yang dikenakan jika terjadi pelanggaran berupa perceraian bagi strata tersebut berjumlah 2 (dua) ekor kerbau.
Hamba Sahaya yang disebut Tana' Kua-kua. Denda yang dikenakan jika terjadi pelanggaran berupa perceraian bagi strata tersebut berjumlah 1 (satu) ekor babi. Khusus untuk strata Tana' Kua-kua sudah dihapus oleh pihak belanda tepatnya pada tahun 1909 sehingga kasta atau stratifikasi terenda adalah Rakyat Merdeka atau disebut Tana' Karurung.[33]
Ketentuan perceraian dalam adat Suku Toraja adalah sebagai berikut:
Jika yang ingin bercerai merupakan golongan dari Puang maka perceraian tersebut hanya akan disahkan dan diputuskan oleh pemimpin yang disebut Hadat dan wajib disertai dengan kehadiran kedua orang tua dari masing-masing pasangan. Hal tersebut tidak berlaku jika pihak perempuan merupakan keturunan dari kaum hamba.
Jika perceraian terjadi pada anak dari golongan Tumakaka atau disebut anak Diseses maka perceraian akan diurus oleh Badan Kehadatan dari sebagian orang-orang dari kampung tersebut.
Jika perceraian terjadi pada kaum hamba atau dalam Bahasa Toraja disebut sebagai Kaunan, maka perceraian tersebut cukup dengan memanggil Hadat yang sederhana dalam kampung tersebut dengan disertai dengan 2 (dua) orang saksi.
Untuk pembayaran serta pengurusan akan disesuaikan dengan status sosial pasangan yang akan bercerai tersebut. Perceraian dimulai jika sang suami ingin menikah lagi dan sang istri menolak untuk dimadu (minta talak) serta dilakukan jika salah satu pasangan tersebut meninggal dunia. Menurut pemahaman Suku Toraja lebih mudah mengurus untuk sebuah pernikahan ketimbang mengurus perceraian dikarenakan sang suami mempunyai kewajiban untuk membayar Kapa. Kapa merupakan denda untuk membayar ganti rugi sesorang yang baru akan dibayar setelah cerai atau mati berdasarkan harta yang dinilai dengan Kerbau. Jika sang suami yang telah beristri ingin menikah lagi maka pembayaran Kapa dibebankan oleh istri muda terhadap istri pertamanya.[34]
Rujukan
^Bararuallo (2010), hlm. 127a: "Sebelum Pemerintah Hindia Belanda menguasai Toraja (sebelum 1906: Tana Toraja ketika itu), maka bentuk peradilan yang diberlakukan di atas Bumi Tana Toraja dinamakan Tarian Pitu atau Ra'Pitu (tujuh bentuk peradilan). Tarian Pitu atau Ra'Pitu saat ini masih sering dilaksanakan pada Pengadilan Adat di tempat tertentu, terutama yang jauh dari kota di mana sudah ada peradilan dengan hukum dan hukuman yang diatur oleh Pengadilan Negeri."
^Bararuallo (2010), hlm. 127-128: "Ketujuh bentuk peradilan adat di atas merupakan cara mengadili kedua belah pihak yang sedang bersengketa tanpa menggunakan saksi-saksi hidup dan bukti-bukti tertulis yang ada, jika tidak ada orang atau pihak tertentu yang mampu mendamaikan lagi. Proses peradilan ini dilaksanakan oleh Badan Dewan Adat sebagai Badan Peradilan Adat yang sah dan diakui masyarakat. ... Keputusan Tarian Pitu berlaku mutlak dan tidak dapat diganggugugat oleh siapapun."
^Bararuallo (2010), hlm. 127b: "Ketujuh bentuk peradilan yang dimaksud adalah Si-Pantetean Tampo / Si-Ba'ta Tungga, Si-Ukkukan, Si-Pakoko, Si-Londongan, Si-Biangan atau Si-Rektek, Si-Tempoan, dan Si-Rari Sangmelambi."
