Pierre Lucien Claverie
Mgr. Pierre-Lucien Claverie, O.P. (8 Mei 1938 – 1 Agustus 1996) adalah Uskup Oran ke-12 yang bertahta dari tahun 1981 hingga wafatnya di tahun 1996.[1] Dia termasuk salah satu dari 19 martir Gereja Katolik Roma dari Aljazair yang dibunuh antara tahun 1994 - 1996.[2] Mereka dinyatakan wafat dalam keadaan in odium fidei (karena kebencian terhadap iman mereka).[3] Kisah mereka diangkat menjadi sebuah film "Of God and Men" pada 2010. Claverie dikenal sebagai tokoh dialog Islam - Kristen di masa perang saudara di Aljazair. Dia dibunuh bersama supir pribadinya, Mohammed Bouchikhi, oleh kelompok militan Islam Aljazair dengan menggunakan peledak di mobilnya.[4] Sejak tahun 1992, perang saudara berlangsung di Algeria antara kekuatan militer yang disokong pemerintah dengan kelompok pemberontak ekstrimis. Perang ini bertujuan untuk mengubah masyarakat Islam kepada demokrasi. Sekitar 45.000 orang menjadi korban meninggal dalam perang itu. Umat Katolik di Algeria termasuk dalam kelompok minoritas. Para biarawan Trapis dari Biara Bunda Maria Atlas di Tibhirine mengetahui bahwa mereka rentan untuk dibunuh jika tetap tinggal di Aljazair. Pada 27 Maret 1996, puluhan pria bersenjata menyerang biara itu dan mencuri tujuh orang biarawan Trapis. Dua orang lagi bersembunyi dan berhasil melewati deteksi. Namun, karena saluran telepon diputus dan diberlakukan kurfe, maka mereka tidak bisa menghubungi kepolisian hingga keesokan paginya. Pada 23 Mei 1996, kelompok Islam fundamentalis bersenjata mengklaim telah memenggal kepala biarawan Trapis yang dicuri itu. Klaim lain adalah para biarawan itu dibunuh oleh Angkatan Udara Aljazair melalui serangan udara dan kemudian dipenggal. Yang pasti kepala mereka ditemukan terkubur di Biara di Tibhirine pada 30 Mei dan tubuh mereka tidak pernah ditemukan. Hampir tiga tahun sebelum pencurian, Pastor Prancis Christian de Chergé, kepala biara itu, menulis sebuah surat yang isinya menyiratkan kesediaan para biarawan itu untuk mempersembahkan diri mereka sebagi kurban bagi penduduk Aljazair yang mereka layani. Surat itu kemudian dikenal sebagai "Perjanjian Batin Christian de Chergé". Pastor de Cher menulis, "Jika waktunya tiba, aku ingin mampu untuk mempunyai kejernihan yang membuatku bisa meminta pengampunan dari Tuhan dan dari saudara-saudaraku dalam kemanusiaan dan secara bersamaan dengan sepenuh hati mengampuni siapa pun yang mungkin membunuhku. Semoga kita bisa bertemu lagi, para pencuri yang bahagia, di surga, jika Tuhan berkenan." Beberapa bulan setelah pencurian di Tibhirine, pada 1 Agustus 1996, Uskup Claverie dibunuh bersama dengan supirnya dengan menggunakan peledak dengan kendali jarak jauh saat akan masuk ke rumah. Tujuh orang yang dinyatakan bersalah atas pembunuhan itu dijatuhi hukuman mati, namun Gereja Katolik Algeria berhasil melayangkan petisi untuk meringankan hukuman para terdakwa. Pada 26 Januari 2018, Paus Fransiskus mengakui Uskup Claverie, tujuh biarawan Travis dari Tibhirine, dan sebelas rohaniwan lain dari Prancis, Spanyol, Tunisia, dan Belgia sebagai martir. Mereka dibeatifikasi pada 8 Desember 2018. Claverie dilahirkan dari keluarga Prancis di Aljazair atau yang disebut pieds noirs (si kaki hitam). Dia melewati masa kecil yang bahagia dengan keluarganya, namun tidak pernah berinteraksi dengan orang Arab Muslim di lingkungan mereka tinggal. Sewaktu remaja, Claverie bergabung dengan pasukan lari Pramuka oleh imam - imam Dominikan. Pada 1957 setelah tamat dari sekolah menengah di Aljazair, Claverie melanjutkan studi di Universitas Grenoble-Alpes di Prancis untuk belajar matematika, fisika, dan kimia. Di sana dia bergabung dengan kelompok aktivis mahasiswa sayap kanan dari Aljazair yang memprotes