Beberapa atau seluruh referensi dari artikel ini mungkin tidak dapat dipercaya kebenarannya. Bantulah dengan memberikan referensi yang lebih baik atau dengan memeriksa apakah referensi telah memenuhi syarat sebagai referensi tepercaya. Referensi yang tidak benar dapat dihapus sewaktu-waktu.
Singo Ulung[1] adalah kesenian tari menggunakan barongan yang merupakan seni tradisional dari Kabupaten Bondowoso yang tahunan dilakukan pada ulang tahun ke Bondowoso.
Sejarah
Tari tradisional[2] ini diciptakan oleh seorang pemuda brewok dengan pakaian kusam bernama Kiai Singo Wulu yang dihormati karena kesaktiannya sekitar 400 tahun yang lalu. Kiai Singo adalah nama orang yang datang dari Ponorogo yang merupakan masih keturuan dari kerabat bupati Ponorogo, Batoro Katong.[1]
Dalam perjalanannya untuk dakwah islami, Kiai Singo Wulu berhenti di sebuah hutan yang masih lebat dan berteduh di sebuah pohon Belimbing untuk istirahat. Kedatangan Kiai Singo Wulu membuat murka Jasiman yang merupakan penguasa hutan tersebut karena telah lancang memasuki wilayahnya, hingga akhirnya terjadilah perkelahian yang sengit antara kiai singo wulu dan Jasiman yang keduanya menggunakan kayu rotan yang ada di hutan tersebut.
Jasiman sebagai penguasa hutan tidak mau mengalah, hingga pada saatnya Kiai Singo mengubah wujudnya menjadi "Sardula Seta" atau harimau Putih. Jasiman tidak mampu melawan Kiai Singo yang kian memojokannya dan tidak dapat berkutik, pada akhirnya Jasiman mengalah dan meminta pertarungan di hentikan.
Jasiman yang tidak tahu kedatangan Kiai Singo pun menjadi Sadar dan masuk agama Islam. Kiai Singo merupakan pendekar sakti yang sudah beragama islam yang ternyata satu perguruan dengan Jasiman, pemandangan yang biasa manusia dengan ilmu tingkat tinggi mampu mengubah wujudnya menjadi siluman harimau.Hingga Jasiman menikahkan adiknya bernama Muna dengan Kiai Singo dan berganti nama menadi Muslihah, karena Kiai Singo di rasa cocok karena sangat sederhana dari penampilannyayang terkesan ulung.
Perkembangan
Suatu hari, Jasiman memiliki ide untuk menciptakan tari tradisional yang kini disebut Singo Wulung dimainkan oleh dua orang seperti barong ponorogo atau reyog tradisional. Tarian ini telah diiringi dengan musik khusus yang dapat membuat penonton merasa heran.
Karena pada tahun 1806 terjadi imigrasi secara besar-besaran yang di lakukan oleh orang madura di wilayah tapal kuda, termasuk Bondowoso, terjadilah perubahan pada kesenian. seperti penyebutan pada Kiai Singo menjadi "Juk Senga" dalam bahasa madura, serta musik pengiring menggunakan gamelan reyog menjadi arasemen madura dan pakaian warok ponorogo menjadi pakaian khas madura.
perkembangan Seni bersama-sama dengan seni Pojian, seni Ojung selalu menunjukkan pada upacara adat yaitu "Bersih Desa Blimbing" yang selalu diadakan setiap tahun (bulan Sya'ban / Ruwah). Di sisi lain, ini pertunjukan seni bisa dinikmati pada saat tahunan "Hari Jadi Bondowoso"[3] tepatnya pada 16 Agustus.
Unsur Tarian
Dalam kesenian Singo Ulung terdapat tokoh yang di perankan seperti,
Singo Ulung yang menggambarkan wujud Kiai Singo Wulu yang menjadi Harimau putih
Panji yang menggambarkan Jasiman yang merupakan penguasa wilayah
Dua orang berkelahi menggunakan rotan menggambarkan pertarungan Jasiman dengan Kiai Singo
Penari perempuan menggambarkan istri Kiai Singo
Kiai menggambarkan kiai singo
Berbagai sanggar memiliki presepsi sendiri seperti masih di gunakannya bahasa jawa dan pakaian warok pada kesenian singo ulung ini, di lain sanggar di gunakanlah bahasa dan pakaian madura.