Polemik sabda raja Yogyakarta 2015 mulai terjadi ketika Raja Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat sekaligus Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) SriSultanHamengkubuwono X mengeluarkan sabdaraja di Siti Hinggil Keraton, Kamis, 30 April2015 pukul 10.00 WIB. Acara ini berlangsung singkat dan digelar secara tertutup. Dalam sabdaraja itu, Sultan menyampaikan pergantian nama bukan semata-mata keinginannya, melainkan "berdasar petunjuk Tuhan Yang Maha Kuasa dan para leluhur". Peristiwa ini merupakan sabda raja pertama sejak Sultan Hamengkubuwono X naik tahta pada 1989.[1]
Isi sabda
Sabda Raja, yang disampaikan pada Kamis 30 April 2015. Berikut isinya.
Gusti Allah Gusti Agung Kuasa cipta paringana sira kabeh adiningsun sederek dalem sentono dalem lan Abdi dalem. Nampa welinge dhawuh Gusti Allah Gusti Agung Kuasa Cipta lan rama ningsun eyang eyang ingsun, para leluhur Mataram Wiwit waktu iki ingsun Nampa dhawuh kanugrahan Dhawuh Gusti Allah Gusti agung, Kuasa Cipta Asma kelenggahan Ingsun Ngarso Dalem Sampean Dalem Ingkang Sinuhun Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumeneng Kasepuluh Surya Ning Mataram Senopati ing Ngalaga Langgenging Bawono langgeng ing tata Panatagama. Sabda Raja iki perlu dimengerteni diugemi lan ditindake yo mengkono.
Dalam bahasa Indonesia, Sabda Raja tersebut artinya:
Allah, Tuhan yang Agung, Maha Pencipta, ketahuilah para adik-adik, saudara, keluarga di Keraton dan abdi dalem, saya menerima perintah dari Allah, ayah saya, moyang-moyang saya dan para leluhur Mataram. Mulai saat ini, saya bernama Sampean Dalem Ingkang Sinuhun Sri Sultan Hamengkubawono Yang Bertahta Ke Sepuluh, Mataharinya Mataram, Senopati Di Medan Pertempuran, Yang Melanggengkannya Bawono (Rakyat) Secara Langgeng, Langgeng Dalam Pengayoman Kepemimpinan Keagamaan. Sabda Raja ini perlu dimengerti, dihayati dan dilaksanakan seperti itu sabda saya.[2]
Inti dari sabda itu adalah pertama, penyebutan Buwono (Dunia) diganti menjadi Bawono (Rakyat). Kedua, kata Abdurahman Sayyidin danKhalifatullah dalam gelar Sultan 'Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Sedasa Ing Ngayogyakarta Hadiningrat' dihilangkan. Ketiga, penyebutan kaping sedasa diganti ka-sapuluh. Keempat, mengubah perjanjian pendiri Mataram dari Ki Ageng Giring dengan Ki Ageng Pemanahan. Kelima, atau terakhir menyempurnakan keris Kanjeng Kyai Ageng Kopek dengan Kanjeng Kyai Ageng Joko Piturun.[3]
Berikut isi Dawuh Raja yang dikeluarkan Sultan pada 5 Mei 2015:
Siro adi ingsun, sekseono ingsun Sampean Dalem Ingkang Sinuhun Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumeneng Kasapuluh Surya ning Mataram, Senopati ing Ngalogo, Langenging Bawono Langgeng, Langgeng ing Toto Panotogomo Kadawuhan netepake Putri Ingsun Gusti Kanjeng Ratu Pembayun tak tetepake Gusti Kanjeng Ratu GKR Mangkubumi. Mangertenono yo mengkono dawuh ingsun.
Dalam bahasa Indonesia, Dawuh Raja tersebut artinya:
Saudara semua, saksikanlah! Saya, Sampean Dalem Ingkang Sinuhun Sri Sultan Hamengku Bawono Yang Bertahta Ke Sepuluh, Matahari di Mataram, Senopati Dalam Medan Pertempuran, Yang Melangengkannya Rakyat Secara Langgeng, Langgeng Dalam Pengayoman Kepemimpinan Keagamaan — mendapat perintah untuk menetapkan Putri saya Gusti Kanjeng Ratu Pembayun menjadi Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi Perawat Kehidupan Rakyat Yang Langgeng di Mataram. Mengertilah! Begitulah perintah saya.[4]
Tanggapan
Sabda Raja Sultan Hamengku Buwono X tak hanya menuai pro dan kontra di dalam lingkungan Keraton Yogyakarta. Di luar lingkungan keraton, organisasi masyarakat Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) ikut angkat bicara. Menurut Ketua Muhammadiyah Kota Yogyakarta Heni Astiyanto, Sultan tak perlu menghapus gelar khalifatullah itu jika tujuannya untuk memodernisasi nilai dalam keraton. Jabatan khalifatullah secara harafiah tak merujuk bahwa Sultan hanya sebagai pemuka untuk umat Islam semata. Khalifatullah memiliki arti pemimpin yang mengatur bumi, bukan pemimpin agama tertentu saja.[5]