Pulau Senua (Senoa) adalah pulau terluar Indonesia yang terletak di laut laut Cina Selatan yang berbatasan dengan negara Malaysia timur (Kalimantan Utara). Pulau Senua ini merupakan wilayah dari kabupaten Natuna, provinsi Kepulauan Riau. Pulau ini berada di sebelah timur dari pulau Natuna dengan koordinat 4° 0′ 48″ LU, 108° 25′ 4″ BT, dan dalam peta wikimapia dapat dilihat pada lokasi ini.
Senoa merupakan pulau kecil di Kabupaten Natuna, Kepri. Salah satu pulau terdepan Indonesia ini terletak di Laut China Selatan (sekarang disebut Laut Natuna Utara), yang berbatasan langsung dengan negeri jiran, yakni Malaysia bagian timur dan Vietnam.[1]
Dari Pantai Sepempang, Kecamatan Bunguran Timur, Kabupaten Natuna, perjalanan menggunakan kapal kayu menuju Pulau Senoa, mencapai sekitar lima mil laut. Selama pelayaran, pemandangan bawah laut dengan keindahan terumbu karang terlihat jelas dari permukaan laut yang biru jernih.
Bibir laut yang dikelilingi dengan bebatuan curam dengan puncak bukit menjulang menghiasi indahnya panorama sekeliling Pulau Senoa. Pemandangan Gunung Ranai, Batu Alif, dan Pantai Tanjung terlihat jelas. Pulau Senoa memiliki pesona keindahan alami dengan air laut yang jernih dan hamparan pantai pasir putih.
Pulau Senoa atau Senua ini memiliki ciri khas pinggir pantai yang berbatu. Bebatuan ini menambah keunikan dan keindahan Pantai Senoa.[2]
Konon beberapa waktu yang silam di Kepulauan Riau hiduplah sepasang suami istri, yang bernama Baitusen dan Mai Lamah. Pada suatu hari mereka pergi merantau ke Pulau Bunguran untuk mengadu nasib. Mereka tinggal di Bunguran bagian timur. Suatu daerah yang menyimpan banyak sekali kekayaan laut. Awalnya Baitusen bekerja sebagai nelayan penyelam pengumpul siput lolak (krang-kerangan yang kulitnya dibuat perhiasan) dan kelukuk kulai (siput mutiara). Hidup mereka pun rukun, akrab penuh persaudaraan dengan para tetangganya. “Panggil saja kami, baik siang maupun malam jika memerlukan bantuan. Kami pasti datang membantu kalian,” demikian pesan Mak Semah, salah seorang tetangganya kepada Mai Lamah istri Baitusen. Suatu hari Baitusen mendapat keberuntungan besar karena berhasil menangkap lubuk teripang yang banyak. Kemudian ia menjualnya pada Bandar dari Singapura dan adri Kwan Ting Cina dengan harga yang cukup mahal. Akhirnya kini Baitusen dan Mai Lamah menjadi nelayan yang kaya rasa. Banyak pata tauke dari negeri seberang berdatangan menjalin hubungan dagang dengan keluarga Baitusen. Maka tak mengherankan dalam waktu dua tahun saja pesisir timur Bunguran menjadi bandar yang ramai yang dikunjungi bermacam-macam tongkang-wangkang (perahu besar). Mai Lamah pun kini dipanggil nyonya May Lam oleh para tauke langganan suaminya. Gelar ini membuat Mai Lamah lupa diri. Lupa dengan asal-usulnya. Lupa pula dengan dirinya bekas seorang istri nelayan miskin. Ia kini tidak mau lagi bergaul dengan para tetangganya, istri dari para nelayan miskin. Mai Lamah kini menjadi istri orang kaya yang pelokek (sangat kikir) dan kedekut (pelit). Bahkan dengan Mak Semah pun tetangganya yang dulu sangat akrab dan baik hati itu, ia pun tidak mau lagi bertegur sapa. Ketika Baitusen mengingatkan kelakuan istrinya itu, ia selalu mendapat jawaban yang tidak mengenakan. “Buat apa aku bergaul dengan mereka. Paling juga mereka hanya akan menyusahkan kita saja,” ketusnya. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, Mai Lamah pun mengandung. Beberapa bulan kemudian tibalah waktunya untuk melahirkan. Ia kini perlu bantuan orang lain untuk melahirkan. Tentu saja para tetangganya termasuk Mak Semah tidak mau menolongnya. Padahal saudagar Baitusen telah berkali-kali mengundang mereka, tapi tak ada seorang pun yang mau datang. Karena itu Baitusen mengajak istrinya pergi ke kampunga seberang untuk meminta bantuan, ia sudah merasa malu kepada para tetangganya yang selalu dihina istrinya. “Ayolah Mai Lamah, kita ke kampung seberang saja,” ajak saudagar Baitusen sambil memapah istrinya turun ke perahu. “Abang ….., Mai Lamah merintih kesakitan. “Peti emas perak kita jangan ditinggalkan nanti dicuri orang. Bawa bang ……, Bawa semua,” kata perempuan kikir itu kepada suaminya. Berangkatlah saudagar Baitusen dengan Mai Lamah mencari bidan. Perahunya itu dikayuh menempuh ombak gelombang. Tiba-tiba….. Byur! Sebuah ombak yang besar menghantam perahu. Perahu itu oleng kemudian terbalik dan tenggelam. Tubuh Mai Lamah timbul tenggelam karena terbalik dan tenggelam. Tubuh Mai Lamah timbul tenggelam karena badannya berat dengan kandungan serta berat pula dengan emas perak yang melekat di tubuhnya, seperti gelang, cincin, kalung lokit (liontin emas) dan subang berlian. Namun ia masih bisa memegang pinggang suaminya. Sepasang suami istri itu pun akhirnya selamat sampai ke tepi pantai, naumn rupanya bumi Bunguran tidak mau lagi menerima kehadiran orang kaya kikir-kedekut itu. Mai Lamah pun mengeras bagai batu dalam keadaan berbadan dua atau “senua” (satu tubuh berbadan dua). Sedangkan emas-perak yang melilit tubuh si kaya kikir itu, menjadi burung laying-layang atau walet bersarang putih, yang merupakan kekayan Pulau Senua..
Sumber: https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/laman/index.php?r=tpost/xview&id=329[pranala nonaktif permanen]
Gallery
Referensi
- ^ Nurdin, Ajang (2017-08-06). Syaiful, Anri, ed. "Pulau Senoa Natuna yang Bikin Menteri Susi Betah Seharian di Laut". Liputan6.com. Diakses tanggal 2020-02-08.
- ^ Nurdin, Ajang. Syaiful, Anri, ed. "Pulau Senoa Natuna yang Bikin Menteri Susi Betah Seharian di Laut". Liputan6.com. Diakses tanggal 8 Februari 2020.