Polihidroksi alkanoat (bahasa Inggris: polyhydroxyalkanoates, disingkat PHA) mengacu pada golongan poliester yang diakumulasi oleh beberapa bakteri pada keadaan pertumbuhan tidak seimbang.[1] Lebih dari 150 monomer yang berbeda dapat dikombinasikan dengan senyawa golongan ini untuk menghasilkan materi dengan sifat yang berbeda.[1] PHA, secara alami diproduksi oleh beberapa bakteri di dalam sitoplasma sebagai cadangan makanan.[1]Poly ((R)-3-hidroksibutirat) (PHB) merupakan anggota PHA yang paling banyak dipelajari, molekul tersebut menjanjikan untuk dibuat bioplastik karena sifatnya mirip dengan polipropilen.[1]
Penggunaan PHB sebagai kemasan dapat disejajarkan dengan plastik konvensional berbahan dasar minyak bumi karena PHB memiliki kemiripan sifat dengan plastik yang disintesis dari turunan bahan bakar fosil.[1][2]
Properti
Struktur kimia dari PHA mempengaruhi sifat-sifatnya.[3] Dalam produksi PHA pada bakteri, struktur PHA yang diproduksi dapat dimodifikasi dengan mengubah spesies bakteri atau kondisi pertumbuhan.[3] Keragaman ini adalah berguna dalam menghasilkan berbagai produk berbahan dasar yang berbeda, mulai dali implan medis, hingga pembungkus makanan.[3] Secara umum, properti yang dapat dimiliki molekul PHA adalah sebagai berikut:
Di dalam sel bakteri, PHA diakumulasi sebagai bulir (granul) yang dikelilingi oleh protein dan lemak.[4] Protein dan lemak tersebut, diperkirakan berperan penting, baik dalam produksi maupun degradasi senyawa PHA dalam sel.[4] Pada proses biosintesis PHA, senyawa prekursor PHA, 3-hidroksialkanoil-CoA, dapat diperoleh melalui metabolisme Asetil-CoA.[3] Sementara itu, 3-hidroksialkanoil-CoA, juga dapat diperoleh melalui beta-oksidasiasam lemak.[3] Pada Ralstonia eutropha, enzim beta-ketiolase, asetoasetil-CoA reduktase, dan PHA sintase yang disandikan oleh genphaA, phaB, dan phaC, merupakan tiga enzim kunci untuk sintesis PHA.[3]
Aplikasi
PHA dan senyawa turunannya mempunyai aplikasi yang luas.[1][2][5][6] Sebagai kemasan, PHB tahan terhadap radiasi ultraviolet, permeabel terhadap oksigen, dan kedap air.[1] Hal ini membuat PHB cocok sebagai kemasan makanan.[1] PHB juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan untuk membuat benang bedah karena kemampuannya untuk terdegradasi menjadi molekul yang tidak beracun pada tubuh manusia.[5] Sebagai biodiesel, turunan metil ester dari PHA juga berpotensi sebagai bahan bakar kendaraan.[2] Beberapa studi melaporkan bahwa R-(3)-asam hidroksibutirat ((R)-3-HB) sebagai monomer PHB menunjukkan aktivitas antimikrob, antiviral, dan insektisidal.[6] Terlebih lagi, R-(3)-HB dapat dimanfaatkan sebagai balok susun kimia dalam sintesis beberapa senyawa kimia seperti antibiotik, vitamin, senyawa aromatik, dan feromon.[6]
Produksi
Produksi dalam Bioreaktor
Secara umum, metode kultur tertutup (batch) adalah metode kultur yang populer.[7] Kelebihan proses batch dibandingkan metode kultur lainnya adalah prosesnya yang lebih sederhana dan penanggulangan kontaminasi yang lebih mudah.[7] Hanya saja proses ini kurang efektif dalam memproduksi produk yang terasosiasi dengan pertumbuhan.[7] Selain itu, kerugian lain dari proses batch adalah banyaknya tenaga dan waktu yang terbuang untuk sterilisasi dan variabilitas yang tinggi antar batch.[7]
Dalam berbagai studi produksi PHA, metode kultur tertutup adalah populer.[8] Hal tersebut karena fleksibilitasnya yang tinggi dan ongkos operasionalnya yang rendah.[8] Sayangnya produksi PHA menggunakan metode kultur tertutup terasosiasi dengan produktivitas yang rendah.[8] Berbagai strategi untuk meningkatkan produktivitas PHA telah dicari.[8] Banyak penulis mulai mencoba menggunakan metode fed-batch untuk produksi PHA.[8] Meskipun fed-batch umumnya mempunyai yield yang lebih tinggi, akan tetapi produksi dengan metode kultur fed-batch dinilai masih belum memuaskan.[8] Untuk itu, metode kultur tertutup dan fed batch mulai dikombinasikan untuk memperoleh produktivitas yang lebih tinggi.[8] Selain kombinasi metode kultur, pendekatan lain untuk meningkatkan produktivitas mencakup pemilihan jenis mikroorganisme, kondisi fermentasi (pH, aerasi, agitasi), jenis substrat karbon (kompleks atau terdefinisi), optimasi komposisi media (nitrogen, fosfat, dan elemen kelumit), pemilihan jenis bioreaktor, dan penggunaan galur unggul.[8]
Masalah
Masalah yang paling utama dalam penyebaran penggunaan PHA sebagai bioplastik adalah harga produksinya yang lebih mahal dibandingkan plastik konvensional.[1] Harga PHB komersial dapat mencapai 17 kali lebih besar dari harga plastik konvensional.[1] Sebagai contoh, BIOPOL™, sebuah produk bioplastik komersial yang merupakan kopolimer dari b-asam hidroksibutirat dan b-hidroksivalerat dijual dengan harga 17 kali lipat harga plastik sintesis.[6] Mahalnya harga produksi bioplastik PHB dipengaruhi oleh efisiensi proses fermentasi, harga substrat, dan proses hilir.[2]
Berbagai pendekatan telah dilakukan, untuk menurunkan ongkos produksi.[9] Beberapa studi mencoba mencari substrat murah dengan ketersediaan yang tinggi untuk menekan biaya produksi, contoh substrat tersebut antara lain limbah minyak goreng, hirolisat bagas, gula molasis.[9] Optimasi dalam proses fermentasi dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan.[9] Contoh pendekatan optimasi yang umum dilakukan antara lain berupa optimasi nutrisi (nitrogen, fosfor, dan sumber karbon), pengaturan kelarutan oksigen, pH, suhu inkubasi, dan jenis metode fermentasi yang dipakai.[9] Pendekatan yang lebih modern berupa pendekatan rekayasa genetika.[9] Contoh hasil dari pendekatan rekayasa genetika adalah penggunaan galur Escherichia coli yang mengandung gen biosintesis PHA dari Comamonas sp. dan modifikasi gen penyandi PHA depolimerase untuk menghasilkan volume dan jumlah granul PHA yang lebih tinggi daripada R. eutropha.[9][10] Terakhir, pemilihan proses hilir yang tepat juga mempengaruhi yield dan kemurnian molekul PHB yang dihasilkan.