Satsana Phi

Sebuah kuil di Lom Sak, Provinsi Phetchabun, Thailand.
Aula dalam kuil dewa Bo Lek Nam Phi di Provinsi Uttaradit, Thailand.

Satsana Phi atau agama rakyat Tai (bahasa Lao: ສາສະໜາຜີ; bahasa Thai: ศาสนาผี, /sàːt.sa.nǎː.pʰǐː/, "agama roh") atau Ban Phi (bahasa Ahom: 𑜈𑜃𑜫 𑜇𑜣) adalah bentuk kepercayaan animisme yang dianut oleh kelompok etnis Tai di Asia Tenggara, seperti orang Laos, Ahom, Shan, Dai, Khamti, Isan, dan Thai. Agama ini bersifat animistik dan politeistik yang melibatkan perdukunan dan penyembahan leluhur.

Di Laos, etnis Lao Loum sebagian besar telah beragama Buddha, sedangkan Lao Theung dan Lao Sung mayoritas masih mengikuti agama asli. Tradisi animisme rakyat Tai juga dipraktikkan bersama ritus-ritus agama Buddha di Laos.[1]

Ringkasan

Kepercayaan Satsana Phi berpusat pada dewa yang disebut phi (ຜີ, ผี, [pʰiː]). Phi diyakini sebagai roh pelindung bangunan, wilayah, atau benda-benda tertentu. Dewa juga bisa berupa roh leluhur, atau hantu yang memiliki kekuatan magis. Dewa-dewa seperti itu sering berinteraksi dengan manusia, kadang-kadang baik dan kadang-kadang jahat. Dewa penjaga tempat, seperti phi wat (ຜີວັດ, ผีวัด) di kuil dan lak mueang (ຫລັກເມືອງ, หลักเมือง) di kota kerap diberi sesajen berupa makanan. Agama Satsana Phi juga menyembah dewa-dewa lokal yang disebut phi taen (ຜີແຖນ, ผีแถน) serta dewa-dewa lain yang diadopsi dari agama Hindu.[2] Para dewa diyakini hidup di semua tempat dan terkadang dikaitkan dengan unsur-unsur dan fenomena alam seperti langit, bumi, api, dan air.

Satsana Phi menyakini adanya tiga puluh dua roh pelindung yang dikenal sebagai khwan (ຂວັນ, ขวัญ). Pada acara-acara tertentu, seperti sebelum seseorang menikah, pindah pekerjaan, atau pada momen-momen yang penuh ketidakpastian, upacara baci (ບາສີ, บายศรี) dilakukan. Ritual ini bertujuan untuk mengikat khwan ke dalam tubuh seseorang, karena terlepasnya ikatan antara keduanya secara tidak sengaja diyakini dapat menimbulkan malapetaka. Ritual baci memanggil tiga puluh dua khwan untuk kembali ke dalam diri peserta agar mendatangkan kesehatan, kemakmuran, dan kesejahteraan. Selama upacara seperti itu, tali kapas sering diikatkan di pergelangan tangan peserta untuk menjaga agar roh tetap ada di tempatnya. Upacara baci juga dapat dilakukan untuk menyambut tamu di rumah, sebelum dan sesudah melakukan perjalanan jauh, sebagai ritual penyembuhan atau setelah sembuh dari penyakit. Ritual ini juga menjadi yang terutama dalam acara pernikahan dan pemberian nama pada anak yang baru lahir di kalangan etnis Lao Loum.[3]

Dalam kehidupan sehari-hari, kebanyakan orang menghormati dewa yang tinggal di rumah roh, yang diyakini dapat melindungi rumah pemiliknya dari bahaya. Rumah-rumah roh ini pada dasarnya adalah kuil mini, yang dibangun untuk mewakili kehadiran sang dewa. Persembahan berupa bunga, dupa, dan lilin diberikan. Orang-orang juga menyembah dewa alam yang tinggal di pohon, gunung, atau hutan.

Roh pelindung sering kali juga meliputi leluhur atau makhluk gaib yang hadir di berbagai peristiwa dalam kehidupan, yang lebih dikenal sebagai thewada. Sementara roh jahat (phi phetu) terdiri dari khwan orang-orang yang berlaku jahat di kehidupan sebelumnya atau mereka yang meninggal karena hal tragis, seperti phi pob (ຜີປອບ, ผีปอบ) dan phi dip (ຜີດິບ, ผีดิบ). Dewa yang tinggal di tempat-tempat tertentu seperti rumah, sungai, atau rerimbunan pohon pada dasarnya tidak baik atau jahat, dan penyerahan sesajen sesekali diadakan untuk memohon bantuan mereka dalam urusan manusia.[3]

Mo phi

Dukun yang disebut mo phi (ໝໍຜີ, หมอผี) adalah orang terlatih yang terspesialisasi dalam memimpin ritual serta berkomunikasi dengan roh halus. Mereka akan mengalami kesurupan, menggunakan benda-benda suci yang memiliki kekuatan gaib atau disebut saksit, dan menjalankan ritual seperti lam phi fa (ລຳຜີຟ້າ, ลำผีฟ้า) atau baci. Para dukun akan meminta bantuan para roh pada masa-masa sulit dan merebaknya penyakit atau kemalangan lain yang diyakini ditimbulkan oleh roh jahat. Para mo phi juga hadir selama festival keagamaan.[4]

Upacara

Ritual baci yang dilakukan oleh sebuah keluarga di Vientiane.

