Putri Pingyang (Hanzi: 平阳公主, ?-623) atau Putri Zhao dari Pingyang (平阳昭公主) adalah putri Li Yuan, sang pendiri Dinasti Tang. Ia adalah salah seorang pahlawan wanita pada awal Dinasti Tang, bersama Pasukan Putri yang dipimpinnya ia membantu ayahnya mempersatukan negara dan menaklukan satu demi satu pemberontak pada Masa Transisi Sui-Tang serta pendudukan ibu kota Sui, Chang’an (sekarang Xi'an, Shaanxi).
Latar belakang
Putri Pingyang adalah putri ke-3 Li Yuan, Adipati Tang, dari hubungannya dengan Nyonya Dou, nama aslinya hingga kini belum diketahui. Ia masih memiliki dua saudari tiri dari selir ayahnya, sedangkan dari ibu yang sama ia memiliki empat saudara laki-laki yaitu, Li Jiancheng, Li Shimin, Li Xuanba, dan Li Yuanji. Dalam usia muda, ayahnya menikahkannya dengan Chai Shao, putra Chai Shen, Adipati Julu.
Andil dalam berdirinya Dinasti Tang
Tahun 617, Li Yuan, yang saat itu menjabat sebagai komandan militer Taiyuan, menyusun rencana pemberontakan melawan Kaisar Yang dari Sui yang tiran. Ia mengirim surat pada Putri Pingyang dan suaminya yang saat itu berada di ibu kota Chang’an untuk memanggil mereka ke Taiyuan. Suaminya khawatir mereka tidak dapat melarikan diri dengan mudah. Setelah berdiskusi dengan istrinya, sang putri menyuruhnya pergi lebih dulu dengan alasan sebagai wanita ia lebih mudah bersembunyi. Maka, Chai pun secara diam-diam melarikan diri dari ibu kota, di jalan ia bertemu dengan kedua iparnya, Li Jiancheng dan Li Yuanji, yang juga menerima surat yang sama dari ayah mereka, keduanya baru melarikan diri dari Hedong (sekarang Yuncheng, Shanxi). Mereka pun bersama menuju Taiyuan menghadap Li Yuan.
Sementara itu, Putri Pingyang tidak hanya diam menunggu. Di tempat persembunyiannya di pinggiran Kota Chang’an ia membagi-bagikan harta keluarga pada ratusan penduduk miskin disana untuk meraih dukungan mereka. Dalam waktu singkat sudah banyak orang yang bergabung dengannya untuk melawan pemerintah yang otoriter. Ia memerintahkan pembantunya, Ma Sanbao, membujuk pemimpin pemberontak lokal, He Panren, untuk bergabung dengannya. Setelah itu ia juga berhasil membujuk pemimpin pemberontak anti-Sui lain seperti Li Zhongwen, Xiang Shanzhi, dan Qiu Shili. Kekuatannya semakin bertumbuh hingga mencapai 70.000 orang. Putri Pingyang memimpin pasukannya menyerbu wilayah sekitarnya dan berhasil menduduki beberapa kota strategis seperti Wugong, Shiping (sekarang wilayah tenggara Xingping, Shaanxi), Zhouzhi. Reputasinya semakin tersebar luas di wilayah Guanzhong (wilayah pinggiran ibu kota Chang’an). Sejarah mencatatnya sebagai seorang gadis yang memimpin 70.000 prajurit mengguncang Guanzhong. Rakyat menyambutnya sebagai pembebas dari pemerintah yang tiran, mereka selalu disambut baik di setiap daerah yang mereka duduki karena perlakuan baiknya terhadap penduduk dan musuh yang menyerah.
Pada akhir 617, Li Yuan menyeberangi Sungai Kuning menuju ke Chang’an, mula-mula ia mengutus Chai Shao untuk mengamankan daerah pinggiran sungai dengan menduduki Huayin, Shaanxi. Di sanalah Putri Pingyang bertemu kembali dengan suaminya setelah perpisahan selama beberapa bulan. Selanjutnya mereka bergabung dengan Li Shimin di utara Sungai Wei. Ia dan suaminya tinggal di kemah yang berbeda untuk mengomandani pasukan masing-masing yang saat itu diperintahkan mengepung Chang’an. Saat itulah pasukan yang dipimpinnya mulai dikenal dengan nama Pasukan Putri (娘子军). Tahun 618, menyusul pembunuhan terhadap Kaisar Yang, Li Yuan memaksa Kaisar Gong dari Sui (Yang You, cucu Kaisar Yang yang diangkat sebagai kaisar boneka olehnya) menyerahkan takhta padanya. Li Yuan mendeklarasikan berdirinya Dinasti Tang dan dirinya sebagai kaisar pertama dengan gelar Kaisar Tang Gaozu. Putri Pingyang dianugerahi gelar dan penghargaan atas jasa-jasanya, ia memperoleh penghormatan tertinggi di antara 18 saudara perempuannya yang lain.
Kematian
Sejarah tidak mencatat aktivitas Putri Pingyang setelah pendudukan Chang’an dan berdirinya Dinasti Tang. Ia meninggal pada tahun 623 ketika menjabat sebagai komandan penjaga salah satu terusan Tembok Besar di perbatasan Shanxi dan Hebei, saat itu usianya sekitar pertengahan 20an. Adapun penyebab kematiannya hingga kini belum jelas, namun diduga ia gugur dalam pertempuran melawan Tujue Timur (suku Turki pengembara) atau Liu Heita, salah satu pemimpin pemberontak. Ia dimakamkan dengan upacara pemakaman militer setingkat jenderal atas perintah ayahnya. Ketika beberapa pejabat dari kementerian urusan ritual menyatakan keberatan atas band pelepasan karena alasan pemakaman wanita tidak sepantasnya diiringi musik, Kaisar Gaozu menjawab, “Mereka akan memainkan musik militer, dulu sang putri sendiri pernah menabuh genderang perang dan memimpin pemberontakan atas nama kebenaran untuk membantu saya mendirikan dinasti ini, bagaimana mungkin ia bisa diperlakukan seperti wanita biasa?”
Dari suaminya, ia memiliki seorang putra, Chai Lingwu, yang di kemudian hari terlibat konspirasi yang gagal menggulingkan Kaisar Tang Gaozong (cucu Kaisar Gaozu) sehingga ia dan keluarganya dihukum mati. Terusan di Tembok Besar yang pernah dijaganya hingga kini terkenal dengan nama Terusan Putri (娘子关, Niangzi Guan).