Prisma diterbitkan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) pada 1971. Majalah ini sempat berhenti terbit sejak 1998 dan terbit kembali mulai 17 Juni 2009. Misi Prisma adalah menjadi media informasi dan forum pembahasan masalah pembangunan ekonomi, perkembangan sosial dan perubahan kultural di Indonesia dan sekitarnya. Berisi tulisan ilmiah populer, ringkasan hasil penelitian, survei, hipotesis atau gagasan orisinal yang kritis dan segar.
Dari berbagai peranan seperti tercantum dalam namanya, yakni penelitian, pendidikan dan penerangan, maka tidak pelak lagi LP3ES paling dikenal luas sebagai “lembaga penerangan.” Hal ini dapat dibenarkan bila yang dimaksud di sini adalah sebagai sebuah penerbit buku dan majalah. Dapat dipahami, karena produk-produk penerbitan LP3ES memang tersebar luas ke seluruh penjuru tanah air, dan bahkan ke tempat-tempat tertentu di luar negeri. Sebagai penerbit buku akademik, LP3ES dikenal dengan buku-buku teks universitas, terutama di bidang ekonomi, yang sengaja disusun oleh sarjana Indonesia dengan perspektif Indonesia pula. Begitu pula dengan buku-buku kajian kritis dalam berbagai subyek, baik karangan asli Indonesia maupun terjemahan. Karena spesialisasinya sebagai penerbit akademik maka keterkenalan LP3ES memang terkonsentrasi pada kalangan masyarakat yang berpendidikan tinggi saja.
Sebagai penerbit buku akademik, boleh jadi LP3ES tidak lagi memiliki keistimewaan yang khas sebagaimana dahulu sepanjang tahun 1970-an dan awal 1980-an, karena sekarang sudah sangat banyak penerbit yang memiliki produk serupa. Namun tidak demikian halnya dengan LP3ES sebagai penerbit Prisma, sebuah majalah akademik yang khas, yang boleh dikatakan hingga sekarang belum muncul pesaing yang setara dan serupa. Prisma menyajikan karangan ilmiah populer atau ekplorasi dan refleksi intelektual, praktis dalam semua bidang kajian yang termasuk dalam ilmu-ilmu sosial dan ekonomi. Dengan demikian Prisma bukan hanya sebuah jurnal ekonomi atau politik atau hukum saja, melainkan sebuah “jurnal apa saja” yang siap membahas topik-topik yang dianggap perlu dan menarik. Setiap nomor selalu menampilkan pembahasan suatu topik yang ditinjau dari berbagai sudut pandang, yang disajikan dalam karangan berbeda, sehingga menjadikannya semacam bunga rampai. Di samping itu, Prisma tidak mewakili suatu paham atau kelompok kepentingan tertentu, sehingga siapapun dapat menulis sejauh dapat memenuhi kriteria keahlian dalam bidang masing-masing.
Seperti itulah kurang lebih gambaran Prisma ketika majalah ini sudah dikenal luas di kalangan masyarakat Indonesia pada akhir tahun 1970-an dan seterusnya. Prisma boleh dikatakan sukses sebagai sebuah majalah akademik dengan peredaran yang luas karena dapat memenuhi harapan masyarakat pembacanya. Di balik itu hendaklah diingat bahwa Prisma memang diterbitkan dengan maksud untuk disebar-luaskan dengan prinsip-prinsip sebuah usaha. Hal itu membedakannya dengan jurnal-jurnal akademik atau ilmiah yang lain, yang selain sangat terspesialisasi pada bidangnya, juga tidak diusahakan untuk disebar-luaskan. Dengan demikian, keberhasilan Prisma tidak hanya terletak pada kebijakan redaksional saja, tetapi juga pada upaya pemasaran yang sungguh-sungguh.
