Tan De Seng

Tan Deseng
LahirTan De Seng
Kota Bandung
22 Agustus 1942
Meninggal6 November 2022(2022-11-06) (umur 80)
Kota Bandung
Nama lainMohamad Deseng
Pekerjaan
  • Haming Youth
  • Youth Brothers
  • Palamar
  • Marya Mustika
  • Bhakti Siliwangi
Dikenal atasSeniman, budayawan, pengajar, maestro seni karawitan Sunda.

Tan De Seng atau kadang juga ditulis Tan Deseng (22 Agustus 1942 – 6 November 2022) adalah seorang musisi, seniman, dan budayawan yang terkenal sebagai salah satu maestro dalam kesenian Sunda, yakni karawitan.[1][2] Seniman dan musisi keturunan Tionghoa-Indonesia ini lahir di Kota Bandung tepatnya di kawasan Pasar Baru pada 22 Agustus 1942, Tan De Seng adalah anak ke lima dari delapan bersaudara, orang tuanya bernama Tan Tjing Hong dan Yo Wan Kie.[3][4][5]

Latar belakang

Sejak kecil, Tan De Seng memang lahir dari keluarga pedagang, namun juga mencintai kesenian. Selain berdagang, ayah Tan De Seng juga seorang seniman sekaligus shinse yang mahir dalam seni lukis dan juga handal dalam memainkan berbagai macam instrumen seni musik. Dari delapan bersaudara, Tan De Seng dan kakaknya, Tan De Tjeng memiliki ketertarikan dan kemahiran pada seni, seperti sang ayah.[3]

Pada usia 16 tahun, Tan De Seng sempat pergi ke Kota Palembang, Sumatera Selatan, di sana ia mengikuti ayahnya untuk menjadi seorang pedagang. Saat berada di Palembang, Tan De Seng banyak mendengarkan musik dari stasiun Radio Republik Indonesia, uniknya yang ia dengarkan adalah musik-musik Sunda. Saat mendengarkan musik-musik dari tempat kelahirannya itu ia merasa rindu pada Bandung, sejak saat itulah Tan De Seng mulai menaruh perhatian pada dunia musik, terutama musik-musik Sunda. Kecintaanya pada musik-musik Sunda itu pula yang mendorongnya kembali untuk pulang ke Jawa Barat.[2][3]

Tan De Seng juga kemudian memutuskan untuk menjadi mualaf dan mengganti namanya menjadi Mohamad Deseng. Keputusan Tan De Seng untuk menjadi mualaf mungkin ada hubungannya dengan masa kecilnya yang sangat tertarik dengan keindahan suara adzan. Bahkan karena sangat tertarik dengan keindahan adzan, Tan De Seng sempat terharu saat mendengarkannya.[3][5]

Pada 1964, Tan De Seng pernah menikah dengan wanita keturunan Tionghoa-Indonesia bernama Tan Li Joe dan dianugerahi seorang putera. Namun pernikahan itu hanya bertahan hingga 1976 setelah keduanya memutuskan untuk bercerai. Setahun berselang, Tan De Seng menikahi seorang wanita bernama Nia Kurniasih dan memiliki dua orang puteri dan tiga orang cucu. Pada 2008, Tan De Seng menikah lagi dengan seorang wanita bernama Wulan, dari pernikahannya yang ketiga ini ia dikaruniai dua orang puteri bernama Fitri dan Tantri. Kedua puterinya itu juga mewarisi kemahiran musik Tan De Seng, Fitri mahir dalam bermain instrumen musik Sunda dan Tantri piawai dalam melantunkan lagu-lagu Sunda, khususnya dari Cianjuran.[3]

Bakat bermusik

Menurut Sam Setyautama dalam bukunya yang berjudul Tokoh-Tokoh Etnis Tionghoa yang terbit pada 2008 lalu, Tan De Seng memang benar-benar mewarisi kemahiran bermusik ayahnya. Dalam buku tersebut dikatakan bahwa Tan De Seng sudah mahir bermain instrumen musik sejak usia 5 tahun, saat itu instrumen yang dimainkannya adalah harmonika dan seruling. Kakaknya, Tan De Tjeng juga sering mengajarkan Tan De Seng bermain musik sejak belia.[3][5]

Kemampuannya bermain alat musik sejak kecil membuat Tan De Seng sudah bisa memainkan banyak lagu-lagu tradisional Sunda, salah satu yang menjadi favoritnya adalah Budak Ceurik. Tan De Seng juga belajar alat musik lainnya seperti kecapi, ia bahkan langsung belajar pada suhu kecapi yang tersohor, seperti Ebar Sobari, Mang Ono, Sutarya, dan dalang Abah Sunarya. Hasil bergurunya itu membuat Tan De Seng semakin mahir dalam bermain musik Sunda yang membuatnya banyak malang melintang di dunia musik Sunda.[3]

Karier

Tan De Seng juga aktif dalam berbebagai macam grup musik seperti Haming Youth, Youth Brothers, Palamar, dan Marya Mustika. Tan Deseng juga mendirikan grup musik yang bernama Bhakti Siliwangi. Tan deseng juga pernah bermain musik bersama pesinden dari Jakarta, Hj. Titin Fatimah pada 1980-an. Kemahirannya dalam memainkan musik-musik Sunda juga membuatnya dipercaya oleh banyak produser film untuk menggarap aransemen lagu untuk beberapa judul film garapan Tati Saleh, antara lain Si Kabayan, Dukun Beranak, Misteri Jaipong, dan Mat Peci.[3]

Pada Juni 2015 lalu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia meluncurkan sebuah program yang bernama Belajar Bersama Maestro. Dalam program tersebut, Tan De Seng menjadi salah satu maestro kesenian musik, tugasnya adalah mengajarkan dan memberikan bimbingan pada anak-anak dari seluruh Indonesia yang ingin belajar tentang musik, baik itu musik tradisional ataupun modern.[3]

Referensi

  1. ^ Muhammad Husnil dan Yudi Anugrah, "Belajar Bersama Maestro", Kilasan Setahun Kinerja Kemendikbud November 2014-2015 (Jakarta: Pusat Analisis dan Sinkronisasi Kebijakan Kemendikbud RI, 2015) hal. 61
  2. ^ a b Tan De Seng: "Kuring Urang Sunda" dalam http://www.jabarprov.go.id/index.php/news/4351/Tan_De_Seng_Kuring_Urang_Sunda_ Diarsipkan 2018-09-08 di Wayback Machine. diakses pada 10 April 2019.
  3. ^ a b c d e f g h i Teguh, Irfan. "Tan Deseng: Tionghoa yang Menjadi Maestro Musik Sunda". tirto.id. Diakses tanggal 2019-04-10. 
  4. ^ Wang, Huang Zhi. "Tan Deseng : Maestro Kesenian Sunda". web.budaya-tionghoa.net (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-04-10. Diakses tanggal 2019-04-10. 
  5. ^ a b c Setyautama, Sam (2008). Tokoh-tokoh etnis Tionghoa di Indonesia. Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN 9789799101259.