Artikel ini memberikan informasi dasar tentang topik kesehatan. Informasi dalam artikel ini hanya boleh digunakan untuk penjelasan ilmiah; bukan untuk diagnosis diri dan tidak dapat menggantikan diagnosis medis. Wikipedia tidak memberikan konsultasi medis. Jika Anda perlu bantuan atau hendak berobat, berkonsultasilah dengan tenaga kesehatan profesional.
Retensi plasenta, atau retensi sekundinarum atau retensi skundinae merupakan suatu kegagalan pelepasan plasenta fetalis (vilikotiledon) dan plasenta induk (kripta karunkula) lebih lama dari 8 hingga 12 jam setelah melahirkan. Retensi plasenta dapat terjadi pada mamalia, misalnya sapi. Terdapat tiga tahapan melahirkan normal pada sapi yaitu pelebaran leher rahim (serviks) selama 2-6 jam, pengeluaran fetus setengah sampai satu jam dan pengeluaran plasenta 4-5 jam. Secara normal plasenta pada hewan ternak akan keluar 6-8 jam sesudah melahirkan.[1] Pada manusia, retensi plasenta adalah terlambatnya kelahiran plasenta selama 30 menit sesudah kelahiran bayi [2]
Faktor Penyebab
Penyebab retensi plasenta sangat kompleks. Beberapa penyebab retensi plasenta yaitu infeksi yang menyebabkan rahim lemah untuk berkontraksi, dan induk kurang gerak sehingga otot rahim tidak kuat untuk berkontraksi.[3] Retensi plasenta pada ternak dapat terjadi pada kasus abortus setelah bulan ke lima, kesulitan melahirkan, rahim terputar, rahim berisi cairan, kekurangan kalsium, ketuaan, eksitasi waktu melahirkan, kelahiran yang dipaksakan, kegemukan dan defisiensivitamin A, E dan selenium.[4]
Sesudah fetus keluar dan tali pusar putus, tidak ada darah yang mengalir ke vili fetus dan vili tersebut mengkerut dan mengendor. Rahim terus berkontraksi dan sejumlah besar darah yang tadinya mengalir ke rahim sangat berkurang. Karankula maternal mengecil karena suplai darah berkurang dan kripta pada karankula berdilatasi. Pada retensi plasenta, pemisahan dan pelepasan vili fetus dari kripta karankula maternal terganggu dan terjadi pertautan. Pada plasenta yang sudah terlepas, proses pelepasan disebabkan oleh autolisa vili kronis. Sesudah beberapa hari terdapat leukosit di dalam plasentom, oleh karena itu radang plasenta mudah terjadi [5]
Gejala
Gejala retensi plasenta yang dapat terlihat yaitu selaput fetus menggantung keluar dari vulva, kadang bibir vulva menjadi bengkak, merah dan kecoklatan. Retensi plasenta tidak selamanya menunjukkan gejala selaput fetus yang menggantung di luar vulva, akan tetapi dapat pula tersembunyi di dalam uterus. Pada kasus yang baru, hewan masih mampu untuk berdiri dan kondisi umum masih baik. Bila kasus terjadinya sudah berlangsung lama dimana sudah ada infeksi maka kondisi umum akan terganggu dan ada bau spesifik karena pembusukan, keluar cairan kecoklatan disertai bagian plasenta yang hancur.
Pelepasan manual terhadap membran fetus yang mengalami retensi sebaiknya diusahakan 72 jam setelah kelahiran. Jika plasenta tidak dapat dipisahkan dalam 10 menit, pelepasan manual harus dihentikan untuk menghindari kerusakan. Kasusnya dilihat lagi dalam 48 jam. Jika upaya kedua gagal, upaya lain dilakukan 48-72 jam kemudian. Setelah pengambilan plasenta disarankan untuk memberikan antibiotik dalam rahim. Pelepasan kotiledon dan karunkula ini harus dilakukan oleh orang yang profesional karena berisiko terjadinya perdarahan dan infeksi. Beberapa ahli berpendapat bahwa pelepasan plasenta secara manual ini tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan infeksi.
Penanganan lain yang juga dapat dilakukan yaitu pemotongan plasenta yang menggantung, sedangkan sisanya dibiarkan tertinggal di dalam uterus kemudian dimasukkan antibiotik dalam rahim dengan harapan sisa plasenta yang tertinggal dalam rahim akan dihancurkan oleh tubuh induk dan dikeluarkan bersama dengan lokia.
Pencegahan retensi plasenta dapat dilakukan dengan cara menjaga kebersihan tempat melahirkan, menjaga kondisi induk agar tidak terjadi eksitasi saat melahirkan, induk hendaknya tidak mengalami kegemukan, memberikan vitamin A selama masa partus, penyuntikan dengan hormon okstosin 0-4 jam sebelum partus, menggunakan alas kandang agar tidak terlalu halus dan berdebu dan menjaga keseimbangan ransum terutama ransum dengan komposisi kalsium dan fosfor yang berimbang [7]
^ abRatnawati D, Pratiwi WC, Affandhy L (2007). Petunjuk Teknis Penanganan Gangguan Reproduksi Pada Sapi Potong(PDF) (dalam bahasa Indonesia). Pasuruan: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Diarsipkan dari versi asli(PDF) tanggal 2012-09-11. Diakses tanggal 2010-04-10.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link) Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
^Subronto dan Tjahajati I. 2001. Ilmu Penyakit Ternak. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
^(Indonesia) Manan D. 2002. Ilmu Kebidanan pada Ternak. Jakarta: Proyek Peningkatan Penelitian Perguruan Tinggi. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan Nasional.
^Jackson PGG. 2004. Handbook of Veterinary Obstetric. Elsevier: Saunders.
^Subronto dan Tjahajati I. 2004. Ilmu Penyakit Ternak 2. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.