Prisma Sebagai Majalah Pembangunan
Pertama kali terbit pada bulan Nopember 1971, Prisma menampilkan diri sebagai sebuah “majalah pembangunan.” Suatu hal yang kiranya mudah dipahami, mengingat pada saat itu masyarakat Indonesia sedang memulai zaman pembangunan dengan semangat menyala-nyala. Semangat itu terlihat jelas dalam “Pengantar Redaksi” edisi pertama Prisma yang ditulis oleh Ismid Hadad, sebagai Redaktur dan Penanggung Jawab, yang antara lain menyatakan bahwa “... Kita senantiasa tenggelam dalam manuvre2 politik praktis dan masalah2 rutin, hingga tak pernah sempat memikirkan rentjana masa depan Indonesia dari pandangan jang mendalam. Oleh karena itulah dizaman modern dimana tantangan2 pembangunan republik ini lebih menuntut digunakannja fikiran2 jang matang, makin terasa bahwa kita sekarang perlu kontemplasi, sambil madju terus mengedjar keterbelakangan. Apalagi bila kita tidak mau menemui bentjana2 dalam menjongsong Repelita Ke-II.”
Onghokham, salah seorang sejarawan Indonesia terkemuka, menyambut sepuluh tahun usia majalah ini, menulis, “... Prisma tidak lain daripada suatu penerbitan teknokrasi umum yang dapat dikatakan ‘liberal’ yang prihatin terhadap segala persoalan masyarakat, yang berkisar dari masalah pendidikan anak-anak sampai ke ibu-ibu namun juga elite politik, bidang moneter dan lain-lain.” (Prisma, November 1980). Prisma memang membahas berbagai masalah yang berkaitan dengan pembangunan. Nomor edisi pertama menyajikan banyak tulisan tentang pembangunan, antara lain ditulis oleh Soedjatmoko, Suhadi Mangkusuwondo, serta Dorodjatun Kuntjoro-Jakti. Edisi-edisi berikutnya pun selalu tampil dengan sebuah topik khusus, seperti Pembangunan Daerah, Pendidikan, Kesehatan Masyarakat, Ekonomi Pertanian, Teknologi, Industrialisasi, dan lain-lain.
Prisma, sebagai majalah dwi-bulanan, mula-mula hadir dengan wajah dan tata letak yang cukup sederhana, memakai kertas HVS, dengan 52 halaman, namun pada edisi nomor 7 (Desember 1972) sudah menjadi 92 halaman, yang kemudian menjadi ukuran ketebalan rata-rata. Pada awalnya Prisma hanya terjual kira-kira 1.000 eksemplar, tetapi pada akhir tahun 1975 sudah mencapai 4.500 eksemplar, bersamaan dengan penampilan sampulnya yang sudah lebih meriah. Kenaikan omzet yang cukup menggembirakan namun belum optimal itu mendorong pengelola Prisma untuk semakin meluaskan pasar dengan mengubah penampilan majalah ini. Oleh karena itu pada tahun 1976 terjadi perubahan sangat substansial. Selain diterbitkan secara bulanan dan menggunakan kertas koran, Prisma tampil dengan tata letak isi dan sampul yang lebih “ramah” (dengan bingkai bundar yang kemudian menjadi ciri khas Prisma). Sejak saat itu pula Prisma menyajikan rubrik baru yang diberi nama Dialog sebagai pelengkap artikel-artikel tematis yang disajikan.
Semua perubahan itu dimaksudkan agar Prisma dapat meraih pembaca yang lebih luas, dengan harga yang tetap murah. Jika sebelumnya hanya dijual lewat cara berlangganan langsung, atau di toko buku serta agen-agen khusus yang memiliki akses ke kalangan kampus, maka kemudian Prisma dapat diterima oleh agen-agen koran dan majalah umum serta dipajang di kios-kios mereka. Prisma menjadi pilihan alternatif dan semacam bacaan tingkat lanjutan bagi masyarakat yang relatif berpendidikan tinggi. Usaha pemasaran itu membuahkan hasil dengan naiknya jumlah penjualan yang berkisar antara 8.000 hingga 14.000 eksemplar setiap edisi. Dalam hal ini Prisma memang dapat dilihat sebagai suatu barang dagangan, dalam arti semakin menarik topik yang disajikan, makin banyak pula orang yang akan membeli. Turun-naiknya sirkulasi selalu tergantung dari isi. Nomor-nomor Prisma yang laris adalah yang mengetengahkan topik masalah Seks (Juni 1976) dan Angkatan Muda (Desember 1977). Tapi, ada juga topik yang kurang diminati seperti tentang Olahraga (April 1978), dan mengenai Sastera (April 1979).
