Psikologi IslamPsikologi Islam merupakan suatu bidang ilmu pengembangan dari ilmu nafs (psikologi Islam klasik) yaitu suatu ilmu pada zaman keemasan Islam. Ilmu nafs adalah suatu ilmu klasik yang berdasarkan pemikiran para filsuf klasik Islam semisal al-Kindi , al-Ghazali, Ibn Sina, Ibn Arabi, Abu Yazid al-Bustami, al-Farabi dan banyak filsuf muslim lainnya yang mencetuskan berbagai macam proposisi tentang gejala kejiwaan dalam bidang psikologi keperibadian, psikologi sosial, dan berbagai macam bidang psikologi lainnya. Setelah terjadi revolusi logika di Dunia yang menyebabkan paradigma ilmiah bergeser kepada paradigma empiris oleh Francis Bacon menggantikan logika Alfarabi maupun Aristoteles, berbagai macam ilmu pun ikut melakukan revolusi baik pada ilmu alam, ilmu sosial, maupun ilmu budaya. Adalah Auguste Comte dan Spencer sebagai pencetus bawasannya proposisi pada ilmu sosial juga dapat menjadi proposisi yang empirik, dan didukung oleh data pendukung empirik. Pernyataan Comte ini digagas berdasarkan observasinya pada sejarah, bahwa sejarah manusia adalah suatu yang terulang dan terulang kembali, baik itu kebijakan, tindakan, maupun perilaku. Gagasan Comte ini bukan hanya merevolusi ilmu sosial namun juga membawa ilmu budaya tertarik masuk kedalam sains, dengan pembagian jenis data yaitu ilmu alam adalah nomotetik, ilmu sosial termasuk psikologi adalah semi nomotetik, dan ilmu budaya adalah idiografi yang ketiganya kini diakui Unesco sebagai sains. Psikologi Islam adalah suatu paradigma psikologi empirik yang mengkonstruksi teori dengan terinspirasi oleh dalil-dalil kitab suci Islam, maupun proposisi-proposisi teori dari ilmuan muslim klasik. Suatu ilmu yang menjadi jembatan antara logika modern yang empirik dengan nash Alquran dan Sunnah. Metodenya yaitu dengan meriset kitab suci Islam untuk menemukan logika empirik tentang gejala jiwa yang kemudian dikonstruk menjadi suatu proposisi yang didukung oleh temuan-temuan psikologi kekinian. Produk dari Psikologi Islam adalah lahirnya teori-teori psikologi yang proposisinya terinspirasi dari ayat-ayat kitab suci Islam yang disandingkan dengan data pendukung empirik, selain itu juga memperbaharui data pendukung empiris teori-teori psikologi klasik para ilmuan muslim abad pertengahan. SejarahMasa klasik (abad ke-7 hingga ke-13 Masehi)Pada masa klasik (abad ke-7–13 Masehi), unsur-unsur psikologi dalam ajaran Islam dikemukakan oleh para tokoh dan institusi yang memiliki tingkat penafsiran yang tinggi atas ajaran Islam. Penfasiran ini dilakukan dengan tujuan untuk membentuk perilaku manusia menjadi pribadi yang memiliki nilai-nilai kesehatan, keadilan, dan kebenaran. Umat Islam pada masa ini ditekankan untuk mengetauhi ajaran Islam dan hadis. Perilaku manusia didasarkan kepada sunah Nabi Muhammad dengan tujuan agar terbentuk kebiasaan baik.[1] Para tokoh yang melakukan kajian kejiwaan pada masa klasik tidak disebut sebagai ahli jiwa. Selain itu, kajian kejiwaan juga tidak memiliki disiplin ilmiah tersendiri yang disebut ilmu jiwa. Kajian kejiwaan dilakukan dalam bidang tafsir ahli tafsir, bidang hadis oleh ahli hadis, bidang filsafat oleh filsafat Islam dan bidang tasawuf oleh para sufi. Mereka mengkaji tentang kejiwaan menggunakan pendekatan skriptualis, pendekatan filosofis dan pendekatan tasawuf.