Psikologi perdamaian


Psikologi perdamaian menurut Christie, Wagner dan Winter adalah suatu perilaku tanpa kekerasan yang dibingkai dengan positif, menawarkan pengelolaan konflik, dan berusaha mewujudkan keadilan sosial.[1] Psikologi perdamaian berusaha untuk menggabungkan dan mengembangkan teori dan praktik yang bertujuan untuk mitigasi dan mencegah kekerasan langsung dan struktural.[1] Johan Galtung mendefinisikan perdamaian menjadi dua jenis; perdamaian negatif diartikan sebagai situasi absennya peperangan dan berbagai bentuk kekerasan, kemudian perdamaian positif dijabarkan sebagai perdamaian dalam jangka panjang dan dibangun atas pembangunan ekonomi berkelanjutan serta diupayakan bersama oleh seluruh elemen masyarakat.[2] Psikologi perdamaian bertumpu pada empat pilar: (1) penelitian, (2) pendidikan, (3) praktik, dan (4) advokasi.[3] Salah satu contoh organisasi yang fokus pada isu psikologi perdamaian adalah American Psychological Association (APA).[4] Kemudian di wilayah Indonesia, organisasi yang fokus memberdayakan perempuan dan memperjuangkan perdamaian adalah AMAN Indonesia.

Konflik

Psikologi perdamaian muncul sebagai respon atas terjadinya konflik individual atau struktural. Konflik adalah kondisi terjadinya ketidaksesuaian antara nilai atau tujuan yang ingin dicapai, baik di dalam diri sendiri maupun hubungan dengan orang lain.[5] Konflik juga dapat diartikan sebagai masalah sosial yang muncul karena perbedaan persepsi dan interpretasi di dalam masyarakat maupun negara. Fokus studi konflik menurut John Burton dibagi menjadi dua; Pertama, menjelaskan gejala konflik dan kekerasan di dalam masyarakat dengan tujuan menemukan pendekatan konstruktif untuk memecahkannya. Kedua, menyajikan penjelasan terhadap permasalahan konflik guna menemukan prinsip-prinsip dari proses dan kebijakan yang diperoleh dari penjelasan konflik tersebut.[6] Tipe-tipe konflik dibagi menjadi empat, yaitu: Konflik sederhana, konflik dalam organisasi, konflik berdasarkan faktor pendorong (seperti disposisi, respons dan reaksi psikologis), serta konflik berdasarkan jenis ancaman (contoh sengketa wilayah).[7] Johan Ghaltung berpendapat bahwa sumber-sumber konflik berasal dari perubahan tiba-tiba dalam dimensi kekuasaan, status, dan kekayaan yang dialami individu dan kelompok, sehingga muncul kecenderungan untuk menyeimbangkan ketiganya.[8] Selain itu, konflik juga terjadi karena perubahan dan kemajuan ekonomi yang tidak merata antar individu maupun kelompok.[8] Penyelesaian konflik dapat dilakukan dengan dua hal; pertama mengidentifikasi beragam sumber konflik, kedua resolusi konflik yang akomodatif terhadap kebutuhan komunitas.[8] Menurut John Ghaltung, terdapat tiga cara dalam penyelesaian konflik: menjaga perdamaian, mewujudkan perdamaian, membangun perdamaian.[9] Strategi penyelesain konflik menurut Hugh Miall dibagi menjadi 5 cara; strategi kompetisi, strategi akomodasi, strategi kolaborasi, strategi penghindaran, dan strategi kompromi atau negosiasi.[10]

Referensi

  1. ^ a b Wagner,Winter, Christie (2001). "Introduction to Peace Psychology". www.bing.com. Diakses tanggal 2022-04-20. 
  2. ^ "Johan Galtung and the Quest to Define the Concept of Peace". Vision of Humanity (dalam bahasa Inggris). 2020-12-14. Diakses tanggal 2022-04-20. 
  3. ^ Galtung, J (1990). "Cultural Violance". Journal of Peace Research. 27 (3): 291–305. 
  4. ^ www.apa.org https://www.apa.org/about/division/div48. Diakses tanggal 2022-04-20.  Tidak memiliki atau tanpa |title= (bantuan)
  5. ^ Muslich, Muslich (1991). "Manajemen Konflik Suatu Pendekatan Konstruktif". UNISIA. 9: 67. 
  6. ^ Rozi, Syafuan (2006). Kekerasan komunal: Anatomi dan Resolusi Konflik di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm. 19. 
  7. ^ Liliweri, Alo (2005). Prasangka dan Konflik: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur. Yogyakarta: LkiS. hlm. 264–270. 
  8. ^ a b c Sudira, I Nyoman (2017). "Resolusi Konflik dalam Perubahan Dunia". Global: Jurnal Politik Internasional. 19 (2): 161. 
  9. ^ "Teori-teori Psikologi Perdamaian". prezi.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-04-20. 
  10. ^ Miall, Hugg (2002). Resolusi Damai Konflik Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo. hlm. 65.