Tiga tahun setelah terbit, tepatnya bulan Oktober dan November 1974, LP3ES menyelenggarakan survai dengan mengambil sampel 1.250 responden (diperkirakan 11 persen dari populasi) pembaca Prisma di kota Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Malang, Ujungpandang (sekarang Makassar), dan Medan. Dari readership survey itu diketahui bahwa 88 persen pembaca Prisma adalah laki-laki dan hanya 12 persen perempuan. Dilihat dari kelompok umur, 33 persen pembaca Prisma berumur 19-26 tahun, 36 persen berumur 27-34 tahun, 20 persen berumur 35-42 tahun, dan 9 persen berumur 43-62 tahun. Ditinjau dari tingkat pendidikan, hampir semua pembaca Prisma berpendidikan di atas Sekolah Lanjutan Tingkat Atas, yaitu 23 persen tamatan SLTA, 34 persen sarjana muda atau tamat pendidikan akademi, 38 persen sarjana atau tamat pendidikan universitas dan 3 persen post-graduate. Dalam kelompok pekerjaan, pembaca Prisma terdiri dari 36 persen mahasiswa, 32 persen pejabat pemerintah, 13 persen pengajar atau dosen perguruan tinggi, 9 persen usaha swasta, 7 persen golongan profesional, dan 3 persen anggota ABRI (sekarang TNI dan Polri) dan kelompok lainnya.
Dari data hasil survei dapat disimpulkan bahwa sebagian terbesar pembaca Prisma (69 persen) adalah dari golongan muda atau kelompok umur 19-34 tahun, sebagian besar pembaca (72 persen) berpendidikan di atas sarjana muda, dan sebagian terbesar (49 persen) bekerja di lingkungan perguruan tinggi dan sebagian lagi (32 persen) dalam jabatan pemerintahan tingkat menengah. Dengan demikian hasil survei pembaca itu membuktikan bahwa ide dasar dan tujuan penerbitan majalah Prisma untuk menjadi forum komunikasi dan pembahasan masalah-masalah pembangunan sosial ekonomi bagi para sarjana dan cendekiawan muda serta media informasi bagi para praktisi dan pejabat pemerintahan di daerah-daerah, dalam batas-batas tertentu telah berhasil dicapai. Hal itu makin diperkuat oleh hasil survei, bahwa 88 persen pembaca Prisma menyatakan banyak menarik manfaat dan menggunakan artikel-artikel yang dimuat untuk menambah ilmu pengetahuan (28 persen) dan sebagai sumber informasi penting (22 persen), dan 19 persen menggunakannya untuk menyusun karya tulis, dan selebihnya menggunakan Prisma untuk bahan perencanaan pedoman mengajar, bahan ujian, dan lain-lain.
Dalam hal itu, di tengah dinamika intern Prisma, muncul “perdebatan” hangat di antara bagian redaksi dan pemasaran tentang topik apa yang sebetulnya dikatakan dapat laris di pasar. Persoalannya mungkin topik yang disajikan harus mempertimbangkan faktor penjualan, berarti berupaya mengikuti selera masyarakat dan berarti pula tetap relevan bagi masyarakat. Bagian Pemasaran selalu mengatakan bahwa sirkulasi Prisma yang tinggi itu karena pekerjaan pemasaran, tetapi sebaliknya Redaksi mengatakan bahwa kalau memang demikian mengapa pemasaran tidak bisa menjual nomor-nomor yang tidak disukai pembaca karena terlalu berat, terlalu kering. Barangkali "pertengkaran" itu bukan hanya terjadi dalam tubuh Prisma saja. Soal "klasik" itu juga sering terjadi di badan-badan penerbitan lain. Justru di tengah dinamika internal itu Prisma mampu meneguhkan posisinya.
