Sudjoko atau Soedjoko Danoesoebrata (19 Januari 1928 – 22 Agustus 2015) adalah kolomnis, ahli bahasa, dan pengajar. Dia merupakan salah satu guru besar emeritus Seni Rupa ITB, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung (ITB).[1] Dia temasuk salah satu tokoh yang berjasa dalam pendirian Sekolah Guru Seni Rupa (Seni Rupa ITB) yang dipelopori S. Sumarja.
Kehidupan Pribadi
Sudjoko lahir di Bandung pada 19 Januari 1928 dan wafat pada Agustus 2006 di Bandung, Jawa Barat. Dia memang dikenal sebagai sosok yang suka menulis dan menyendiri.[2]
Dia melajang hingga akhir hayatnya. Dia tinggal sendiri di rumahnya sejak lama. Tidak ada kerabat yang tinggal di rumahnya. Begitu juga, asisten rumah tangga. Dia pernah memecat asisten rumahnya karena ketahuan menjual koleksi buku-bukunya ke tukang loak.[3]
Semasa hidup, dia pernah mengungkapkan bahwa ia tidak bisa meninggalkan rumah tidak lebih dari satu malam. Beberapa kali, rumahnya dimasuki maling.
Pendidikan
Dia menyelesaikan gelar sarjana strata 1 Seni Rupa Universitas Indonesia pada 1958. Setahun kemudian atau tahun 1959, dia meraih gelar magister bidang history Of art dari Chicago UniversityAmerika Serikat. Gelar doktornya diraih dari Ohio State University tahun 1971 pada bidang art education. Pada 1 Februari 1992, Sudjoko sudah pensiun dari ITB, tapi masih tetap mengajar. Dia merupakan dosen tertua di ITB saat itu.
Dia mengajar sejarah seni di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. Dia dikenal oleh mahasiswanya sebagai sosok pengajar yang kritis, tegas, dan keras. Selain menjadi guru besar, dia menjadi dosen luar biasa pada program magister di Fakultas Seni Rupa dan Desain Universitas Tarumanagara, Jakarta.
Sudjoko juga merupakan pencipta aransemen hyme dan mars (lagu) yang sering dikumandangkan setiap ada acara penting di ITB. Dia adalah pelatih tetap paduan suara mahasiswa (PSM) ITB.[4]
'Munsyi' Bahasa Indonesia
Kecintaannya tidak terbatas pada bidang seni, budaya, dan pendidikan, dia juga sering menulis di berbagai surat kabar mengenai bahasa Indonesia, musik, dan film. Dia fasih berbicara dan menulis dalam bahasa Belanda dan bahasa Inggris. Dia pernah diundang oleh Anton Moeliono sebagai pembicara di sebuah Kongres Bahasa Indonesia. Salah satu surat kabar nasional, Kompas memberikan predikat 'Munsyi' kepada Sudjoko.[3]
Dia giat dalam menggali istilah baru untuk memperkaya kosakata bahasa Indonesia dan menghidupkan kosakata lama (arkaik) yang sudah ditinggalkan dengan mencari cari sumbernya, baik dari bahasa daerah maupun bahasa Melayu. Dia juga menggunakan secara konsisten kata-kata itu dalam penulisan karyanya.
Usahanya dalam menggali kata-kata nusantara kurang ditanggapi oleh kaum cendekia di Indonesia. Tulisannya pernah ditolak oleh sebuah majalah ilmiah populer Prisma pada tahun 1980-an. Alasan penolakannya adalah makalah itu sukar dimengerti karena isinya menggunakan kata-kata arkaik bahasa nusantara. Namun, Sudjoko menyatakan bahwa kata-kata yang dia tulis itu dapat ditemukan di kamus bahasa Indonesia Poerwadarminta.
Kematian
Dia ditemukan meninggal dunia setelah empat hari oleh kerabatnya.[5] Almarhum ditemukan pukul 16.00 WIB pada Jumat, 25 Agustus 2006 di kediamannya di Bandung. Dia diperkirakan telah wafat pada tiga atau empat hari sebelum ditemukan dalam keadaan tidur telentang di kamarnya.[6]
Pada 22 Agustus, dia masih berkirim surat elektronik kepada teman dan koleganya. Acara pelepasan jenazah almarhum dilaksanakan oleh keluarga besar ITB di Aula Barat Kampus ITB, Sabtu siang (26 Agustus 2006). Dia dikebumikan di komplek pemakaman Cibarunay, Bandung.[5]
Diduga kematian Sudjoko karena masalah kesehatan, apalagi usianya juga telah uzur. Selama hidup, dia tertutup mengenai masalah kesehatan terhadap keluarganya. Pada saat ditemukan, tidak ada tanda-tanda kekerasan di tubuh Sudjoko dan harta bendanya masih utuh.