Rex Sacrorum adalah salah satu jabatan keagamaan tertinggi di Roma Kuno yang secara harfiah berarti "Raja Upacara Keagamaan" atau "Raja Sakral". Jabatan ini diciptakan pada masa awal republik setelah penggulingan raja terakhir Roma, Lucius Tarquinius Superbus, pada tahun 509 SM. Rex Sacrorum bertugas untuk melaksanakan berbagai ritus dan upacara keagamaan yang sebelumnya diemban oleh raja-raja Roma, tetapi tanpa kekuasaan politik yang menyertainya. Meskipun dianggap sebagai jabatan sakral, posisi ini memiliki batasan dalam hal kekuasaan politik dan militer, berbeda dari kekuasaan yang dimiliki raja-raja sebelumnya.
Sejarah
Setelah penggulingan monarki di Roma dan didirikannya Republik Romawi, posisi Rex Sacrorum diperkenalkan untuk menjaga kesinambungan ritus keagamaan yang sebelumnya dilakukan oleh raja. Pendirian jabatan ini bertujuan untuk memisahkan otoritas keagamaan dari kekuasaan politik. Hal ini mencerminkan keinginan para pendiri republik untuk menghindari kebangkitan seorang penguasa tunggal yang memiliki kekuasaan absolut, seperti yang dimiliki para raja selama periode monarki.
Pada awalnya, Rex Sacrorum adalah tokoh yang sangat dihormati karena hubungan langsungnya dengan dewa-dewa Romawi melalui tugas-tugas keagamaan. Namun, peran ini mulai mengalami penurunan dalam prestise dan relevansi seiring dengan berkembangnya struktur keagamaan Roma dan peningkatan kekuasaan para Pontifex Maximus (imam tertinggi). Kendati demikian, jabatan ini terus ada sepanjang periode republik hingga kekaisaran.
Fungsi dan Tugas
Sebagai pemegang jabatan keagamaan tertinggi, Rex Sacrorum bertanggung jawab untuk melaksanakan berbagai upacara yang penting bagi kesejahteraan spiritual negara. Salah satu tugas utamanya adalah mempersembahkan korban tahunan pada tanggal 24 Maret untuk menghormati Jupiter, dewa utama bangsa Romawi. Rex Sacrorum juga bertugas mengawali setiap bulan dengan mengumumkan hari-hari keberuntungan (dies fasti) dan hari-hari terlarang (dies nefasti), yang menentukan kapan kegiatan publik dapat berlangsung atau harus dihentikan untuk menghormati para dewa.
Di antara ritus lainnya, Rex Sacrorum juga melakukan sacra publica, yaitu ritual-ritual publik yang dilakukan untuk kesejahteraan negara. Dia juga bertanggung jawab dalam memimpin feriae Latinae, festival keagamaan yang diadakan di Mons Albanus (Gunung Alban) untuk merayakan persekutuan Latin dan menghormati dewa Jupiter Latiaris.
Tugas-tugas keagamaan Rex Sacrorum bersifat tetap dan tidak dapat dilaksanakan oleh pejabat keagamaan lainnya. Oleh karena itu, ia tidak diperbolehkan meninggalkan kota Roma untuk waktu yang lama, dan perannya dianggap sangat penting bagi kestabilan keagamaan bangsa Romawi.
Pembatasan Politik
Meskipun jabatan Rex Sacrorum merupakan posisi yang sangat terhormat, pemegangnya dilarang terlibat dalam kegiatan politik atau militer. Hal ini bertujuan untuk memisahkan kekuasaan spiritual dari otoritas duniawi, yang sebelumnya bersatu dalam figur raja-raja Roma. Ketentuan ini membuat Rex Sacrorum berada dalam posisi yang unik, karena ia memegang jabatan yang lebih tinggi daripada pejabat negara manapun dalam hal status keagamaan, tetapi tidak memiliki pengaruh politik nyata dalam pemerintahan republik atau kekaisaran.
Sebagai contoh, Rex Sacrorum dilarang menduduki jabatan politik lainnya seperti konsul, pretor, atau senator. Bahkan, ia tidak boleh berpartisipasi dalam urusan militer, yang merupakan tugas para pemimpin politik. Ketidakmampuannya untuk terlibat dalam kegiatan politik mencerminkan peran spiritual yang murni, dan menjadikannya sebagai simbol pemisahan kekuasaan antara agama dan negara di Roma Kuno.
Hubungan dengan Pontifex Maximus
Jabatan Rex Sacrorum sering kali dibandingkan dengan Pontifex Maximus, kepala para imam dalam sistem keagamaan Romawi. Meskipun secara teknis Rex Sacrorum memiliki kedudukan yang lebih tinggi dalam hal ritus keagamaan, pada kenyataannya, Pontifex Maximus memiliki pengaruh yang lebih besar dalam hal kekuasaan dan politik keagamaan. Pontifex Maximus bertanggung jawab atas administrasi kuil, mengatur kalender keagamaan, dan memiliki kontrol langsung atas banyak ritual dan upacara keagamaan lainnya. Dengan demikian, meskipun Rex Sacrorum dihormati, kekuasaannya secara bertahap berkurang seiring meningkatnya otoritas Pontifex Maximus.
Pengangkatan dan Kehidupan Pribadi
Rex Sacrorum dipilih oleh kolegium para imam (collegium pontificum) dan harus berasal dari kalangan patrician (bangsawan Romawi). Pengangkatan ini membutuhkan persetujuan Pontifex Maximus dan diawasi secara ketat untuk memastikan bahwa calon yang terpilih memenuhi semua kualifikasi religius yang diperlukan.
Selain itu, Rex Sacrorum harus menikah dengan seorang Regina Sacrorum yang juga memiliki peran dalam upacara keagamaan tertentu, seperti mempersembahkan kurban kepada dewa-dewi. Pernikahan ini tidak boleh diputuskan oleh perceraian, karena dianggap melanggar kewajiban religius yang terkait dengan jabatan mereka. Apabila istri dari Rex Sacrorum meninggal dunia, maka ia harus mengundurkan diri dari jabatannya, karena dianggap tidak dapat melaksanakan tugas keagamaannya secara penuh tanpa kehadiran seorang istri.
Akhir Jabatan
Meskipun jabatan Rex Sacrorum terus ada sepanjang sejarah Romawi, baik pada masa Republik maupun Kekaisaran, signifikansi jabatan ini mulai berkurang pada masa Kekaisaran. Para kaisar Romawi sendiri menjadi figur utama dalam ritus-ritus keagamaan, menggeser otoritas yang sebelumnya dimiliki oleh para pemegang jabatan keagamaan lainnya. Pada abad-abad terakhir Kekaisaran Romawi, jabatan ini secara perlahan kehilangan maknanya, dan informasi tentang Rex Sacrorum pada periode kemudian semakin sulit ditemukan.
Pengaruh dalam Budaya Romawi
Meskipun Rex Sacrorum tidak memegang kekuasaan politik, posisinya tetap memiliki makna simbolis yang kuat dalam menjaga kesinambungan tradisi keagamaan kuno Roma. Tugas-tugasnya mencerminkan pentingnya agama dalam kehidupan publik dan pemerintahan Romawi, serta memperlihatkan pemisahan yang jelas antara otoritas keagamaan dan kekuasaan politik. Upacara-upacara yang dilaksanakan oleh Rex Sacrorum menjadi pengingat bagi rakyat Roma akan warisan religius mereka, serta memperkokoh legitimasi negara melalui hubungan sakral dengan dewa-dewa.