"Manusia Dalam Kemelut Sejarah" (Prisma, Agustus 1977) merupakan edisi Prisma yang paling laku dan tidak pernah bisa dilewati lagi—dicetak dua kali sebagai majalah, dan dicetak dua kali dalam bentuk buku, pengalaman pertama untuk jurnal dalam sejarah dunia. Penjualan paling tinggi memang dicapai oleh Prisma pada edisi biografi tersebut, dengan jumlah sekitar 22.000 eksemplar. Tokoh Soekarno, Jenderal Soedirman, Tan Malaka, dan lain-lain yang dibahas dalam nomor itu membuat orang sangat berminat untuk membacanya. Dapat dikatakan, sejak edisi itulah Prisma makin dikenal oleh kalangan masyarakat yang lebih luas, di luar basis kelompok pembaca sebelumnya. Tidak mengherankan bila kemudian beberapa biro iklan mendatangi Prisma dan membuat kontrak pemasangan iklan (sebagian besar produk rokok) untuk selama satu atau dua tahun. Padahal, sebelumnya dan juga pada masa-masa setelah itu, cukup sulit mencari produsen yang berminat memakai Prisma sebagai media promosi mereka.
Dilihat dari segi angka penjualan, maka tahun-tahun akhir 1970-an dan awal 1980-an dapat dikatakan sebagai masa kejayaan Prisma. Hal itu berlangsung bersamaan dengan pembaharuan isi Prisma yang makin semarak dengan rubrik-rubrik baru. Tahun 1978 mulai muncul rubrik Laporan Khusus, meskipun sempat ditunda beberapa tahun, sebuah laporan jurnalistik yang digarap sendiri oleh tim redaksi, dan disajikan setiap tiga bulan yang tidak harus sejalan dengan topik utama. Rubrik lain yang mulai diperkenalkan sejak tahun 1979 antara lain Dunia Ketiga, yang menerjemahkan tulisan tentang berbagai masalah yang dihadapi negara-negara berkembang, khususnya di kawasan Asia Tenggara. Rubrik Tesis, yang menyajikan ringkasan tesis atau disertasi di bidang-bidang ilmu sosial, terutama ditulis oleh sarjana Indonesia dan mengenai masalah Indonesia. Rubrik Tinjauan Buku, selain tinjauan secara konvensional, juga ditambah ulasan singkat sehingga memungkinkan lebih banyak buku yang dapat disajikan. Rubrik-rubrik baru tersebut membuat isi Prisma lebih bervariasi sehingga pembaca memperoleh pilihan selain artikel-artikel yang selalu membahas topik atau tema tertentu.
Rubrik Tokoh menyajikan tulisan yang menganalisis tokoh-tokoh sejarah Indonesia, dan rubrik ini dimunculkan pada tahun 1982. Rubrik khusus itu pula yang sangat disimak oleh kalangan pembaca, termasuk pemerintah Orde Baru. Kelaziman waktu itu, mungkin sampai sekarang, setiap penerbit diharuskan menyerahkan beberapa nomor bukti penerbitan ke pelbagai instansi pemerintah. Prisma agaknya dianggap sangat menyita perhatian Orde Baru saat mengulas tokoh-tokoh tertentu dalam rubrik Tokoh. Ketika itu beberapa penulis yang dipenjarakan di Pulau Buru dilepaskan serta diberi kesempatan kembali pada profesi semula, Prisma segera memanfaatkan sebagian dari mereka. Prisma segera mendapat "peringatan tertulis" dari Departemen Penerangan Republik Indonesia.
Departemen Penerangan menilai Prisma menjadi ajang kaum kiri dalam mengembangkan atau "menjurus pada penyerbar-luasan ajaran-ajaran Komunis." Dalam bahasa pemerintah sesuai dengan surat dari Departemen Penerangan tertanggal 2 Maret 1983 itu dinyatakan bahwa ".... penonjolan tokoh-tokoh tersebut [tokoh Cornel Simanjuntak dalam Prisma, No.2, Februari 1982; S.M. Kartosuwiryo dalam Prisma, No.5, Mei 1982; Aidit dalam Prisma, No.7, Juli 1982; Oerip Soemohardjo dalam Prisma, No.9, September 1982; dan tulisan Jacques Leclerc dalam Prisma, No.12, Desember 1982] seolah-olah merupakan Perjuangan Politik Komunis untuk melakukan penggalangan terhadap masyarakat melalui Majalah Prisma, agar dapat menerima kembali kehadiran PKI dalam masyarakat atau usaha menghidupkan kembali PKI di Indonesia." Satu bulan setelah itu, tepatnya 16 April 1983, Penanggung Jawab dan Redaksi Prisma "diminta untuk menghadap" pihak kejaksaan. Ismid Hadad, M. Dawam Rahardjo, dan Daniel Dhakidae sempat diinterograsi oleh pihak Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.
