Setelah berkarya di Australia selama 17 tahun, Sangkot kembali ke Indonesia tahun 1992 untuk membangun Lembaga Eijkman dan meningkatkan penelitian terkait diversifikasi genom manusia dan penyakit menular di Indonesia. Dia menerima berbagai penghargaan atas kontribusinya di dunia sains. Diantaranya adalah Bintang Mahaputra Utama RI pada tahun 2009.[2]
Pendirian Lembaga Eijkman
Cikal bakal Lembaga Eijkman adalah Laboratorium Penelitian untuk Patologi dan Bakteriologi di Batavia yang telah berdiri sejak 1888. Direktur pertama laboratorium ini, Christiaan Eijkman, melakukan penelitian mengenai hubungan penyakit beri-beri dengan kekurang vitamin B1, yang membuatnya memenangkan Penghargaan Nobel pada 1929. Namun karena krisis politik dan ekonomi pada tahun 1966, laboratorium ini ditutup.[3][4]
Pada tahun 1990, Sangkot Marzuki yang saat itu mengepalai laboratorium biologi molekuler di Universitas Monash, mendapat fax dari Menteri Riset dan Teknologi Indonesia saat itu, Prof. B.J. Habibie. Isinya meminta Sangkot Marzuki untuk pulang dan membangun laboratorium biologi molekuler di Indonesia. Sebagai upaya untuk membuatnya bersedia, B.J. Habibie mengundangnya pada acara Perayaan Kemerdekaan di Istana.[4] Dalam sebuah percakapan di kantor menteri, Sangkot Marzuki mengingatkan B.J. Habibie bahwa tahun itu merupakan tepat 100 tahun sejak penemuan Eijkman tentang vitamin B1 dan beri-beri di Laboratorium Penelitian untuk Patologi dan Bakteriologi.
Pada pertemuan dengan B.J. Habibie tersebut, Sangkot Marzuki mengungkapkan:
Saya belum menyelesaikan kalimat saya memimpikan dibukanya kembali lembaga tempat Eijkman pernah bekerja yang sudah lama ditutup, ketika dia mengetuk meja dan berseru: “Begitulah caranya. Kita harus menghidupkan kembali lembaga itu!”[5]
Pendirian Lembaga Eijkman mendapat restu dari Presiden Soeharto pada peringatan 100 tahun penemuan Eijkman bulan Desember 1990. Lembaga Eijkman kemudian didirikan pada Juli 1992 dan mulai beroperasi pada April 1993. Namun baru diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 19 September 1995.[3]
Penghargaan
Sangkot Marzuki menerima berbagai penghargaan atas kontribusinya di bidang sains. Dia dianugerahi gelar Higher Doctorate (D.Sc) dari Universitas Monash pada tahun 1998 atas penelitiannya terkait penyakit kelainan transduksi energi.[6] Penelitian tersebut menjelaskan penyakit neurologis yang terjadi akibat gangguan dalam proses pengubahan makanan menjadi energi oleh sel.[4]
Atas kontribusinya dalam membangun hubungan bilateral antara Australia dengan Indonesia lewat kolaborasi ilmiah dan promosi pendidikan tinggi Australia di Indonesia,[8] Sangkot Marzuki dinobatkan sebagai Anggota Kehormatan dari Order of Australia, penghargaan tertinggi dalam sistem penghargaan di Australia. Penghargaan ini dinobatkan oleh Bill Farmer, Duta Besar Australia untuk Indonesia, pada 26 Januari 2010.[9]