Upacara penyembahan para dewa biasanya melibatkan persembahan ayam dan arak beras. Setelah para dewa mengambil jatahnya, orang-orang dapat mengonsumsi sisanya. Kepala rumah tangga atau individu yang mengharapkan bantuan para dewa biasanya melakukan ritual tersebut. Di banyak desa, seseorang, biasanya seorang pria tua yang diyakini memiliki pengetahuan khusus tentang dewa, akan diminta untuk memilih hari baik untuk pernikahan atau acara penting lainnya.

Desa-desa di dataran rendah Laos percaya bahwa mereka dilindungi oleh phi, yang meminta persembahan tahunan untuk memastikan keselamatan desa. Ahli ritual di desa akan memimpin ritual ini, yang di masa lalu sering melibatkan pengorbanan kerbau dan penutupan desa dari orang luar selama sehari. To liang phi ban (memberi makan roh desa) juga memiliki fungsi sosial yang penting guna menegaskan kembali batas-batas desa dan memastikan kesejahteraan bersama seluruh warga desa.[3]

Bagi pengikut Satsana Phi, pemujaan terhadap leluhur sangatlah penting, meskipun setiap kelompok etnis memiliki praktik dan kepercayaan yang berbeda. Orang Tai Ahom menyebut roh sebagai phi dam. Sementara suku Khmu menyebutnya hrooy, dengan konsep yang mirip dengan phi di suku Lao Loum; roh penjaga rumah dianggap penting, dan roh dari tempat-tempat liar harus dihindari atau dihalang-halangi dari mendekati desa.

Variasi

Agama Ahom

Suku Ahom di Assam, India Timur Laut memiliki kepercayaan yang sama dalam pemujaan phi, khwan, dan leluhur. Mereka mempersembahkan ayam dan arak tradisional, yang dikenal sebagai lao, dalam pemujaan phi dam (arwah nenek moyang) dan ban-phi (roh penjaga desa).[5]

Agama Lamet

Suku Lamet memiliki kepercayaan yang mirip, dan setiap desa harus memiliki satu dukun (xemia), yang bertanggung jawab untuk melakukan ritual pengorbanan kepada dewa-dewa desa. Ia juga mengawasi rumah-rumah komunal dan memimpin pembangunan rumah-rumah baru. Ketika seorang praktisi ritual meninggal, salah satu anak laki-lakinya dipilih oleh pria desa yang sudah menikah untuk menjadi pengganti. Jika ia tidak memiliki anak laki-laki, maka salah satu dari putra saudara laki-lakinya yang dipilih.

Roh leluhur (mbrong n'a) sangat penting bagi orang Lamet karena mereka dianggap mendatangkan kemakmuran dalam keluarga. Mereka tinggal di rumah, dan tidak ada kegiatan yang dilakukan tanpa memberi tahu para roh. Arwah nenek moyang menyukai kerbau; sehingga tengkorak kerbau atau tanduk hewan korban kerap digantung di altar leluhur atau di bawah atap pelana rumah. Mereka juga mengenal berbagai pamali terkait aktivitas di rumah guna menghormati keberadaan roh leluhur.[3]

Referensi

  1. ^ International Religious Freedom Report 2007 - Laos
  2. ^ Poulsen, A. (2007). Childbirth and Tradition in Northeast Thailand. Copenhagen, Denmark: Nordic Institute of Asian Studies.
  3. ^ a b c d Ireson, W. Randall. "Animism in Laos". A country study: Laos (Andrea Matles Savada, editor). Library of Congress, Federal Research Division (Juli 1994). Artikel ini memuat teks dari sumber tersebut, yang berada dalam ranah publik.
  4. ^ Walter, M., Fridman, E., Jacoby, J., & Kibbee, J. (2007). Shamanism: an encyclopedia of world beliefs, practices, and culture. Santa Barbara, CA: ABC-CLIO, Inc.
  5. ^ Gogoi, Shrutashwinee (2011). Tai ahom religion a philosophical study (Tesis PhD). http://shodhganga.inflibnet.ac.in/handle/10603/116167. 

Daftar pustaka

  • Yoshihisa Shirayama, Samlane Phompida, Chushi Kuroiwa. Malaria Control Alongside "Sadsana-Phee" (Animist Belief System) in Lao PDR. In: Modern Medicine and Indigenous Health Beliefs, Vol 37 No. 4 Juli 2006.

Pranala luar