Hal yang nyaris serupa dialami Prisma beberapa tahun kemudian. Kali ini Departemen Penerangan ".... setelah mengadakan penelitian terhadap isi majalah Prisma No.6 Tahun XVI edisi bulan Juni 1987 yang dikirimkan kepada Departemen Penerangan ..., kami temukan beberapa tulisan/artikel khususnya yang menyoroti peranan angkatan muda yang menurut kami patut mendapat perhatian serius..." Surat peringatan tertanggal 21 Agustus 1987 itu menyimpulkan bahwa "... isi beberapa tulisan dari Majalah Prisma No.6 Tahun XVI, cenderung merupakan sebuah pameran ilmu yang dapat menyesatkan dan membangkitkan keresahan masyarakat.... Majalah Prisma mempunyai kecenderungan untuk 'menghasut' pemuda dan mahasiswa untuk bergerak mengubah sistem politik dan kepemimpinan politik di indonesia.... Majalah Prisma secara tersirat mempunyai kecenderungan mengajak mahasiswa dan generasi muda untuk bangkit menjadi satu-satunya oposisi yang ampuh dalam masyarakat... Majalah Prisma berusaha membentuk opini publik di kalangan masyarakat, bahwa sistem politik yang berlaku di Indonesia adalah teori politik Jawa yang berwujud dalam kekuasaan pemimpin, sementara angkatan muda menjadi kekuatan pinggiran... Majalah Prisma berusaha membentuk opini publik yang cenderung untuk menyesatkan masyarakat pembaca dan untuk mempertentangkan peranan ABRI dan lembaga-lembaga sipil di dalam menjalankan politik pemerintahan di Indonesia." Penutup surat peringatan yang kerap dilayangkan Orde Baru kepada Prisma untuk nomor-nomor tertentu biasanya "... agar di waktu yang akan datang majalah Prisma lebih berhati-hati dalam memuat tulisan yang sifatnya menghasut dan mempertentangkan antara komponen-komponen pendukung terlaksananya pembangunan nasional." Dengan melakukan beberapa "penyesuaian" di sana-sini Prisma tetap dapat terbit hingga tahun 1998.
Meskipun sempat laris, tiras penjualan Prisma sebenarnya tidak pernah mencapai tingkat yang membuat majalah ini untung secara finansial atau menghasilkan pendapatan yang memungkinkan bisa berdiri sendiri secara bisnis. Sejak semula manajemen dan kegiatan operasional Prisma memang menjadi satu dengan penerbitan buku. Sebagian personelnya, seperti di bagian administrasi dan pemasaran, juga merangkap sebagai personel untuk kegiatan yang sama pada penerbitan buku.
Dari sudut pandang ideal, yakni sebagai sarana penerangan bagi masyarakat umum, Prisma tidak hanya dikenal di Indonesia karena sejak awal majalah ini juga memiliki edisi bahasa Inggris. Edisi itu diterbitkan pertama kali pada tahun 1975, semula dua kali dalam setahun kemudian menjadi empat-bulanan. Isinya merupakan terjemahan artikel-artikel pilihan yang telah atau akan dimuat dalam Prisma bahasa Indonesia. Edisi ini terutama “diekspor” ke luar negeri dan diterima oleh agen-agen yang cukup setia di Belanda, Amerika Serikat, Australia dan Singapura, di samping sejumlah pelanggan pribadi. Omzet edisi ini hanya 1.000 eksemplar dan tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan, melainkan lebih untuk memenuhi amanat Anggaran Dasar LP3ES yang antara lain berbunyi: “Menyebarkan pengetahuan yang luas tentang keadaan sosial dan ekonomi Indonesia kepada bangsa lain.” Fungsi utamanya jelas sebagai "public relation" LP3ES terhadap dunia internasional, terutama untuk memberi informasi dan menarik perhatian lembaga-lembaga ilmiah dan sumber-sumber dana di luar negeri. Edisi bahasa Inggris itu bisa mengisi sebagian kevakuman media komunikasi dalam bahasa Inggris tentang Indonesia yang saat itu makin dibutuhkan oleh publik asing yang banyak di Indonesia, maupun di luar negeri.
