Samyeongdang (1544 - 1610;사명당;泗溟堂), dikenal juga dengan nama Pendeta Samyeong (사명대사;泗溟大師), Song-un (송운) atau Yujeong (유정) adalah seorang biksu yang hidup pada masa pemerintahan Dinasti Joseon di Korea.[1][2] Samyeong dikenal karena perlawanannya terhadap para penginvasi Jepang pada masa Perang Imjin pada tahun 1590-an. Setelah penyerbu dari Jepang mendarat di Korea pada tahun 1592, Samyeong ikut berperang secara gerilya.[3]
Kehidupan awal
Samyeong lahir di Miryang, provinsi Gyeongsang pada tahun 1544. Pada saat baru berumur 4 tahun, orang tuanya meninggal. Usia 13, ia pergi belajar ke Kuil Jikji di luar Kota Daegu untuk mendalami agama Buddha. Pada tahun 1561 ia lulus ujian nasional agama Buddha dan memutuskan menjadi biksu. Tahun 1575, pada usia 33, Samyeong sebenarnya diangkat menjadi biksu kepala Sekte Seon, tetapi menolak jabatan tersebut. Ia lebih memilih untuk tetap jadi biksu biasa dan menjalani hidup yang sederhana. Walau begitu, ia merupakan tokoh yang dihormati.
Perang melawan penyerbu Jepang
Dinasti Joseon di pertengahan abad ke-16 menunjukkan tanda-tanda keruntuhan. Berbagai masalah yang muncul antara lain konflik internal dalam pemerintahan serta meletusnya pemberontakan petani di daerah-daerah. Pemerintah yang sangat ketakutan menumpas perlawanan petani sehingga memakan banyak korban jiwa. Walau tidak terlibat dalam pemberontakan, kaum Buddhis termasuk yang paling didiskriminasi pada periode Joseon. Samyeongdang pernah ditangkap karena dianggap ikut serta namun akhirnya dibebaskan karena tak terbukti bersalah.
Di periode ini pula, pada tahun 1592, Jepang mulai menyerbu Semenanjung Korea dengan kekuatan 160.000 orang pasukan. Target utama Jepang yang dikepalai Toyotomi Hideyoshi adalah menginvasi Tiongkok (pada saat ini adalah periode Dinasti Ming). Invasi meluluhlantakkan Korea dalam serial Perang Tujuh Tahun. Kota Busan di selatan jatuh pada bulan April, ibu kota Hanseong ditaklukkan bulan Mei dan Pyeongyang pada bulan Juni. Samyeongdang membentuk pasukan yang terdiri dari biksu. Berperang secara gerilya, ia dan pasukannya berhasil menumpas musuh dari wilayah Daegu. Mulai tahun 1594, atas perintah Samyeong, 3 buah benteng telah didirikan untuk mengamankan wilayahnya. Samyeong dan pasukannya cukup berhasil di daratan seperti halnya Laksamana Yi Sun-sin yang juga menang dalam pertempuran di laut, sehingga sedikit demi sedikit pasukan musuh mundur sampai akhirnya menarik diri dari Korea tahun 1598.
Selain berperan sebagai pemimpin perang gerilya, ada kisah yang membeberkan bahwa tujuan Samyeong juga adalah untuk merebut kembali relik berupa gigi Buddha yang dicuri para penyerbu Jepang dari Kuil Geonbong, di kaki Gunung Geumgang.[3] Keberanian Samyeong membuatnya disegani komandan Jepang. Ia berhasil mencapai Sosaengpo, Ulsan, menemui komandan Kato Kiyomasa untuk meminta kembali relik sucinya, tetapi ditolak. Kato bertanya kepada Samyeong: "Katanya Joseon memiliki banyak harta karun, apa saja itu?" Samyeong menjawab: "Negara kami tidak punya harta apapun. Bagi kami, harta yang paling berharga adalah kepala anda. Dengan harga seperti itu di kepala anda, apa lagi harta yang paling berharga?".[1] Samyeong baru mendapatkan kembali relik Kuil Geonbong nanti setelah pulang sebagai utusan ke Jepang.
Utusan ke Jepang
Setelah perang berakhir, Joseon mengalami kerusakan parah. Banyak rakyat yang jadi korban tewas dan ataupun ditawan Jepang. Pada tahun 1602, Samyeong diangkat sebagai Gubernur Distrik. Pada tahun 1604, ia diutus Raja Seonjo ikut serta dalam rombongan Joseon Tongsinsa. Di Jepang, Samyeong mendapat kesempatan bertemu dengan Tokugawa Ieyasu.[3] Berkat usahanya berdialog dengan Tokugawa, Samyeong berhasil membebaskan sebanyak 3500 orang tawanan perang.[3]
Akhir hayat
Beberapa tahun setelah pulang dari Jepang, Samyeong jatuh sakit. Pada tahun 1610, ia pindah ke Kuil Haein di Gunung Gaya. Kesehatannya tidak membaik dan meninggal di sana pada tahun yang sama.
Warisan
Berbagai peninggalan Samyeong masih berdiri dengan baik, antara lain ketiga benteng di wilayah Daegu, yakni Benteng Palgong, Benteng Yonggi dan Benteng Gumo.
Pada tahun 1742, generasi ke-5 keturunan Samyeong membuat sebuah prasasti yang menuliskan jasa-jasa dan prestasi Samyeong. Prasasti ini diletakkan di Kuil Pyochung, Miryang dan dinamakan Pyochungbi. Prasasti ini diketahui dapat "menangis" yang konon merupakan ramalan akan terjadinya peristiwa buruk pada masa depan. Pyochungbi mengeluarkan air beberapa saat sebelum peristiwa Revolusi Donghak, Pergerakan 1 Maret dan Perang Korea.