Quanzhou pernah menjadi kota pelabuhan terbesar di dunia.[4] Pada zaman keemasannya pada zaman Dinasti Song dan Dinasti Yuan, Quanzhou merupakan pelabuhan yang melayani jalur perdagangan antara Tiongkok dengan berbagai negara di dunia.[2] Ia merupakan salah satu pelabuhan "Jalur Sutra Maritim".
Nama dan julukan
Dalam dokumen lama berbahasa Bahasa Inggris, namanya ditulis pula Chinchew, Chinchu, atau Chüan-chow.[1] Pada masa Tang Selatan, Quanzhou dinamakan juga Wenling.[5] Bangsa Arab mengenalnya sebagai Zayton, Zaytun atau Zaitun (زيتون)[3] yang berasal dari kata Citong.[6] Quanzhou pada masa lalu disebut Kota Citong (刺桐城), dari nama tanaman ci-tong (Erythrina herbacea) yang banyak ditanam di kota itu.[2] Dari kata Zayton/Zaytun inilah asal mula nama satin, sejenis kain tenun sutra bermutu tinggi yang diproduksi oleh Tiongkok. Marco Polo menyebut Quanzhou "Zaitan". Selain itu, karena bentuk kota menyerupai ikan mas, maka kota ini dijuluki "Kota Ikan Mas".[2][7]
Penduduk asli sebelum datangnya Bangsa Han ke Fujian adalah Bangsa Minyue.[2] Sepanjang sejarahnya, berbagai pemerintahan daerah silih berganti berdiri di wilayah Quanzhou. Kota ini sering berganti nama menurut dinasti-dinasti yang memerintah Tiongkok. Paling awal, setelah unifikasi Tiongkok oleh Dinasti Qin, sebuah prefektur didirikan di wilayah Quanzhou yang sekarang.[2] Daerah Fujian pada awalnya adalah sebuah daerah liar yang jauh dari pusat pemerintahan Tiongkok. Pada tahun 618 masa pemerintahan Dinasti Chen Selatan (557-589), sebuah prefektur didirikan di sebelah utara lembah Sungai Xi (sekarang di Kabupaten Nan'an), tetapi tercatat masih sejumlah kecil permukiman.[1]
Pada tahun 700 kota Wurongzhou didirikan, tetapi nama Quanzhou baru diberikan secara resmi pada tahun 711, tahun ke-2 masa pemerintahan Jingyun dari Dinasti Tang.[1][2] Pusat pemerintahan Quanzhou terbentuk pada tahun 718 bernama Jinjiang.[1] Pada periode Tang inilah, Quanzhou mulai berkembang menjadi kota pelabuhan besar sekaligus pusat perdagangan dengan bangsa asing di Tiongkok, disamping Kanton. Dari abad ke-10, Quanzhou terus berkembang menjadi pusat perdagangan, mulai dari periode kekuasaan Kerajaan Min (909-960) hingga zaman Song (960-1279). Pelabuhan Kanton lama kelamaan mulai ditinggalkan oleh para pedagang asing karena masalah korupsi dan perang, kemudian pada akhirnya mereka mulai beralih ke pelabuhan Quanzhou yang lebih stabil. Selain itu pusat produksi kain sutra Tiongkok di Hangzhou semasa era Song Selatan, terletak tak begitu jauh dari Quanzhou. Pada periode Song, tercatat 50 negara yang berdagang dengan Tiongkok.[8] Namun, Quanzhou mencapai zaman keemasannya pada zaman Dinasti Yuan, kira-kira pada abad ke-13. Saat itu hubungan dagang dengan asing telah meningkat menjadi 98 negara.[8] Quanzhou berpenduduk 500.000 jiwa yang terdiri atas berbagai macam suku bangsa.[3] Banyak Orang Persia dan Arab yang tinggal di Quanzhou, bahkan memiliki tentara mereka sendiri.[6] Ratusan kapal besar dan kecil berlabuh di pelabuhannya. Marco Polo berlayar dari Quanzhou untuk kembali ke negerinya menuliskan bahwa Quanzhou dapat disamakan dengan Iskandariah sebagai salah satu kota pelabuhan terbesar di dunia pada saat itu.[3][8]