Akhir Pembangunan, Akhir Prisma
Dalam sorotan sehubungan dengan dua puluh dua tahun usia Prisma, Richard Z. Leirissa menulis, “Suatu hal yang menggembirakan adalah bahwa dalam dasawarsa 80-an permasalahan yang mendasar seperti strategi kebudayaan juga mulai mendapat tempat yang penting... Persoalan ini sudah muncul dalam Prisma pada tahun 1981.” Prisma, dalam edisi November 1981, memang menyuguhkan topik berjudul Perbenturan Nilai-nilai di Indonesia. Pada tahun 1987, Prisma menurunkan topik berjudul Stategi Kebudayaan: Mencari yang Lebih Tepat (Prisma, Maret 1987), yang antara lain dilengkapi dengan laporan wawancara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hassan sehubungan dengan rencana penyelenggaraan Kongres Kebudayaan. Penulis nomor itu antara lain Emil Salim, Umar Kayam, Arief Budiman, dan Gunawan Mohamad. Leirissa menekankan bahwa hal yang menarik dari artikel-artikel dalam edisi tersebut adalah strategi kebudayaan tetap dilihat dalam kaitan dengan strategi pembangunan.
Namun ada hal lain yang perlu dicatat. Sejak pertengahan tahun 1980-an penjualan Prisma mulai mengalami penurunan seiring dengan terlambatnya jadwal terbit. Yang disebut sebagai terlambatnya jadwal terbit hanyalah akibat dari semacam intellectual fatigue, kelelahan intelektual, di kalangan redaksi yang pada awal terbitnya dimaksudkan sebagai penampung, semacam Receptacle, kini dituntut untuk menjadi "penuntun" yang secara pro-aktif merumuskan soal, memahami arah kecenderungan politik dan ekonomi, teori politik dan ekonomi. Semuanya menjadi tuntutan yang boleh dibilang berlebihan bagi para pengasuh, yang ketika itu tidak ada satu pun yang memiliki ijazah Ph.D dalam bidang apa pun. Pergaulan intelektual, akademik, boleh dibilang juga terbatas. Kedua, mulai bertumbuhan pusat-pusat baru yang kecil namun tersebar di mana-mana. Dengan "dikandangkannya" mahasiswa di kampus-kampus universitas, pemerintah mensponsori jurnal-jurnal akademik di kampus. Dengan memberikan nilai kredit yang tinggi bagi tulisan di jurnal tersebut, Prisma mendapat pesaing kuat di lingkaran kampus. Ketiga di luar universitas perkembangan ilmu-ilmu sosial kritis tidak lagi melihat Prisma sebagai majalah yang tepat untuk menampung atau mengeluarkan aspirasi.
Namun untuk mengatasinya, tim redaksi Prisma, terutama setelah tahun 1984 mendapatkan suntikan beberapa tenaga baru anggota yang memiliki ijazah pendidikan formal tinggi. Beberapa di antaranya adalah Farchan Bulkin, Ph.D dalam ilmu politik dari University of Seattle, masuk dan memimpin Prisma. Begitu pula dengan Ignas Kleden, MA dalam Ilmu Filsafat dari Muenchen, yang turut memperkuat jajaran redaksi; Sjahrir, Ph.D dalam Government dari Kennedy School of Government, Harvard University, meskipun tidak pernah menjadi anggota Dewan Redaksi Prisma secara resmi, ikut menjadi penyumbang dan cukup besar jasanya dalam tulisan maupun dalam memberikan ide. Namun demikian semua itu agaknya tidak banyak menolong menaikkan sirkulasi Prisma untuk mengembalikan posisi majalah ini pada masa terbaiknya.
