Putusan sela


Menurut Pasal 185 ayat (1) HIR atau Pasal 48 RV, putusan sela adalah putusan yang diambil atau dijatuhkan hakim dan bukan putusan akhir atau eind vonnis, yang dijatuhkan pada saat proses pemeriksaan berlangsung. Terkait ini, putusan tersebut tidak berdiri sendiri melainkan merupakan satu kesatuan dengan putusan akhir mengenai pokok perkara. Sehingga hakim sebelum menjatuhkan putusan akhir dapat mengambil putusan sela baik putusan tersebut berbentuk putusan preparatoir atau interlocutoir.[1]

Dalam isi putusan sela di mana berisi perintah harus dilakukan para pihak berperkara terkait mempermudah hakim menyelesaikan pemeriksaan perkara, sebelum dia menjatuhkan putusan akhir.[2]

Jenis

Dalam Putusan Sela terdapat beberapa jenis di antaranya sebagai berikut:[1]

Putusan preparatoir

Putusan preparatoir adalah proses pemeriksaan berjalan dan langsung sesuai kebijakan dengan memperhitungkan tenggang pemunduran persidangan oleh hakim di mana tanpa lebih dahulu ditentukan tahap-tahapnya pada suatu putusan sela. Tujuan putusan preparatoir berupa persiapan jalannya pemeriksaan.

Putusan interlocutoir

Menurut pendapat Soepomo[2] di mana seringkali dalam Pengadilan Negeri dalam menjatuhkan putusan Interlocutoir pada saat pemeriksaan tengah berlangsung. Putusan ini adalah bentuk khusus putusan sela dengan berisi bermacam-macam perintah sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai hakim.

Putusan insidentil

Putusan Insidentil adalah putusan sela dalam kaitan langsung dengan gugatan insidentil atau berkaitan dengan penyitaan dengan membebankan pemberian uang jaminan dari pemohon sita, agar sita dapat dilaksanakan, di mana disebut dengan coutio judicatum solvi.

Terdapat dua bentuk Putusan Insidentil di antaranya:

  1. Putusan Insidentil dalam gugatan intervensi
  2. Putusan insidentil dalam pemberian jaminan atas pelaksanaan sita jaminan.

Putusan provisi

Putusan Provisi diatur pada Pasal 180 HIR, Pasal 191 RBG, yaitu keputusan bersifat sementara dengan berisi tindakan sementara menunggu sampai putusan akhir mengenai pokok perkara yang dijatuhkan. Sehingga Putusan Provisi tidak diperbolehkan mengenai pokok perkara yang dijatuhkan melainkan hanya terbatas terkait tindakan sementara berupa larangan melanjutkan suatu kegiatan.

Referensi

  1. ^ a b Harahap, M.Yahya. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika. 
  2. ^ a b Soepomo, R. (1993). Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri. Jakarta: Pradnya Paramita.