Robot seks atau sexbot adalah boneka seksrobotantropomorfik hipotetikal.[1] Hingga 2017[update], meskipun tak ada robot seks yang sepenuhnya berfungsi, teknologi semacam itu diyakini memungkinkan pada masa mendatang, dan terdapat kontroversi tentang apakah pengembangannya akan sejalan dengan moralitas.
Prediksi
Pada Juni 2006, Henrik Christensen dari European Robotics Research Network berkata kepada Sunday Times bahwa "orang dapat berhubungan intim dengan robot dalam lima tahun."[2]
Pada 2014, David Levy, juara catur dan pengarang Love and Sex with Robots[1] berkata dalam sebuah wawancara dengan Newsweek bahwa "Aku percaya bahwa mencintai robot seks akan menjadi perwujudan besar dalam masyarakat ... Terdapat jutaan orang yang, untuk satu alasan atau lainnya, tak bisa menjalin hubungan baik."[3] He estimates that this will take place by the mid-21st century.[3]
Upaya realisasi
Terdapat upaya terkini untuk membuat boneka seks interaktif secara sosial. Pada 2010, sebuah boneka seks bernama Roxxxy yang memiliki kapasitas untuk memainkan suara rekaman saat didemonstrasikan di sebuah acara dagang.[4] Pada 2015, Matt McMullen, pembuat RealDoll menyatakan bahwa ia memutuskan untuk membuat boneka seks dengan kapasitas yang dipegang konversasi.[5]
Diskusi filsafat dan penentangan
Pada September 2015, Kathleen Richardson dari Universitas De Montfort dan Erik Billing dari Universitas Skövde membuat Kampanye Menentang Robot Seks, yang menyerukan pencekalan atas pembuatan robot seks antropomorfik.[6][7][8][9] Mereka beranggapan bahwa pengenalan alat semacam itu dapat mencederai ssoial, dan membahayakan wanita dan anak-anak.[7]
Pada September 2015, perusahaan Jepang SoftBank, pembuat robot Pepper, meliputkan sebuah pencekalant erhadap robot seks. Pemakai robot tersebut menyatakan: "Pemilik kebijakan haruslah tak menunjukan adegan seksual apapun atau perilaku asusila lainnya".[10][11]
Pada 2016, sebuah diskusi terhadap masalah tersebut diadakan di IFIP TC9 Human Choice & Computers Conference ke-12, berjudul "Technology and Intimacy: Choice or Coercion?" (Teknologi dan Intimasi: Pilihan atau Koersi?).[17][18]