Prasasti Walandit/Himad (tidak berangka tahun), dikeluarkan pada waktu Gajah Mada menjabat rakryan mapatih di Janggala dan Kadiri.[1] Prasasti ini menyebutkan tentang persengketaan antara penduduk desa Walandit dengan penduduk desa Himad mengenal status dharma kabuyutan di Walandit,[2] yang oleh penduduk desa Walandit dikatakan berstatus swatantra, dan berhak penuh atas desa Walandit, sebagaimana telah dikukuhkan oleh prasasti yang bercap kerajaan Mpu Sindok.
Sejarah penemuan
Pada tahun 1880 seorang wanita petani secara kebetulan menemukan sebuah lempengan perunggu di daerah Penanjakan Pegunungan Tengger, Desa Wonokitri, Kabupaten Pasuruan. Kini lempengan itu disimpan di Museum Nasional dengan nomor inventaris E28, dikenal sebagai Prasasti Walandit, berasal dari nama desa yang disebut lempengan perunggu itu. Prasasti Walandit yang hanya satu lempeng ini, pada kedua sisinya tergurat lima baris tulisan Jawa kuno. Lempengan prasasti berukuran 29,5 x 7,5 cm dan sebagian besar hurufnya masih baik. Hanya pada baris kelima, huruf-hurufnya sudah aus sehingga sulit dibaca. Prasasti Walandit merupakan prasasti tinulad (salinan) dari prasasti terdahulu, yang dikeluarkan oleh Sri Paduka Bhatara Hyang Wekas ing Suka (nama lain dari Hayam Wuruk).
Piagam ini memperingati dua peristiwa. Pertama, terjadi tahun 1303 Saka atau 1381 Masehi, dalam hubungannya dengan larangan menagih titileman (iuran untuk upacara ritual) di desa keramat atau terlarang Walandit dan sekitarnya. Tidak seorang pun diperbolehkan memungut pajak di sana. Alasannya penduduk Desa Walandit sejak dulu dikenal sebagai tempat pemukiman para hulun Hyang yang bebas dari segala bentuk pajak karena kesuciannya. Ini adalah keputusan raja Hayam Wuruk sendiri.[3]
Kedua, terjadi tahun 1327 Saka bulan Asada (21 Juni 1405) ketika penduduk Desa Walandit dibuatkan sebuah piagam perunggu untuk mengukuhkan perintah Bhatara Hyang Wekas ing Suka, gelar anumerta raja Hayam Wuruk.
Isi
Prasasti Walandit terdiri dari dua sisi, yaitu:
Bagian depan
Bagian depan berbunyi:
Wruhane kang lakoni hanagih titiloman, ring walandit, yena ndikaningong, de-
ne kang deśa hing walandit, mamanggis lili, jebing, kacaba, i rehane luwara dene ha-
nagih titiloman, i rehe kang i walandit deśa ilahila, hulun hyangira sang hyang
Gunung brahma, iku ta hawalora sakwehing wong sakahuban dening deśa i walandit, ta-
katagiha titiloman, ayo tinatab i rehing deśa ilaila kang rajamudra ye-
Salinan Prasasti Walandit bagian depan adalah sebagai berikut:
Hendaklah diketahui oleh mereka yang memungut pungutan pada bulan terang (titileman) di Walandit, bahwa titah kita
mengenai daerah Walandit, Mamanggis, Lili, Jebing, Kacaba, sepanjang pembebasan berhubungan dengan
pemungut titileman, karena daerah Walandit ialah suatu desa keramat (hila-hila) orang kehiangan, yang memuja gunung keramat yang mulia keramat
Brahma (yaitu Gunung Bromo di pegunungan Tengger), sehingga segala orang yang hidup di lingkaran Desa Walandit dilarang
dikenakan titileman oleh siapapun juga, dan janganlah menyelidiki lagi hal-hal itu, karena desa itu desa yang keramat.
Sisi bagian belakang
Sisi bagian belakang berbunyi:
n uwus kawaka, kagugana dene kang wong walandit, tithimasa, 5 śirah 3, // i śakakala
1327, asadamasa, tithi, nawamikrsapkaksa, pa, ra, wara, dungulan, irikan diwasanya ri parawa-
rgga ri walandit tinambraken rajamudra indikani talam pakanira bhatara hyang wkasing suka, i reha deśa ila-
ila hulun hyangira sang hyang gunung brahma, yata kanimi-taning tinambraken dening kabayan made, buyut ….