[2] Epistemologi dari pemikiran-pemikiran kejiwaan dalam psikologi Islam diperoleh dalam kajian filsafat Islam dan tasawuf. Tokoh-tokoh utama dalam kajian ini antara lain al-Farabi dan Ibnu Sina.[3] Masa modern (Abad ke-20 Masehi)Psikologi Islam muncul sebagai bentuk ketidakpuasan dari para psikolog muslim terhadap teori-teori psikologi yang dikemukakan oleh psikolog di dunia Barat.[4] Pengembangan kajian psikologi Islam baru dimulai sejak awal periode tahun 1960-an.[5] Pada tahun 1978, perbincangan publik dalam skala internasional mengenai psikologi Islam telah diadakan di Universitas Riyadh, Arab Saudi. Perbincangan ini merupakan bagian dari Simposium Internasional tentang Psikologi dan Islam. Kemudian pada tahun 1979, terbit sebuah buku yang dianggap monumental di Inggris. Buku ini ditulis oleh Malik B. Badri dengan judul The Dilemma of Muslim Psychologist.[6] Penerbitan buku ini kemudian menjadi awal bagi psikologi Islam sebagai mazhab baru dalam psikologi.[7] PenamaanWacana mengenai psikologi dan Islam dilakukan oleh para ahli menggunakan berbagai sebutan. Beberapa di antaranya adalah psikologi Islam, psikologi islami, psikologi modern dalam perspektif Islam, psikologi kenabian, psikologi sufi, psikologi Al-Qur’an, psikologi qur'ani, nafsiologi, dan psikologi motivatif. Namun, sebutan "psikologi Islam" dan "psikologi islami" merupakan dua istilah yang paling banyak digunakan. Dalam bahasa Inggris kedua istilah ini diterjemahkan menjadi "Islamic psychology". Sedangkan dalam bahasa Arab, kedua istilah tersebut diterjemahkan menjadi ‘ilm al-nafs al-islamy. Dua istilah tersebut dianggap memiliki pengertian yang sama. Namun, para ahli membuat kesepakatan untuk menggunakan istilah "psikologi Islam" untuk keperluan pengembangan ilmu.[8] PengertianTerdapat dua pengertian umum mengenai psikologi Islam. Pertama, psikologi Islam sebagai ilmu yang membahas manusia menggunakan sumber-sumber resmi dalam ajaran Islam. Pada pengertian ini, manusia dipandang sebagai makhluk yang mampu berfilsafat, membuat teori dan menetapkan metodologi. Kedua, psikologi Islam sebagai bagian dari psikologi yang memandang manusia sesuai dengan ajaran Islam. Pada pengertian ini, manusia dipandang sebagai makhluk yang memiliki pola perilaku yang unik. Perilaku manusia dipelajari sebagai bagian dari pengalaman atas interaksi dengan diri sendiri, lingkungan dan kerohanian. Tujuannya untuk meningkatkan kualitas kesehatan jiwa dan kualitas keberagamaan.[9] Ruang lingkupKemajuan diskursus psikologi kontemporer di dunia Barat telah menghasilkan reaksi yaitu kemunculan psikologi Islam.[10] Psikologi Islam memiliki perbedaan dengan psikologi kontemporer. Keduanya berbeda dari segi perumusan konsep tentang manusia dan pendekatan yang digunakan. Psikologi kontemporer menjelaskan asas-asas kejiwaan hanya menggunakan kecerdasan intelektual. Sedangkan psikologi Islam menggunakan akal dan keimanan untuk menjelaskannya.[11] Psikologi Islam mengkaji tentang prinsip-prinsip psikologis pada manusia untuk memperoleh kebenaran. Kebenaran ini mencakup kebenaran secara teologis maupun kebenaran secara psikologis.[12] Selain membahas perilaku kejiwaan, psikologi Islam juga membahas tentang hakikat dari jiwa yang sesungguhnya.[13] Psikologi Islam dibahas secara luas bersama dengan kajian tentang akidah, akhlak dan syariat Islam.[14] PendekatanTolok ukur dari psikologi Islam dalam menjelaskan kejiwaan manusia melalui perilakunya adalah nilai-nilai Islam.