Suku Rana adalah suku yang berasal dari Pulau Buru. Mereka bertempat tinggal di sekitar Danau Rana yang merupakan wilayah Kecamatan Pulau Buru Utara-Barat, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku.[1] Suku Rana merupakan salah satu suku bangsa utama yang ada di Provinsi Maluku[2]
Pulau Buru adalah pulau terbesar kedua yang memiliki luas 8.473,2 Km persegi setelah Pulau Seram di Provinsi Maluku yang memiliki garis pantai 427,2 Km.[3] Di tengah pegunungan Pulau Buru terdapat Danau yang bernama Danau Rana. Danau ini adalah danau terbesar di Provinsi Maluku dengan ketinggian danau yaitu 700 mdpl.[3] Danau ini dianggap sebagai tempat yang suci oleh penduduk setempat. Suku Rana memiliki kepercayaan, nenek moyang mereka adalah dewa yang hidup di Tanggal gunung dan Danau Rana.[1]
Orang Rana termasuk ke dalam Ras Melayu Polinesia. Orang Rana memiliki ciri ciri fisik tinggi tubuhnya rata rata antara 1,50-1,60 cm. Memiliki warna kulit sawo matang, mata tidak terlalu tipis dan bibir sedang, tidak tebal dan rambut kejur. Departemen Sosial memasukkan suku rana ke dalam kategori masyarakat terasing.[1]
Penduduk
Suku Rana adalah penduduk asli dari pulau Buru. Ada yang lahir dari perkawinan penduduk asli dengan pendatang dan ada juga pendatang yang menetap di pulau ini. Pada tahun 1971 jumlah keseluruhan orang Rana adalah 3.454 jiwa.[1]
Secara Geografis, orang Rana terbagi menjadi 3 kelompok yaitu Kelompok lembah sungai Wai Nibe yang berjumlah 1.013 jiwa yang tersebar di 10 kampung, Kelompok Lembah Sungai Wai Geren berjumlah 592 jiwa dan tersebar di 10 kampung dan terakhir kelompok Sekitar danau Rana yang juga mempunyai jumlah terbanyak yaitu 1.849 jiwa yang juga tersebar di 10 Kampung.[1]
Mata pencarian utama dari orang Rana adalah berladang. Cara mereka bercocok tanam masih sangat tradisional seperti menebang bakar dan berpindah pindah.Tanaman yang mereka tanam yaitu padi, jagung, ubi-ubian, ketela, kacang dan hotong(semacam gandum). Selain itu mereka juga memelihara babi, ayam dan kambing. Mereka meramu hasil hutan seperti damar dan rotan. Orang-orang suku Rana mereka juga berburu dan menangkap ikan sebagai mata pencaharian mereka.[4]
Alat-alat yang digunakan untuk membabat hutan, yaitu alat besi, parang, cangkul kecil(kudo) dan alat tugas. Untuk menangkap ikan nereka menggunakan pancing, pkat tanah(awlo). Untuk berburu mereka menggunakan jerat(nau Rana adalah danau terbesar di Provinsi Maluku dengan ketinggian danau yaitu 700 mdpl. Danau ini dianggap sebagai tempat yang suci oleh penduduk setempat. Suku Rana memiliki kepercayaan, nenek moyang mereka adalah Dewa yang hidup di Tanggal gunung dan Danau Rana( dodesa), tombak dan panah. Mata tombak diberi racun agar hewan yang terkena tombak cepat mati.[1]
Ketika panen pertama orang Rana memiliki tradisi Wahadegan dimana hasil dari panen pertama tidak dijual tetapi dimakan bersama seluruh warga kampung dan bila hasil panennya berlimpah tetangga kampung juga diundang untuk makan bersama. Tradisi ini diadakan setiap panen pertama semua jenis tanaman pangan.[5]
Bahasa
Hanya 10 persen orang dari suku rana yang dapat menggunakan Bahasa Indonesia saat berinteraksi dengan orang luar. Bahasa yang digunakan ada 2 jenis yaitu bahasa liam-liam yang digunakan dalam kehidupan sehari hari dan bahasa liam garam yang dipakai saat tertentu seperti upacara adat oleh Kepala atau tetua adat. Bahasa suku Rana termasuk rumpun bahaa Austronesia, Melayu Polinesia Barat.[4]
Pakaian
Orang Rana di pegunungan atau Geba Karu masih terbatas dalam menggunakan pakain. Namun kini perlahan lahan banyak yang mulai menggunakan pakaian. Suku Rana yang tinggal di Sekitar Pantai relatif lebih maju dibandingkan yang berada di kelompok yang lain. Mereka telah memakai kebaya, sarung dan lain lain. Para lelaki biasanya memakai gelang dan cincin untuk menolak bala dan penyakit. Sedangkan untuk wanita menggunakan kalung, gelang dan cincin adalah sebagai hiasan dan alat daya tarik atau pemikat.[1]
Rumah
Rumah suku Rana kebanyakan terbuat dari bahan kayu. Tiang kayu rumah berbentuk bulat. Beberapa rumah ada yang berbentuk rumah panggung. Dinding rumah terbuat dari kulit kayu atau rumbia. Rumah Suku Rana tidak menggunakan paku, bagian tertentu diikat dengan rotan dan tidak memiliki jendela dan pembagian ruangan. Meski begitu sederhana terdapat hiasan di dalam runah seperti tengkorak, bentuk binatang hasil buruan, sayap burung dan lain lain. Biasanya satu rumah Suku Rana ditempati oleh dua sampai tiga keluarga.[1]
Kekerabatan