^Dewi (2014), hlm. 33: "Budaya Aluk Todolo adalah agama leluhur atau agama yang dibawa oleh nenek moyang orang Toraja yang turun bersama orang pertama dari langit, orang pertama itu bernama Manurung di Langi dan istrinya dari dalam air yang bernama Marinding Limbu."
^Bararuallo (2010), hlm. 128a: "Sejarah Toraja, terutama informasi dari Pakar-Pakar Lisan Toraja tempo dulu (Ne' Silamba', Ne' Gandang Palo'lian, Ne' Banne Borong, Ne' Karre', dan Ne' Mika, 1967-1979) menyebutkan bahwa dahulu seluruh anggota masyarakat dan Daerah Adat di Toraja sangat menghormati Pengadilan Adat (Tarian Pitu) dengan segala bentuk keputusannya. Hal ini disebabkan oleh karena mereka percaya bahwa kesemua bentuk peradilan Tarian Pitu berpangkal dari Ajaran Aluktodolo. Menurut mereka, kesemua bentuk peradilan itu sudah ada sejak dari dahulu kala. bahkan (mithos) bentuk peradilan Tarian Pitu telah terjadi di atas langit sebagai tempat asal-usul nenek moyang orang Toraja pertama."
^Bararuallo (2010), hlm. 128b: "Sebelum pelaksanaan Peradilan Pitu (Tarian Pitu) terlebih dahulu harus dimohonkan perlindungan dan berkat kemenangan kepada Yang Maha Kuasa, yakni Puang Matua, Deata, dan Tomembali Puang."
^Bararuallo (2010), hlm. 128-129: "Setelah itu dilakukanlah penyumpahan oleh Penghulu Aluktodolo dengan segala ketentuan adat dan ritualnya. Wakil dari setiap pihak yang sedang berselisih memohon doa restu kepada keluarga, Puang Matua, Deata, dan Tomembali Puang. Setelah itu, maka kesemua ketentuan yang telah disepakati tidak boleh dilanggar oleh salah satu atau kedua belah pihak yang sedang bertikai, baik sebelum pertarungan dimulai maupun sesudah pelaksanaan Tarian Pitu yang dipilih. ... Dalam waktu yang sangat singkat, maka yang menang atau yang kala langsung diketahui. Kedua belah pihak yang berselisih pun puas karena diyakini bahwa yang menang adalah pihak yang benar sehingga mendapat perlindungan dari Yang Maha Kuasa. Berarti doanya dikabulkan oleh Puang Matua, Deata, dan Tomembali Puang."
^Bararuallo (2010), hlm. 129a: "Perang tanding satu lawan satu (Si-Ba'ta Tungga') biasanya dilangsungkan di atas sebuah pematang (tampo) sawah (Si-Pantetean Tampo) yang disebelah-menyebalahnya penuh air."
^Bararuallo (2010), hlm. 129b: "Pertarungan ini berbentuk perkelahian (pertarungan) dua orang, yakni wakil masing-masing pihak yang sedang berselisih dengan memakai tombak (dokee) atau pedang (la'bo' dualalan) yang tajam (pernah juga memakai tara sulu' atau pentungan = sepotong kayu). Terkadang dibangunkan sebuah kurungan (pangkung) dalam bentuk persegi empat yang dibangun secara kokoh dan dipagari keliling sehingga para keluarga yang menonton tidak menerobos masuk ketika pertarungan sedang berlangsung."
^Bararuallo (2010), hlm. 129-130: "Di sini wakil pihak yang sedang berselisih harus kuat, sehat, tangkas, dan berani karena arena ini merupakan arena pertarungan kekuatan, ketangkasan, dan gengsi keluarga. Sebelum pertarungan dimulai, maka wakil petarung kedua belah pihak disumpah. Maksudnya, barang siapa yang tidak benar akan kalah dan barang siapa yang benar tidak akan mengalami sesuatu apapun. Pelaksanaan pertarungan satu lawan satu ini dihadiri oleh seluruh keluarga kedua belah pihak. Ketika pertarungan dimulai, biasanya salah seorang petarung gugur ataukah lari dari arena pertarungan. Pengumuman kemenang dilakukan oleh Ketua Adat dan seluruh pihak berselisih wajib mentaati ini karena diyakini bahwa kebenaranlah yang berkuasa (masyarakat Toraja menyebutnya Ma'pesalu atau Na Ola Salunna)."