Sebenarnya sejak tahun 1982-1983 majalah Prisma hampir setiap tahun terlambat terbit dua nomor. Pada tahun-tahun 1985 dan 1986 sesungguhnya diupayakan agar Prisma dapat kembali terbit teratur 12 nomor setiap tahun, tetapi kembali menurun pada tahun 1987 sampai 1990, menjadi 8 atau 9 nomor tiap tahun. Ketidakteraturan jadwal terbit dan jumlah nomor edisi itu sangat memengaruhi tiras penjualan Prisma, yang terus menurun hingga menjadi sekitar 4.000 eksemplar setiap edisi. Dalam keadaan demikian, Prisma masih terus berupaya “memperbaiki” penampilannya, yakni dengan membuat ilustrasi sampul dalam full colour beserta perubahan tata letak dan isi.
Dalam aspek usaha, Prisma mulai serius menggarap “suplemen” yakni semacam pariwara sebagai alternatif sumber pendapatan mengingat perolehan dari hasil iklan biasa yang sangat kecil. Suplemen mulai muncul dalam Prisma Maret 1986 yakni Wajah Komputer Buatan Indonesia yang menghimpun sponsor dari sejumlah perusahaan produsen komputer dalam negeri. Dalam edisi Mei 1986, majalah Prisma mengundang sejumlah perusahaan untuk bergabung dalam suplemen tentang perumahan berkaitan dengan topik tentang masalah ini yang disajikan oleh nomor tersebut. Suplemen berikut pada umumnya mengetengahkan pariwara tunggal dari satu perusahaan, baik yang terkait maupun yang tidak terkait dengan topik yang disajikan. Suplemen ini sedikit banyak dapat menopang kehidupan Prisma di tengah tiras penjualannya yang sulit kembali seperti pada akhir 1970-an dan awal 1980-an.
Merosotnya kinerja Prisma yang berlanjut hingga awal tahun 1990-an telah mendorong pengasuh untuk menampilkan majalah dengan wajah yang sama sekali berubah dari yang selama ini dikenal, dengan maksud agar dapat kembali menarik pembaca. Upaya itu dapat dipahami mengingat masyarakat sudah dihadapkan pada begitu banyak alternatif bahan bacaan serta sumber informasi dalam bentuk lain. Oleh karena itu, mulai edisi Januari 1994 sampul Prisma tampil dengan gaya ilustrasi yang baru, kertas isi kembali digunakan HVS seperti awal mula terbit, tata letak isi juga berubah secara mencolok. Jumlah edisinya pun berhasil dikembalikan ke 12 nomor. Hal lain yang juga dilakukan adalah menekan harga agar tetap terjangkau pembaca, yakni ditentukan Rp. 4.000,- walaupun menurut perhitungan rasional seharusnya dua kali dari harga jual ini. Namun, perubahan sampul dari bingkai bundar yang merupakan ciri khas Prisma menjadi bingkai segi empat disayangkan oleh sebagian pembaca.
Tampaknya upaya itu tidak berhasil mengangkat kembali Prisma menjadi bacaan yang laris dan dicari. Pada tahun-tahun kemudian penjualan majalah ini terus merosot, yang menjadikan para pengasuh kehabisan akal tentang apalagi yang harus dilakukan. Di satu pihak, ada kepercayaan bahwa potensi pembaca Prisma akan bertambah banyak karena makin banyak orang terpelajar. Namun dalam kenyataannya majalah ini sulit menarik perhatian mereka. Pesaing dalam bentuk majalah sejenis tampaknya belum ada yang muncul, walaupun penerbitan buku-buku dengan isi dan tema yang sama memang sudah semakin banyak. Untuk mengatakan bahwa masyarakat lebih suka membaca buku daripada majalah, diperlukan data yang cukup memadai. Dan, sebelum data itu terkumpul Prisma sudah semakin jarang muncul, hingga akhirnya pada tahun 1998 hanya terbit satu nomor. Secara kebetulan tahun tersebut bersamaan dengan tahun jatuhnya rezim pembangunan di Indonesia. Apakah Prisma yang dahulu muncul pertama kali sebagai majalah pembangunan memang harus berakhir pada tahun itu? Atau bagaimana hubungannya dengan apa yang ditulis Onghokham bahwa Prisma merupakan pencerminan dari wajah kaum cendekiawan Indonesia; menampilkan wajah cendekiawan Indonesia pada zamannya (Prisma, November 1980)? Tidak penting untuk dicari hubungannya. Yang penting Prisma perlu muncul kembali dengan perspektif dan semangat yang sesuai dengan zamannya.