Sistem kekerabatan yang berlaku di suku ini adalah sistem adat patrilineal dengan menarik garis keturunan dari pihak laki laki menetap setelah melaksanakan nikah patrilokal.[1] Juga keluarga keluarga batih atau gabungan dari keluarga inti membentuk lagi satu kesatuan kekerabatan berdasarkan satu kakek moyang yang sama.[4] Dalam Pembagian harta warisan pihak laki laki dan perempuan mempunyai bagian yang sama.[1]
Orang suku Rana suka dengan perkawinan yang sifatnya saling memberi kepada pengantin wanita yang mereka sebut matukar. Ada juga keluarga yang memberikan syarat kepada laki laki yang ingin menjadi menantu harus masuk ke dalam soa mereka.[4]
Pemilihan Jodoh bersifat eksogami( kawin keluar) soa. Soa adalah kesatuan kerabat yang tinggal di beberapa kampung ). Urusan perkawinan juga merupakan tanggung jawab anggota soa.[1]
Pihak lelaki harus memberi kupang(maskawin) kepada pihak wanita. Kupang yang biasanya diberikan yaitu beberapa buah gong, beberapa meter kain putih, beberapa helai kain sarung pelekat, beberapa puluh piring, cangkir, beberapa bilah parang, beberapa buah kuali dan beberapa ekor babi. Meski maskawin yang diberikan banyak tetapi ini tidak begitu berat karena juga ditanggung oleh soanya[1]
Maskawin terbagi atas tiga macam yaitu gau, bagian yang diberikan kepada orang tua calon istri. Kupang fena, diberikan kepada anggota Soa san Stoppe, diberikan kepada Kepala Soa. Pada kampung yang masyarakatnya beragama kristen, kupang tetap menjadi syarat adat tetapi Stoppe untuk kepala Soa diganti dengan Uang. Untuk Kampung yang mayoritas masyarakatnya beragama islam sebagian besar maskawin diganti dengan uang.[1]
Ada perkawinan dengan cara meminang (himlao) dimana pihak laki laki meminang saat si gadis baru saja lahir. Jika tidak mampu membayar kupang ada yang melakukan kawin lari ( hakafian) karena saling mencintai dan tidak direstui oleh orang tua dan ada juga laki laki yang mengabdikan dirinya kepada mertua sejak calon istrinya masih kecil sebagai ganti kupang(bauta).[1][4]
Kelahiran dan Kematian
Jika ada anak yang lahir dari perkawinan maka akan diatur dengan adat tertentu. Sampai umur tiga bulan seorang bayi hanya boleh diliat oleh ibu dan ayahnya, orang lain tidak diperbolehkan untuk melihat bayi tersebut. Hanya ibunya yang bisa mengurus dan mengatur urusan makanan yang dikonsumsi bayinya. Hal ini mempengaruhi kesehatan sang ibu dan bayi dan menjadi salah satu faktor tingginya angka kematian pada bayi di Suku Rana.[1]
Jika ada orang Rana yang meninggal maka mayatnya dimandikan lalu diletakkan di atas tikar atau kulit kayu lalu ditutupi kain putih. Barulah mayat tersebut dikubur dan dimasukkan ke liang lahat. Suku ini tidak memiliki kompleks pemakaman tetapi tersebar di berbagai tempat.[1]
Sistem Organisasi
Suku Rana mengakui kepeminpinan adat yang dijabat secara turun temurun. Mereka menyebut kepala adat suku mereka dengan sebutan Raja atau upolato sebagai pimpinan tertinggi. Raja dibantu oleh hinolog, Kepala Soa, kepala kampung( pervisi) dan kepala klea ( kawasan ).[1] Pembantu yang paling dekat disebut hinolong yang mempunyai tugas mengepalai semua kepala Soa. Para kepala soa sendiri dibantu oleh dewan penasehat yang beranggotakan pemuka pemuka adat yang disebut gebantuan.[4] Sebuah Soa biasanya bermukim di kampung yang sama.[1]
Religi
Menurut tim survey Departemen Sosial pada tahun 1975 sebanyaj 20 persen orang rana telah menganut agama kristen dan sebagiannya beragama islam.[1] Utamanya Orang Rana yang berada di pesisir pantai telah banyak yang menganut agama.
Meski demikian masih ada orang Rana yang masih memiliki kepercayaan asli mereka yaitu Animisme.[4]
Suku Rana juga memiliki kepercayaan yang disebut Opulastala dimana mereka percaya bahwa ada satu kekuasaan tertinggi yang menciptakan alam semesta. Mereka juga memiliki kepercayaan yabv disebut koin atau lekoit yaitu kepercayaan bahwa ada unsur unsur tertentu di alam ini yang memiliki kekuatan gaib. Mereka percaya pada roh roh nenek moyang dan nakhluk halus yang mereka yakini dapat memberikan pertolongan, keselamatan dan kebahagiaan kepada mereka. Ada roh para kapiten yang dapat menolong saat ada musuh yang menyerang yang mereka sebut fufuan.[1]
Mereka juga percaya ada makhluk halus bernama Anane, Gebrahe dan gebuse yang membantu mereka. Anane berada di gunung dan membantu mereka kala berburu dan gebrahe berada dalam tanah dan membantu saat bercocok tanam dan mendapatkan panen yang melimpah. Gebuse membantu mendatangkan hujan dan membantu supaya mendapatkan ikan yang cukup saat memancing.[1] Selain makhluk halus yang membantu mereka juga meyakini ada makhluk halus yang jahat yang sewaktu waktu akan mengganggu mereka.[1]
Referensi