^Bararuallo (2010), hlm. 130a: "Salah satu bentuk peradilan di mana wakil kedua pihak yang berselisih (atau dua orang), setelah disumpah oleh Penghulu Aluktodolo, disuruh menyelam secara bersamaan kedalam air sungai yang dalam. Siapa yang lebih dahulu muncul di permukaan air maka dialah yang dinyatakan kalah dalam perkara tersebut (perselisihan). Hasilnya segera diumumkan oleh Ketua Adat sebagai keputusan permanen dan berlaku mutlak."
^Bararuallo (2010), hlm. 130b: "Salah satu bentuk peradilan Tarian Pitu di mana dua orang sedang bersengketa atau kedua pihak yang sedang berselisih, setelah disumpah dan didoakan oleh Penghulu Aluktodolo, disuruh mencelupkan kedua tangannya secara bersamaan ke dalam air yang sedang mendidih. Pihak yang lebih dahulu menarik tangannya dari dalam air panas itu maka dialah yang dinyatakan kalah dalam perselisihan itu. Hasilnya segera diumumkan oleh Ketua Adat sebagai keputusan yang mutlak dan diberlakukan secara permanen."
^Tangdilintin (2014), hlm. 209: "Suatu cara peradilan dari dua orang atau pihak yang berselisih di mana kedua belah pihak memilih satu ayam jantan masing-masing kemudian diserahkan kepada Penghulu Aluk Todolo untuk dikutuk dan dibacakan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dari kedua Ayam itu dipakaikan taji atau pisau, dan dipertarungkan pada saat itu juga di hadapan Dewan Adat di mana kedua belah pihak yang bersengketa itu berada. Menurut keyakinan mereka itu bahwa orang yang benar Ayamnya akan menang dan orang yang salah Ayamnya akan kalah atau mati, dan hasil pertarungan Ayam ini segera diumumkan oleh Dewan Adat yang menghadirinya yang oleh kedua belah pihak menaatinya sebagai keputusan yang berlaku mutlak dan berkekuatan tetpa. Dahulu Peradilan Silondongan ini tidak memakai pisau atau Taji tetapi sekarang sudah memakai taji karena jikalau tidak memakai taji perkelahian dari dua Ayam itu berlangsung lama dan tidak segera memberi keputusan."
^Bararuallo (2010), hlm. 131a: "Pemenang ayam ini biasanya ditentukan oleh jenis buluh ayam (ada sembilan jenis dan saling mematikan), kategori sisik (sissik) ayam (saling mematikan), dan mantra-mantra (galla' manuk) dari pemiliknya (saling mematikan). Seekor ayam sabung yang memiliki ketiganya dapat dipastikan menang dalam pertarungan. ... Pengumuman segera diumumkan oleh Pemangku Adat dan dinyatakan sebagai keputusan mutlak dan tidak dapat diganggu gugat."
^PKM (2014), hlm. 21: "Dalam masyarakat Toraja sabung ayam ini menjadi tanda jasa atau bintang jasa bagi para pemimpin, pahlawan, dan pejuang rakyat dalam masyarakat. Masyarakat Toraja meyakini bahwa Ayam Jantan yang berkokok setiap malam seolah-olah menerangi kegelapan dengan patriotik yang tidak pernah berubah, juga dianggap sebagai pembela keadilan dan jujur dalam segala hal. Dalam permainan sabung ayam ada beberapa keputusan yang harus diperhatikan, yaitu: 1. Manuk Toka', artinya dua ayam yang sudah berhadapan dengan lawan akan tetapi tidak memberikan perlawanan. Selanjutnya dinyatakan pertandingan batal. 2. Manuk Puli', artinya ayam yang bertandingan tersebut tidak ada yang kalah atau tidak ada yang menang. Selanjutnya pertandingan dinyatakan drow. 3. Manuk ma'pitto', artinya ayam yang menang dan disahkan sebagai pemenang pertandingan. 4. Manuk tangma'pitto', artinya ayam yang sudah menang dalam perkelahian tetapi ketika diperhadapkan kembali pada lawan yang dikalahkan tidak lagi mematuk lawannya tersebut. Selanjutnya pertandingan dinyatakn drow. 5. Parasila, yaitu tempat memasang kepal ayam yang kalah untuk dipatuk ayam yang menang. 6. Sepak, artinya semua ayam yang kalah akan dikeluarkan satu kakinya, yaitu kaki yang terdapat taji sewaktu pertandingan."