Terjadi pemberontakan terhadap pemerintahan Mongol pada akhir abad ke-13 yang menyebabkan mulai mundurnya perdagangan.[6] Quanzhou ditingkatkan statusnya menjadi Prefektur Quanzhou dari periode Dinasti Ming (1368–1644) hingga Qing (1644–1911/12).[1] Namun, pada awal abad ke-15, pengaruh Quanzhou mulai menurun seiring adanya larangan dari Ming untuk berdagang dengan negara lain (haijin) disamping maraknya serangan bajak laut Jepang. Hubungan dagang secara diam-diam dialihkan ke Pelabuhan Yuegang di Zhangzhou.[9] Masalah lainnya adalah pelabuhan Quanzhou perlahan-lahan mengalami pendangkalan. Pada abad ke-17, kota-kota di sekitar seperti Fuzhou dan Xiamen mulai tumbuh pesat dan menyainginya sebagai kota dagang. Kelesuan ekonomi memaksa orang untuk mencari penghidupan dimana-mana.[10] Akibatnya, banyak orang-orang Quanzhou yang pindah ke Taiwan dan Asia Tenggara.[10]
Pada tahun 1911, di bawah kekuasaan Republik Tiongkok, status prefektur diganti lagi dengan nama lama Jinjiang menjadi Kabupaten Jinjiang. Pada tahun 1951, Quanzhou diresmikan sebagai kota, seluruh Kabupaten Jinjiang dimerger ke dalamnya. Administrasi Kabupaten Jinjiang dipindahkan ke sebelah selatan Sungai Pujiang, setelah itu dinamakan kembali menjadi Kota Jinjiang, masih di dalam wilayah Quanzhou.[1]
Geografi
Quanzhou merupakan kota setingkat prefektur di sebelah tenggara Fujian, di antara kota Xiamen dan Putian.[11]
Quanzhou memiliki iklim subtropis. Suhu udara rata-rata 20 °C dan curah hujan mencapai 1.100 mm.
Berbatasan dengan Selat Taiwan, panjang garis pantai 541 km, dengan empat teluk. Kota ini berbatasan dengan kota-kota setingkat prefektur lainnya kecuali (Ningde dan Nanping) dan berhadapan dengan Selat Taiwan.
Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok mengklaim bahwa Kabupaten Jinmen — lebih dikenal dengan nama Quemoy — sebagai bagian dari Quanzhou, tetapi wilayah tersebut sekarang ini berada di bawah yurisdiksi Taiwan.
Quanzhou adalah kota budaya dan bahasa masyarakat Minnan, dan juga salah satu sumber Tionghoa perantauan. Bahasa Minnan dialek Quanzhou adalah salah satu bahasa Tionghoa yang banyak digunakan di Asia Tenggara dan Taiwan.
Pada masa lalu, perannya sebagai kota dagang internasional menyebabkan banyak orang asing yang tinggal di Quanzhou, bahkan kawin campur dengan orang Tionghoa.[2][3] Kota ini adalah "melting pot" terbesar di Asia pada masa jayanya. Orang-orang dari berbagai bangsa membangun tempat peribadatan agama dan pemakaman khusus untuk mereka. Berbagai peninggalan budaya Tionghoa dan bangsa asing hingga kini masih dapat dijumpai di Quanzhou antara lain kuil Buddha, Tao, Hindu, Nestoria, Manniis, Yahudi, Katolik, dan Islam.[10] Sebagian kuil tua Quanzhou merupakan peninggalan Dinasti Song. Kuil Taois dan Buddhis penting antara lain Kuil Guandi dan Kuil Kaiyuan. Kuil ManiismeCao An didirikan di sini sejak periode Yuan. Masjid Qingjing merupakan satu-satunya masjid di Tiongkok yang berdiri sejak zaman Song.[4]
Jalur Sutra Maritim dan tradisi lokal membentuk model ekonomi yang berbasis perusahaan keluarga skala kecil.[12] Tidak seperti banyak kota lain di Tiongkok, sebagian besar perusahaan dan pabrik di Quanzhou bukanlah joint venture atau perusahaan umum, tetapi perusahaan swasta yang bergantung pada hubungan keluarga.[12]
Ekonomi Quanzhou kini didukung oleh industri tekstil dan pakaian, bahan bangunan, makanan, kerajinan tangan dan permesinan. Tekstil dan pakaian adalah industri utama.[11] Industri baru antara lain petrokimia, elektronik, mobil, autopart, kapal dan obat-obatan.[11]
Administrasi
Kota setingkat Prefektur Quanzhou mengepalai 4 distrik, 3 kotamadya dan 5 kabupaten.