[15] Kajian dari psikologi Islam dilandasi oleh keterangan-keterangan dalam Al-Qur'an, sunah dan pemikiran para ulama. Tiap pemikiran yang ada kemudian dikaji, dianalisis, dan diteliti berdasarkan pendekatan psikologis. Kajian psikologi Islam menggunakan metode deduktif-normatif. Setiap pernyataan di dalam Al-Qur'an ditetapkan dan diterima sebagai aksioma-psikologis, meskipun belum ditemukan bukti empiris. Beberapa aksioma ini antara lain tentang roh, malaikat, jin, kehidupan sesudah kematian dan akhirat.[16] Narasi dalam Al-Qur'anAl-Qur’an memberikan gambaran yang benar mengenai manusia dengan memuat petunjuk mengenai manusia beserta dengan sifat-sifat dan keadaan psikologisnya. Selain itu, Al-Qur'an juga menerangkan tentang motivasi utama yang menggerakkan perilaku manusia. Al-Qur'an juga menerangkan tentang faktor-faktor yang dapat membentuk keselarasan dan kesempurnaan bagi kepribadian manusia sehingga kesehatan jiwa manusia dapat diwujudkan.[17] Kisah Qabil dan HabilAl-Qur'an telah memberikan narasi yang berkaitan dengan psikologi sejak dimulainya sejarah manusia. Kisah yang berkaitan dengan hal tersebut adalah kisah dua putra Nabi Adam yang bernama Qabil dan Habil. Pada kisah tersebut, Qabil membunuh saudaranya yaitu Habil. Setelah membunuh Habil, Qabil kebingungan mengenai mayat saudaranya. Allah kemudian mengirimkan contoh cara menguburkan mayat dengan mengutus seekor gagak untuk menggali tanah. Habil pun meniru burung gagak tersebut. Kisah ini menjelaskan tentang adanya motivasi psikologis yang berbentuk perilaku menyimpang. Qabil membunuh Habil karena adanya kecemburuan yang berlebihan. Di sisi lain, dijelaskan pula perilaku yang bersifat psikologis lainnya, yaitu peniruan. Qabil yang meniru burung gagak merupakan bentuk manusia dalam belajar dengan meniru. Dalam psikologi, peniruan merupakan bagian dari asas perilaku dan teori percontohan.[18] Pemikiran-pemikiranKepribadian manusiaDalam pandangan psikologi Islam, manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang dilahirkan dalam keadaan suci. Manusia memiliki potensi dan ditugaskan untuk menjadi pemimpin di Bumi. Pada dasarnya, manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang terlahir dalam keadaan memiliki kebaikan, tauhid dan Islam. Di sisi lain, manusia juga merupakan makhluk yang kreatif. Manusia memiliki kehendak sehingga mampu berusaha untuk mengubah kehidupannya.[19] Dalam psikologi Islam, manusia selalu berhubungan dengan sesama manusia, alam, dan Tuhan. Hubungan manusia dengan sesama manusia berkaitan dengan penciptaan manusia dalam kedudukan yang sama. Dalam hubungan ini, manusia berkewajiban menjaga harkat dan martabatnya sebagai manusia. Hubungan manusia dengan alam berkaitan dengan penghormatan terhadap sesama makhluk ciptaan. Dalam hubungan ini, manusia berkewajiban menjaga lingkungannya. Sementara hubungan manusia dengan Tuhan berkaitan dengan penghambaan yang diliputi oleh kebaikan. Dalam hal ini, manusia diciptakan oleh Allah dengan penuh kasih sayang.[20] PeranPsikologi Islam berperan dalam pengembangan kajian psikologi berdasarkan pendekatan diri kepada Tuhan. Dalam hal ini, psikologi Islam mendekatkan manusia kepada Allah. Psikologi Islam menjadi alat untuk mengkritik psikologi yang berkembang di dunia Barat. Psikologi di dunia Barat dianggap telah gagal dalam memberikan kesejahteraan terhadap manusia dari segi moral dan spiritual.[21] Referensi
|