Radio Antar Penduduk IndonesiaRadio Antar Penduduk Indonesia (RAPI) didirikan pada tahun 1980 melalui Surat Keputusan Menteri Perhubungan Nomor SI 11/HK 501/Phb – 80, tentang Perizinan Penyelenggaraan Komunikasi Radio Antar Penduduk Indonesia. Sampai 1993, RAPI mempunyai logo bertuliskan KRAP (Komunikasi Radio Antar Penduduk), yang hanya diizinkan mengudara pada frekuensi 11 meter band yang mengadopsi suatu sistem komunikasi radio yang nama aslinya citizen band (CB) seperti diberlakukan di Amerika Serikat sejak 1958. Namun, setelah keluarnya SK Dirjen Postel Nomor 92 tahun 1994 tentang penyelenggaraan KRAP, RAPI diizinkan bekerja pada 2 meter band, dengan logo bertulisan RAPI yang masih berlaku hingga sekarang.[1] Di Indonesia, RAPI telah begitu memasyarakat, sehingga beberapa instansi secara resmi aktif ikut terjun di dalamnya, di antaranya kepolisian, SAR, pemadam kebakaran dan BNPB. Instansi-instansi ini selalu memonitor melalui jalur 9 yang disebut “jalur gawat darurat”, apabila tersiar berita yang sifatnya meminta bantuan, maka instansi yang bersangkutan siap membantunya.
Medan - Organisasi Radio Antar Penduduk Indonesia (RAPI) di Sumatera Utara bahkan di seluruh Indonesia tengah menjadi sorotan tajam. Pasalnya, sejumlah tudingan muncul bahwa organisasi ini diduga tidak pernah menjalankan aturan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 17 Tahun 2018. Lebih jauh lagi, RAPI disebut kebal terhadap aturan pemerintah, memicu keresahan di kalangan masyarakat pecinta komunikasi radio. Menurut sumber dari anggota internal RAPI, organisasi tersebut bahkan memonopoli pengelolaan komunitas dan kegiatan radio. Disebutkan, untuk membuat komunitas radio, seseorang harus melapor dan meminta izin langsung kepada RAPI, bukan kepada pemerintah, sebagaimana seharusnya. Bahkan, sumber itu menyebut RAPI secara sepihak mengeluarkan izin penggunaan frekuensi, meskipun secara hukum tidak ada peraturan yang memberikan kewenangan tersebut kepada organisasi tersebut. "Kita harus lapor ke mereka dulu kalau mau buat kegiatan radio atau komunitas, bahkan izin frekuensi mereka yang keluarkan. Padahal, tidak ada undang-undang yang mengatur itu. Harusnya frekuensi kan urusan pemerintah," ungkap sumber yang enggan disebutkan namanya. Tudingan lainnya juga diarahkan pada manajemen internal organisasi. Proses pengangkatan pengurus dikabarkan tidak transparan dan cenderung otoriter, hanya berdasarkan penunjukan sepihak tanpa melibatkan anggota. Selain itu, proses pendaftaran anggota baru dianggap terlalu rumit dan tidak etis, karena calon anggota diwajibkan untuk menemui ketua lokal hingga tingkat wilayah. "Untuk jadi anggota RAPI, kita wajib ketemu langsung ketua lokal dan wilayah. Sangat tidak etis, bertele-tele, dan menyulitkan. Seharusnya ada sistem yang lebih sederhana," tambah sumber tersebut. Kritik terhadap RAPI juga mencakup manajemen organisasi yang dinilai amburadul. Ketidakmampuan dalam mengelola organisasi dengan baik memperburuk citra RAPI di mata masyarakat. Hingga berita ini diterbitkan, pihak RAPI belum memberikan tanggapan resmi terkait tudingan tersebut. Namun, jika tudingan ini benar, hal ini bisa menjadi preseden buruk bagi organisasi yang selama ini dikenal sebagai salah satu wadah komunikasi radio terbesar di Indonesia. Pemerintah diharapkan segera turun tangan untuk mengklarifikasi dan menegakkan aturan yang berlaku.
