Regulasi rekayasa genetik sangat bervariasi di setiap negara. Negara-negara seperti Amerika Serikat, Kanada, Lebanon dan Mesir menggunakan kesetaraan substansial sebagai titik awal ketika menilai keamanan, sementara banyak negara seperti di Uni Eropa, Brasil dan Tiongkok mengotorisasi penanaman transgenik pada kasus per kasus. Banyak negara mengizinkan impor makanan rekayasa genetik (RG) dengan izin, tetapi tidak mengizinkan budidaya (Rusia, Norwegia, Israel) atau memiliki ketentuan untuk budidaya, tetapi belum ada produk RG yang diproduksi (Jepang, Korea Selatan). Sebagian besar negara yang tidak mengizinkan budidaya rekayasa genetik organisme (RGO) melakukan penelitian izin.[2]
Sebagian besar (85%) tanaman transgenik dunia ditanam di Amerika (Utara dan Selatan).[1] Salah satu masalah utama mengenai regulator adalah apakah produk RG harus diberi label. Pelabelan produk transgenik di pasar diperlukan di 64 negara.[3] Pelabelan dapat diwajibkan hingga ambang batas tingkat konten RG (yang bervariasi antara negara) atau sukarela. Sebuah penelitian yang menyelidiki pelabelan sukarela di Afrika Selatan menemukan bahwa 31% dari produk yang dilabeli sebagai bebas RGO memiliki kandungan RG di atas 1,0%.[4] Di Kanada dan AS label makanan RG bersifat sukarela,[5] sementara di Eropa semua makanan (termasuk makanan olahan) atau pakan yang mengandung lebih dari 0,9% dari RGO yang disetujui harus diberi label.[6]
^Botha GM, Viljoen CD (2009). "South Africa: A case study for voluntary GM labelling". Food Chemistry. 112 (4): 1060–64. doi:10.1016/j.foodchem.2008.06.050.