…….(tidak bisa dibaca lagi)
Salinan Prasasti Walandit bagian belakang adalah sebagai berikut:
perintah raja, dan apabila sudah dibacakan akan dipegang oleh rakyat Walandit. Tertanggal pada bulan ke-5 (Margasira) dalam tahun ke-3. Pada tahun Śaka
1327, dalam bulan Asada, tertanggal pada hari ke-9, ketika bulan sedang turun, pada hari Pahing, Radite (Minggu) bulan pekan Dunggulan (Galungan) pada waktu itulah
para warga (rakyat) Desa Walandit membuat piagam loyang berisi perintah raja Sri Paduka Bhatara Hyang Wekasing Suka, oleh karena desa itu adalah desa keramat
dari orang-orang kehiangan yang memuja Gunung Brahma yang bertuah. Itulah yang menjadi sebab atau alasan, maka piagam loyang diperintahkan dibuat mereka untuk mereka oleh kebayan Made, buyut …
…….(tidak bisa dibaca lagi)
Mungkin sekali kata Kasada (orang Jawa mengucapkan Kasodo) berasal dari kata Asada, bulan keempat dalam kalender Jawa kuno. Kemungkinan mereka mengambil nama tersebut untuk mengabadikan peristiwa penting karena mereka sudah memiliki landasan hukum yang kuat untuk tetap menjalankan tradisi tua mereka, memuja Sang Hyang Gunung Brahma. Agaknya tradisi upacara Kesada (Asadamaśa) berkaitan erat dengan Prasasti Walandit tersebut. Barangkali kewajiban untuk berkorban di Gunung Bromo diteguhkan di dalam prasasti ini. Pengorbanan pada Gunung Bromo dibebankan kepada masyarakat Desa Walandit dan sekitarnya, agar jangan lalai. Sebab jika pengorbanan itu sampai tidak dilaksanakan, masyarakat di sekitar Bromo akan terkena bencana (lahar). Menurut kepercayaan orang-orang Tengger, Gunung Bromo sebagai gunung api diyakini mempunyai tenaga dahsyat yang menimbulkan gempa bumi, semburan api, dan lahar yang mengakibatkan kerusakan di sekitarnya. Upacara Kasodo dimaksudkan untuk menenangkan Gunung Bromo yang bertenaga besar dan menghindari kemurkaan dewa-dewa atau roh-roh nenek moyang yang bertempat tinggal di Gunung Bromo.
Di Jawa prasasti-prasasti abad ke-10 banyak sekali memuat ungkapan Sang Hyang Brahma. Sebutan itu adalah julukan yang ditujukan kepada api suci, salah satu benda pelengkap upacara penetapan sima. Sang Hyang Brahma mendapat sesaji berupa emas dan bahan pakaian. Dalam Prasasti Pangumulan (824 Saka atau 902 M) ada ungkapan berbunyi “…hyang brahma tumunui ikang kayu sakagegongan“, artinya “…seperti api suci yang membakar kayu segenggaman…”. Jadi, ungkapan Sang Hyang Gunung Brahma sebagaimana Prasasti Walandit dapat juga berarti Sang Hyang Gunung Api, mengingat Gunung Bromo masih aktif sampai kini.
Dalam prasasti itu disebutkan adanya larangan untuk menarik pajak pada bulan titileman atau akhir bulan di Bulan Asada. Larangan itu berlaku untuk lima desa, yaitu Desa Walandit, Mamanggis, Lili, Jebing, dan Kacaba. Epigraf J.G. de Casparis menganggap Walandit terletak di lereng barat Pegunungan Tengger, Desa Wonorejo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang. Desa Wonorejo dulu pun bernama Blandit. Pada peta topografi lembar XLII 54-D:1918-1923 masih dijumpai sebuah dukuh bernama Blandit, bagian dari wilayah Desa Wonorejo (Casparis, 1940:52). Sementara itu, Desa Mamanggis sekarang diperkirakan bernama daerah Kemanggisan yang terletak di sekitar Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang. Desa Jebing diperkirakan kini berubah menjadi daerah Jabung, yang juga terletak di Kabupaten Malang.