Pengabaian terhadap peraturan pemerintah, jika terbukti, adalah pelanggaran serius yang harus ditindak tegas. Pengamat komunikasi meminta Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk segera menginvestigasi masalah ini dan memastikan tidak ada organisasi yang kebal hukum, termasuk RAPI. Berita ini diharapkan menjadi perhatian seluruh pihak terkait, baik pemerintah, masyarakat, maupun anggota RAPI sendiri, agar organisasi ini bisa kembali menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan peraturan yang berlaku. Era KRAPSekitar tahun 1975 merupakan awal tumbuhnya pemakaian KRAP untuk komunikasi yang bersifat hobi. Pemilik KRAP yang selalu saling berhubungan dengan sesama pengguna, akhirnya tumbuh rasa kebersamaan serta membentuk kelompok-kelompok sehaluan. Tumbuhnya pemakaian KRAP semula hanya terbatas di kota-kota besar saja, seperti Jakarta, Bandung, dan Medan. Namun, dalam beberapa tahun saja telah menyebar ke kota-kota kecil dan muncul beberapa kelompok yang belum secara resmi menjadi organisasi. Dapat dikatakan, pemakaian perangkat KRAP sampai akhir 1980 merupakan pelanggaran, karena belum ada satu aturan pun yang mengesahkannya. Selain untuk komunikasi antarpenduduk, KRAP juga berguna untuk menunjang pelaksanaan pembangunan gedung-gedung semisal pemberi komando bagi para pekerja dan banyak dimanfaatkan untuk keperluan olahraga, dan sebagainya. Hanya beberapa Negara tertentu saja yang mengizinkan penggunaan KRAP. Seperti di Amerika Serikat, Indonesia juga memberlakukan frekuensi 26,965 MHz sampai 27,405 MHz. Frekuensi ini dibagi menjadi 40 aluran (channel). Alur 9 telah diatur untuk menyampaikan berita gawat darurat yang menyangkut keamanan negara, ketertiban umum, keselamatan jiwa dan harta benda. Sekalipun sama-sama menggunakan gelombang radio, KRAP berbeda dengan Radio Amatir. Masing-masing dibatasi dalam penggunaan gelombang radio yang telah dijatahkan dalam penggunaannya. Dalam rangka pelaksanaan keputusan Menteri Perhubungan Nomor SI,11/HK 501/Phb – 80, akhirnya didirikanlah suatu organisasi yaitu Organisasi Radio Antar Penduduk yang bertugas antara lain membantu pemerintah dalam pengawasan dan pembinaan terhadap para penyelenggara komunikasi Radio Antar Penduduk. Terbentuknya RAPIUntuk keperluan pembinaan, pengelolaan dan pengendalian organisasi tersebut kemudian ditetapkan susunan pengurus pusat organisasi tersebut. Oleh karena itu Direktur Jenderal Pos dan telekomunikasi pada tanggal 31 Oktober 1980 dengan suratnya Nomor 6356/OT.002/Ditfrek/80 menunjuk kelompok formatur, yaitu Soedarto, Eddie M Nalapraya, Soetikno Buchari, A. Protomo Bc. T.T, dan Lukman Arifin SH. yang bertugas menyusun Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga dari Organisasi KRAP di tingkat Pusat, menyusun Pengurus Pusat dari Organisasi KRAP. Setelah dilakukan musyawarah dan dengan berbagai pertimbangan, akhirnya terbentuklah susunan keanggotaan kepengurusan Pusat Organisasi Radio Antar Penduduk Indonesia (RAPI) yang mempunyai masa kerja selama dua tahun. Dengan berdirinya RAPI sebagai satu-satunya organisasi bagi para penyelenggara Komunikasi Radio Antar Penduduk, maka KRAP tidak berlaku lagi. RAPI disahkan melalui Keputusan Dirjen Postel No.125/Dirjen/1980. Lihat pulaReferensi
|