Dilahirkan dengan nama lahir Tengku Said Abubakar, Tengkoe Besar Syarif Abubakar bin Tengkoe Besar Syarif Abdurrahman (1872 - 1886) di tabalkan menjadi Sultan Pelalawan ke-VI pada tahun 1872 menggantikan kakandanya Tengkoe Besar Syarif Jaafar, dengan gelar Sultan Assyaidis Syarif Abubakar Abdul Jalil Fakhruddin, dan memerintah sampai tahun 1886.
Awal Penabalan
Syarif Abubakar dikenal sebagai Sultan yang sabar dalam memerintah, pada awal pemerintahannya sempat terjadi sebuah konflik dalam tubuh Istana. Walaupun sudah menjadi adat dan amanat secara turun menurun dari Raja terdahulu, bahwasanya hak waris Kesultanan Pelalawan secara berurutan akan diwariskan kepada adik beradiknya sampai kepada dia selaku adik bungsu, tetapi ketika sampai pada Syarif Abubakar menduduki takhta Pelalawan, hal itu ditentang oleh kemenakannya (putra-putra Syarif Jaafar), yakni Tengkoe Pangeran Syarif Sembuk dan Tengkoe Pangeran Syarif Kelana. Kedua kemanakannya ini menentang amanat yang sudah menjadi tradisi istana, karena mereka merasa lebih berhak menduduki tahkta Pelalawan menggantikan ayahandanya Syarif Jaafar. Pertentangan ini semakin hebat ketika sebagian Orang Besar Kerajaan Pelalawan mendukung kedua Pangeran itu.
Menghadapi tentangan itu, Syarif Abubakar selaku paman dari kedua pangeran itu menunjukkan sikap yang amat sabar. Karena Dia sendiri sangat tahu bahwa sikap kedua kemenakannya ini pada hakekatnya bukanlah maksud yang sesungguhnya datang dari hati mereka, tetapi merupakan hasutan dari beberapa Orang Besar Kerajaan yang mencoba menimbulkan perpecahan dikalangan keluarga istana, serta mencari kesempatan untuk mendapatkan jabatan yang menguntungkan dalam istana. Sikap Syarif Abubakar yang penuh kesabaran dan tidak membesar-besarkan masalah itu menyebabkan kedua kemenakannya itu sadar dan menyatakan pengakuannya kepada Syarif Abubakar. Dengan demikian, konflik dapat diredakan kembali dan kerukunan di kalangan keluarga istana pulih sebagaimana sediakala.
Masa Pemerintahan
Ketika itu Kerajaan Siak Sri Indrapura menanda tangani Traktatnya dengan pihak Belanda, tetapi Pelalawan merasa tidak terikat dengan perjanjian itu, karena pelalawan berdiri sendiri dan tidak tunduk pada Siak Sri Indrapura. Sikap Raja-raja Pelalawan yang anti Belanda dibuktikan dengan banyaknya Kerajaan Pelalawan menampung pelarian politik ke wilayahnya, khususnya Orang-orang yang menentang Belanda dari berbagai negeri lain dan mendapat suaka di Pelalawan. Baik dari Siak Sri Indrapura, Indragiri, Jambi, maupun dari Minangkabau. Di wilayah Pelalawan sampai sekarang masih terdapat beberapa makam pelarian politik yang menentang Belanda kala itu, seperti makam Tengku Ngah di Teluk Mundur, makam Tuanku Lintau (?) di kota Pelalawan (kampung pinang Sebatang) dan lain-lainnya. Sikap Raja-raja Pelalawan yang jelas menentang Belanda itu tak lepas dari pengamatan Belanda, hingga dalam tahun 1878 Belanda mendesak Pelalawan untuk mengadakan perjanjian. Namun Syarif Abubakar menolak untuk mengadakan perjanjian apapun dengan Belanda, sehingga penolakan tersebut menyebabkan timbulnya ketegangan di antara kedua belah pihak.Belanda semakin meningkatkan tekanannya dengan mengancam akan memblokir jalur Kuala Sungai Kampar dengan armada perangnya, karena pada masa itu sungai kampar merupakan urat nadi utama kehidupan perekonomian Rakyat Pelalawan. Setelah dilakukan beberapa perundingan, maka pada tanggal 4 februari 1879 Syarif Abubakar memutuskan untuk memilih kepentingan rakyatnya daripada harus berperang melawan Belanda, dan perjanjian yang disebut "Lange Verklaring" itupun ditandatangani, sejak itu pula pengaruh Belanda sudah menjangkau ke Istana Pelalawan.
Akhir Hayat
Pada tahun 1886, Syarif Abubakar mangkat dengan gelar Marhum Bungsu, karena dia merupakan anak bungsu dari Syarif Abdurrahman (Sultan pertama Pelalawan). Setelah kemangkatannya, takhta kerajaan diwariskan pada Putra tertuanya Tengku Sontol Said Ali.