Prasasti KepokohPrasasti Kepokoh ditemukan di Dukuh Kepokoh, Desa Blado, Kecamatan Blado, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Prasasti ini ditulis dengan aksara pasca-Pallawa menggunakan bahasa Sanskerta. Pada bagian sisi belakang prasasti terdapat lambang bulan sabit yang menimbulkan dugaan bahwa prasasti ini dibuat pada awal tanggal 1 sampai 15, hal ini dikarenakan bulan sabit selalu muncul pada awal bulan tanggal 1 sampai 15. Berdasarkan segi bahasa dan bentuk aksaranya, prasasti ini diperkirakan berasal dari kurun ±700 Masehi. Fisik
PenemuanPrasasti Kepokoh terletak di Dukuh Kepokoh, Desa Blado, Kecamatan Blado, Kabupaten Batang (koordinat -7.07357,109.828916). Menurut narasumber atau pemilik tanah (Bapak Sahid), pertama kali Prasasti Kepokoh ditemukan yaitu berada di dekat pohon besar di tengah-tengah sawah yang tidak jauh dari Prasasti Kepokoh sekarang berada. Setelah penemuan, prasasti tersebut di pindahkan di tepi sawah. Pada tahun 2001, Prasasti Kepokoh ini mulai diperhatikan oleh pemerintah Kecamatan Blado yang kemudian dilaporkan kepada Dinas Pariwisata Kabupaten Batang. Latar belakangMenurut Suhadi dan M.M Sukarto (1986) dalam tulisan berjudul "Laporan penelitian Epigrafi Jawa Tengah" yang termuat dalam Berita Penelitian Arkeologi No.37, diterbitkan di Jakarta oleh Proyek Penelitian Purbakala Jakarta menyebutkan dua prasasti penting berkenaan dengan wangsa Syailendra di Kabupaten Batang. Disebutkan bahwa dari segi historis, Prasasti Sojomerto dan Prasasti Kepokoh sangat penting karena berkaitan dengan peradaban pra-Mataram Kuno. Prasasti Kepokoh yang ditemukan di Dukuh Kepokoh, Desa Blado, Kec. Blado, Kab. Batang ini berbentuk agak pipih, dan berwarna coklat alami, maksudnya tidak dihaluskan. Teks prasasti ini terdiri sebanyak 6 baris dan terdapat gambar bulat sabit dipahatan pada sisi belakang. Namun, Prasasti Kepokoh ini tidak menyebutkan angka tahun pembuatan. Pada bagian belakang prasasti terdapat pahatan bulan sabit, menimbulkan dugaan bahwa prasasti tersebut dibuat pada malam hari sekitar tanggal 1-15. Mengapa demikian, karena bulan sabit selalu muncul pada awal bulan sekitar tanggal 1-15, sehingga dugaan itu dapat muncul. Selain itu, dugaan yang lainnya yaitu pembuatan prasasti. Bahwa ajaran Hindu Budha datang ke tanah jawa berawal dari dataran rendah dan menuju ke dataran tinggi. Pasalnya menurut ajaran Hindu-Buddha, bahwa apabila kita berada di dataran tinggi maka kita akan selalu dekat dengan para dewa. Hal inilah yang menciptakan dugaan kembali bahwa Batang merupakan pintu pembuka peradaban Hindhu dan Buddha di pulau Jawa. IsiPrasasti Kepokoh berisi tentang pemberian dana atau semacam persembahan (sedekah) yang diberikan oleh seorang raja dengan menetapkan suatu daerah perdikan atau bebas pajak (sima) untuk membiayai sebuah bangunan suci.[1] Sima adalah suatu daerah bebas pajak yang tidak boleh dimasuki oleh para pejabat penarik pajak atau disebut mangilala drawya haji yang terdiri atas pangkur, tawan, dan tirip. Sedangkan daerah kebanyakan (non sima) biasanya rakyatnya dikenakan kewajiban drawya haji (pajak), gawai haji atau buat haji (pekerjaan untuk raja) kepada raja. Dengan adanya sima diketahui bahwa terdapat suatu institusi politik dengan perangkat pemerintahannya yang melakukan pengelolaan hasil bumi, pajak dan pemeliharaan bangunan suci. Berdasarkan pada isi Prasasti Kepokoh tersebut maka semakin kuat dugaan bahwa daerah pantai utara Jawa Tengah merupakan awal daerah perkembangan institusi politik. Dengan adanya sima maka juga dapat diketahui bahwa terdapat hubungan timbal balik yang erat dan saling menguntungkan antara para penguasa lokal dengan kaum agama. Hubungan yang erat tersebut terjadi karena para penguasa lokal melindungi dan memelihara bangunan suci yang dikelola kaum agama, dan membutuhkan biaya ritual besar. Sebagai bentuk hubungan timbal balik, para rohaniawan Hindu-Budha menganugrahkan para Rakai yang memiliki posisi kuat atau Ratu yang berjasa kepada mereka dengan berbagai gelar simbolis terutama gelar Maharaja dan gelar penobatan (abhiseka nama) yang berbau nama dewa-dewa India.[2] Gelar yang berasal dari India (Sansekerta) tersebut secara praktis dalam konteks masyarakat Jawa Kuno bernilai prestise sehingga menaikkan derajat para penguasa lokal, sehingga semakin melegitimasikan posisi kekuasaannya kepada rakyat. Akibat kuatnya pengaruh dualisme penguasa (Ksatriya) dan kaum agama (Brahmana) dalam kehidupan masyarakat, di Jawa terdapat pendewaan terhadap tokoh dari kedua golongan (kasta) tersebut. Teks prasastiTranskripsi
Penafsiran prasasti
Terjemahan periksa: Suhadi-Soekarto
ReferensiLihat pula |