^Palayukan (2015), hlm. 7: "Sampai saat sekarang ini acara Bulangan Londong pada upacara kematian (rambu solo) masih sering diadakan di semua wilayah Tana Toraja dan dalam acara bulangan londong pasti ada juga orang-orang yang ikut dalam acara tersebut secara sembunyi-sembunyi sehingga tidak diketahui oleh aparat penegak hukum yang berjaga dalam acara Bulangan Londong tersebut. Sabung ayam selain dilarang oleh agama, juga secara tegas dilarang oleh hukum positif hukum positif KUHP. Hal ini dapat diketahui dari ketentuan Undang-Undang Nomor 7 (tujuh) tahun 1974 dan hukum positif KUHP PP No. 9 (sembilan) tahun 1981 mengenai penertiban perjudian. Judi khususnya sabung ayam merupakan perbuatan yang melanggar hukum, namun dalam memberantas perjudian masih sering mendapat kendala."
^Palayukan (2015), hlm. 5-6: "Budaya atau tradisi sabung ayam di Toraja berkembang dari generasi ke generasi hingga sampai saat ini bahkan dibawa oleh orang-orang Toraja di mana mereka merantau. Namun, sabung ayam pada saat sekarang ini tidak seperti lagi yang dahulu diadakan oleh nenek moyang masyarakat Toraja. Dan sering juga ada penggrebekan jika diketahuioleh pihak kepolisian akan adanya sabung ayam. Di Toraja, sabung ayam merupakan suatu hal yang sering sekali diperbincangkan oleh masyarakat. Para penjudi hampir menjadikan sabung ayam sebagai rutinitas berkumpul sesama penjudi. Tidak jarang juga polisi membubarkan kegiatan sabung ayam jika mengetahui atau ada laporan yang masuk mengenai adanya kegiatan sabun ayam. Meskipun kadang polisi menangkap para penjudi sabung, namun mereka tidak kapok untuk tetap mengadakan sabung ayam. Sekarang ini sabung ayam pada upacara kematian tidak lagi dipandang sebagai kelengkapan adat orang mati tetapi dianggap sebagai dunia perbisnisan. Dikalangan masyarkat Toraja terdapat dua pendapat yang menyatakan sabung ayam adalah adat dan harus dilestarikan, di pihak lain sabung ayam dipandang sebagai bentuk perjudian dan sebagai penyakit masyarakat karenanya harus dibasmi."
^Palayukan (2015), hlm. 15: "Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai peran pemerintah daerah Tana Toraja dalam menanggulangi Bulangan Londong (Sabung Ayam) pada upacara kematian adat di Tana Toraja dapat disimpulkan bahwa dalam acara Bulangan Londong yang bernuansa judi, pihak pemerintah atau aparat penegak hukum berwenang untuk membubarkan karena tidak memperoleh izin, tetapi Bulangan Londong yang dilakukan dalam upacara kematian adat, pihak pemerintah atau aparat penegak hukum tidak berhak untuk membubarkan karena sudah termasuk dalam adat dan sudah memperoleh izin."
^Bararuallo (2010), hlm. 131b: "Bentuk peradilan Tarian Pitu ini dapat disamakan dengan permainan Loterei. Sistem untung-untungan. Caranya, setelah ada mantra-manra dari Penghulu Aluktodolo, diambillah sepotong ruas biang atau tille)semacam bamboo kecil) yang biasa tumbuh di tebing tertentu. Pertama diambil sepotong batang biang (satu ruas) lalu dibelah dua sama besar. Kemudian setiap belahan diberi tanda (sebagai tanda pilihan) untuk masing-masing orang (pihak) yang sedang berselisih. Seorang pemilih bagian belakang dari belahan batang biang tersebut dan yang seorang lagimemilih bagian mukanya."