Hubungan prasasti Walandit dengan desa Walandit
Orang-orang Walandit merasa bahwa sejak dahulu kala desa mereka berstatus swatantra, dan mereka ditugasi Sang Raja untuk memelihara candi leluhur (dharma kabuyutan) di Walandit; Mereka hanya mengakui kekuasaan dharma kabuyutan atas lembah dan bukit sekitar Walandit. Maka, mereka menolak kehendak para pejabat Desa Himad yang berniat mengatur-atur dan menguasai mereka.
Sebagai bukti, warga Walandit mengajukan piagam batu berlencana Raja Sindok yang telah mereka terima 400-an tahun sebelumnya. Piagam itu—Prasasti Muñcang—menerangkan tentang sebuah desa bernama Walandit yang merupakan tempat suci yang dihuni para hulun hyang, yakni orang-orang yang mengabdikan hidupnya bagi para dewata. Sang Raja, Mpu Sindok, juga memerintahkan untuk mendirikan prasada kabhaktyan bernama Siddhayoga, tempat para pendeta memanjatkan persembahan kepada Sang Hyang Swayambhuwa (Dewa Brahma) di Walandit.
Sengketa antara kedua desa itu diputuskan di luar pengadilan, dimenangi oleh masyarakat Walandit. Keputusannya dijadikan piagam (Prasasti Himad-Walandit) yang disusun oleh Pamegat Tirwan bernama Wangsapati atas nama Samgat Jamba, Samgat Pamotan, Mpu Kandangan, Rakryān Mapatih Mpu Mada, dan Sang Arya Rajadhikara. Beberapa dekade kemudian, status Walandit makin dikuatkan oleh Sri Paduka Bathara Hyang Wekas ing Sukha (gelar anumerta Raja Hayam Wuruk) seperti termaktub pada Prasasti Pananjakan. Dalam prasasti ini, Sang Raja melarang penagihan pajak pada bulan titileman atau akhir bulan Asada dari warga Walandit dan wilayah keramat (hila-hila) sekitarnya, karena di sana sejak dulu tinggal para hulun hyang, abdi dewata, dan pada bulan itu penduduknya berkewajiban melakukan persembahan kepada Sang Hyang Gunung Brahma (Gunung Bromo).
Menurut J.G. de Casparis, arkeologBelanda, yang diamini oleh banyak peneliti, Walandit kini bernama Blandit, merupakan sebuah dukuh di Desa Wonorejo, Kecamatan Singosari, Malang (di lereng barat Gunung Bromo). Di dukuh inilah, pada 1913, Prasasti Muñcang dari masa Mpu Sindok ditemukan.
Penduduk Desa Walandit, yang punya peran penting sejak masa pemerintahan Mpu Sindok sampai Hayam Wuruk, itu diyakini sebagian peneliti sebagai cikal-bakal masyarakat Tengger. Mereka telah menghuni kawasan Tengger jauh sebelum Majapahit ada dan berjaya. Salah satu peneliti yang berani menyatakan itu adalah Dwi Cahyono, Antropolog Universitas Negeri Malang. Ia yakin, berdasarkan bukti arkeologis yang ditemukan, masyarakat Tengger sudah mendiami kawasan sekitar Gunung Bromo saat Mpu Sindok memerintah pada abad ke-10. Bukti arkeologis yang dimaksud di antaranya adalah Prasasti Linggasutan (929 M), Prasasti Mucang (944 M), Prasasti Jeru-jeru (930 M), Prasasti Gulung-gulung (929 M), dan Prasasti Walandit (tanpa tahun).
Sementara itu, Dr. Ayu Sutarto, Budayawan dan Peneliti Tradisi dari Universitas Jember, mengajak kita mengkaji ulang keyakinan bahwa nenek moyang orang Tengger adalah pengungsi dari Majapahit. Paling tidak, menurut Ayu Sutarto, ada dua kemungkinan yang perlu dipertimbangkan. Pertama, meskipun masyarakat Walandit bukan keturunan Majapahit, kehidupan beragama mereka tidak beda jauh dengan warga Kerajaan Majapahit pada umumnya, yakni melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan bercorak Hindu-Budha. Kedua, penduduk Walandit dengan suka-cita menerima para pengungsi Majapahit yang terdesak ekspansi Kerajaan Islam Demak. Para pengungsi Majapahit itu kemudian menyatu dengan pribumi Walandit dan menurunkan orang-orang Tengger yang kita kenal sampai sekarang.