^Bararuallo (2010), hlm. 131-132: "Setelah itu, kedua orang (pihak) yang sedang berselisih duduk berhadap-hadapan di depan Penghulu Aluktodolo untuk menerima sumpaj dan doa dari Penghulu Aluktodolo. Penghulu mengutuk yang tidak berkata benar dan mendoakan yang berkata benar. Sesudah itu, kedua belahan potongan batang biang tersebut dibuang tiga kali secara berturut-turut ke atas oleh Penghulu di hadapan Ketua Adat. Hasilnya, bisa dua banding satu (2:1) atau tiga berbanding nol (3:0). Nilai (angka) terbanyak dinyatakan sebagai pemenang dalam perkara. Pemenangnya segera diumumkan oleh Ketua Adat sebagai keputusan mutlak dan berlaku permanen (tidak boleh diganggugugat oleh siapapun)."
^Bararuallo (2010), hlm. 132a: "Sitempoan merupakan salah satu bentuk Tarian Pitu, di mana ada dua orang (pihak) yang sedang berselisih, setelah disumpah dan didoakan oleh Penghulu Aluktodolo, keduanya mengucapkan sumpah di hadapan seluruh anggota keluarga kedua belah pihak dan Penghulu Aluktodolo. Isi sumpah yang diucapkan lebih dahulu oleh Penghulu Aluktodolo lalu diulang oleh wakil kedua belah pihak yang sedang bersengketa (berselisih)."
^Bararuallo (2010), hlm. 132b: "Puang Matua, Deata To Tallu Esunganna Tomembali Puang laun rimpi' na' lan Tangnga Padang sia tang laana pasitirona' kameloan sia kamananmanan sae lakona ketanggumpokadana' tang tongan anna... seterusnya. Artinya, Tuhan Sang Pencipta, Dewa Sang Pemelihara tiga serangkai dan Leluhur akan menghancurkan penghidupan dan akan mengutuk selama-lamanya kalau saya tidak berkata benar... dan seterusnya..."
^Bararuallo (2010), hlm. 132-133: "Ketika mengucapkan sumpah tersebut maka pengucap harus menyebutkan jangka waktu (tempo) yang sudah disepakati. Biasanya 3 (tiga) hari, 6 (enam) hari (sang pasa'), 30 (tiga puluh) hari (sang bulan), atau sang tahun (rentang waktu sekali panen). Setelah sampai waktunya dan terbukti terjadi sesuai dengan isi sumpahnya (ada yang mati atau mendapat kutukan dari Tuhan, Deata, dan To Membali Pulang), maka diumumkanlah pemenangnya. Umumnya apa yang diminta Penghulu Aluktodolo dalam sumpah dan doanya selalu terbukti (sudah banyak kejadian) terjadi kemudian."
^Bararuallo (2010), hlm. 133-134a: "c. Peradilan Sitempoan ini mulai mengalami perubahan sewaktu pengaruh-pengaruh dari luar Toraja masuk, karena dianggap terlalu kejam karena jikalau kalah dalm peradilan Sitempoan berarti kalah dua kali yaitu sudah korban dikalah lagi maka waktu pengaruh Islam mulai masuk dan kemudian datang lagi Pemerintah Hindia Belanda yang menyatakan bahwa pengambilan sumpah adalah hanya membuktikan kebenaran dan jikalau seseorang bersedia disumpah maka sumpahnya itu dipercaya dan ketidak benarannya sudah ditebus dengan pertarungan nyawanya dengan adanya sumpah itu. d. Karena peradilan sitempoan sudah berubah statusnya sejak beberapa puluh tahun di Tana Toraja maka peradilan ini tidak ditakuti lagi oleh masyarakat karena dianggap bahwa adlah jangan dikalah biarlah saja, namun ada pula akibat-akibatnya, dan terjadinya sumpah palsu menjadi-jadi. e. Pada peradilan Adat Toraja masih sering pula adanya pengambilan sumpah seseorang yang bersengketa tetapi pelaksanaannya sama dengan cara-cara pada Peradilan Negeri."
^Bararuallo (2010), hlm. 133-134b: "yaitu cara peradilan dalam bentuk perang yang dilakukan hanya pada pagi hari/subuh (Sirari Sang Melambi' - perang sepagi) dimanan yang bersengketa masing-masing mengumpulkan pengikut lalu mempersiapkan perang, yang biasanya dilakukan oleh dua orang Bangsawan atau Penguasa-Penguasa Adat, yaitu peperangan dengan menentukan batas Daerah dilakukan mulai pada waktu Ayam mulai berkokok dan berakhir setelah matahari mulai naik/terbit. ... Rari Sangmelambi' ini masih sering terjadi pada waktu masih berlangsungnya perang Saudara di Tana Toraja yaitu sebelum masuknya pemerintah Hindia Belanda yang berlaku antara kampung-kampung yang berdekatan."
^Tangdilintin (2014), hlm. 213: "Rari Sangmelambi' itu sering terjadi pada waktu mulai berkecamuknya perang Saudara di Tana Tpraja yaitu sekitar tahun 1800 sampai pada datangnya Pemerintah Belanda"
^Bararuallo (2010), hlm. 134a: "Dengan batas Daerah tertentu serta jangka waktu yang sudah dinyatakan itu ada yang dapat memasuki Daerah lawannya maka dialah yang dianggap menang dalam perselisihan, atau dalam pertempuran itu ada diantaranya yang sudah mengalami kurban atau ada yang luka maka peperangan ini segera dimulai namun hari masih gelap dan kurban-kurban tak dapat disembunyikan karena ada badan pengawas sebagai saksi untuk memperhatikan semua kejadian itu, yang pada saat ada luka terus berteriak To'Do' Damo' artinya: sudah ada yang luka dan darah sudah menetes maka segera peperangan disuruh berhenti. Yang luka duluan atau yang kalah dinyatakan slaah dengan kata Talo Rari (kalah perang) dan segera penguasa Adat sebagai penengah mengumumkannya san berlaku mutlak. Peradilan Rari Sang Melambi' itu biasanya dilakukan oleh suatu rumpun keluarga tertentu lainnya..."
^Bararuallo (2010), hlm. 134b: "... dan jikalau salah satunya kalah maka yang kalah itu adakalanya seluruh harta dari keluarga itu dibaslah atau dirampas, atau ada pula disuruh membayar dengan jumlah harta benda tertentu yang dinamakan Di Pakalao, serta ada pula dengan menjadikan hamba seluruh keluarga yang kalah dari yang menang. ... Hukuman yang dijatuhkan dalam Tarian Pitu tidak tidak sama dengan hukuman yang dijatuhkan dalam pelanggaran-pelanggaran Pemali seperti yang sudah diuraikan dalam BAB II bagian Pemali tersebut di mana sebab terjadinya peradilan menurut Tarian Pitu di atas adalah disebabkan oleh adanya pertentangan kedua belah pihak yang bersengketa tetapi dalam Pamali adalah pelanggaran aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan dalam Ajaran Aluktodolo."
^Najah (2014), hlm. 101: "Tana Toraja dibagi menjadi lima wilayah. Masing-masing wilayah mempunyai pemimpin yang berbeda: 1. Daerah Makale, Mengkendek, dan Sangala dipimpin oleh bangsawan yang bergelar puang; 2. Daerah Rantepao dipimpin bangsawan dengan gelar Parengi; 3. Daerah Toraja Barat dipimpin bangsawan dengan gelar Ma'dika. Masing-masing bangsawan yang ditunjuk sebagai pimpinan berhak mengatur daerah kekuasaannya."
^Najah (2014), hlm. 97-98: "Dalam masyarakat Toraja sendiri, tsratifikasi sosial dibagi menjadi empat, yaitu sebagai berikut: 1. Tana' Bulaan atau kasta bangsawan tinggi; 2. Tana' Bassi atau kasta bangsawan menengah; 3. Tana' Karurung atau kasta rakyat merdeka; 4.Tana' Kua-kua atau kasta hamba sahaya. Adanya pengelompokan kelas dalam masyarakat, berdampak pula pada perbedaan aturan bagi masing-masing kasta. Aturan yang berlaku bagi bangsawan tidak akan terjadi di kalangan rakyat biasa. Begitupun, hal yang berbeda juga ditunjukkan oleh kelas hmba sahaya. Itulah potret kehidupan masa lalu. Aturan-aturan kecil diterapkan dalam rangka mencapai alur hidup yang lebih baik. Salah satu diantaranya adalah aturan dalam pernikahan. Di Suku Toraja, pernikahan adalah proses menjalin silaturahmi dengan keluarga lain. Besarnya tujuan di dalam sebuah pernikahan, menjadi prosesi momen yang sangat sakral. Oleh karenanya, sebuah perceraian akan diganjar sebuah denda. Nah, permberlakuan denda terjadi perbedaan dari kasta satu ke kasta lainnya. Anda bisa melihatnya sebagai berikut: 1. 24 ekor kerbau untuk kasta bangsawan tinggi; 2. 6 ekor kerbau untuk kasta bangsawan menengah; 3. 2 ekor kerbau untuk kasta rakyat merdeka; 4. 1 ekor babi betina yang pernah beranak bagi kasta hamba sahaya; Denda tersebut dibebankan kepada salah satu mempelai yang dianggap bersalah sehingga melahirkan sebuah perceraian. Siapapun dia, jika memang dianggap bersalah, harus emmbayar denda yang ada. Sebuah aturan pasti harus ditaati."
^Sulsel (2006), hlm. 187-188: "Peraturan perceraian: 1. Kalau puang hendak bercerai, maka perceraian itu diputuskan dan disahkan oleh pemimpin Hadat. Orang-orang tua dari laki-laki atau perempuan yang bersangkutan mesti hadir semua kecuali kalau perempuan yang asalnya dari turunan hamba. Dalam hal ini cukuplah kalu pengurus Hadat dalam kampung itu dipanggil. 2. Jika ini terjadi pada anak Tumakaka/anak Dises, perceraian diurus oleh Badan Kehadatan dari sebahagian tempat dalam kampung itu. (Pada waktu itu orang-orang yang bersangkutan atau wakilnya mesti hadir). 3. Kalau hal ini terhadap hamba/kaunan, cukuplah dengan memanggil Hadat yang sederhana dalam kampung itu dan dihadiri oleh dua saksi. Mengenai pengurusan dan pembayaran disesuaikan menurut status sosial yang bercerai tersebut: a. Perceraian dilakukan jika salah seorang suami atau isteri meninggal. b. Jika suami kawin lagisi isteri minta cerai. Menurut orang Toraja lebih muda kawin daripada bercerai, karena pada waktu bercerai si suami harus membayar Kapa yang jumlahnya dinilaidengan kerbau. Kapa yaitu ganti kerugian seseorang baru dibayar sesudah mati/cerai dan berdasarkan harta dan dinilai dengan kerbau. Kalau seseorang yang sudah mempunyai isteri dan mau kawin lagi biasa calon isteri kedua ini yang membayar kepada isteri pertamanya."
Daftar pustaka
Buku
Bararuallo, Frans (2010). Kebudayaan Toraja Masa Lalu, Masa Kini, Dan Masa Mendatang. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya. ISBN9786028904063.
Najah, Naqib (2014). Suku Toraja: Fanatisme Filosofi Leluhur. Makassar: Arus Timur. ISBN9786029057744.
Toraja Dan Kebudayaannya. Toraja Utara: Lembaga Kajian dan Penulisan Sejarah Budaya Sulawesi Selatan. 2014. ISBN9786021479018.Parameter |first1= tanpa |last1= di Authors list (bantuan)
Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Sulawesi Selatan. Makassar: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan. 2006.