kelompok Katolik dan membakar surat kabar mereke. Berangsur-angsur, Claverie mendalami sudut pandang lawannya itu dan kemudian berbalik mengutuk kekejaman perang gerilya oleh Kelompok Rahasia Tentara di tanah kelahirannya. Di tahun kedua studinya di Grenoble, Claverie bergabung menjadi novisiat Dominikan di dekat Lille, dan mulai mendapatkan pengaruh dari teolog Dominikan terkenal Chenu dan Congar. Claverie melanjutkan studi pastoralnya di Sekolah Teologi Saulchoir, di mana dia mengucapkan kaul kekalnya, dan setelahnya kembali ke Aljazair untuk pengabdian militer non-tentara. Setelah kudeta dari Angkatan Bersenjata Prancis dan Kelompok Rahasia Tentara gagal pada 1961, pemerintah Prancis angkat kaki dari Aljazair dan akhirnya Aljazair memproklamasikan kemerdekaannya di tahun berikutnya. Claverie kembali ke Prancis dan melanjutkan studi teologi di Saulchoir dan kemudian ditahbiskan menjadi imam pada 1965. Claverie kembali ke Aljazair pada 1967 dan belajar bahasa Arab di Institut Pedagogi Arab yang dikelola oleh Suster - suster dari Hati Kudus Lebanon. Claverie berhasil menguasai bahasa Arab dan mampu menggunakannya dengan fasih dan aksen yang bagus. Dia juga mulai mempelajari hubungan Aljazair dengan Islam. Islam di Aljazair kebanyakan adalah kaum Sufi, namun guru-guru Sufi dari Mesir dan Arab Saudi yang datang ke Aljazair mulai memperkenalkan Islam yang lebih ortodoks dan mengampanyekan penolakan unsur-unsur non-Arab dalam agama, seperti pengaruh Kabyle dan etnis Berber lainnya. Ini memicu gelombang reformasi Islam fundamental. Claverie mengajar di Institut Diosesan menggantikan temannya Henri Teissier sebagai direktur. Di sini, Claverie menjalin persahabatan dengan orang-orang Aljazair dari segala kelas sosial. Pastor Jacques Blanc memperkenalkan Claverie dengan Dewan Asosiasi Gereja-Gereja Sedunia Encounter and Development. Claverie kemudian menjadi direktur di sana. Claverie berulang kali menolak panggilan untuk belajar di Institut Islam Dominikan di Mesir dan Institut Kepausan Arab dan Islam di Roma, yang dijalankan oleh para Misionaris Afrika. Dia beralasan ingin menetap di Aljazair dan mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Aljazair. Ketika Henri Teissier ditunjuk sebagai Uskup Koajutor Aljazair, Claverie menggantikannya sebagai Uskup Oran pada 1981. Homili yang dibawakannya dalam bahasa Arab dan bahasa Prancis pada penahbisannya sebagai uskup, menjadi manifesto bagi umat Kristen di Algeria sebagai minoritas di tengah-tengah Muslim. Claverie menekankan perlunya toleransi dan rasa saling menghargai serta menghindari segala upaya pewartaan yang agresif dan fanatik. Beberapa waktu setelah menjadi uskup, Claverie mendonasikan sebuah gereja untuk dijadikan sebagai masjid dan mengubah katedralnya untuk dijadikan sebagai pusat kebudayaan, di mana teman-teman Muslimnya bisa memberikan kuliah dan mengadakan konferensi. Dia juga menjalin persahabatan yang akrab dengan seorang pendeta Methodis bernama David Butler. Sebagai uskup, Claverie juga adalah pengkotbah, memimpin retret, mengambil bagian dalam diskusi, menyusun editorial untuk majalah keuskupannya. Dia tidak gentar mengungkapkan pemikirannya dan senang mendapat sanggahan. Orang-orang tertarik dengan kehangatannya, bakatnya dalam menjalin hubungan, soliditas, dan kejelasan idenya. Semuanya menunjukkan tanda-tanda kematangan hidup rohani dan kebiasaan doa yang teratur. Sebagai tindak lanjut dari Konsili Vatikan II, Claverie mengembangkan pendekatan baru dalam dialog Islam - Kristen. Karena Aljazair dalam keadaan polemik, Claverie meninggalkan gaya pendekatan konferensi, dan memilih untuk menekankan dialog saling percaya antar umat beragama dalam kehidupan sehari-hari. Pada 1987, Claverie diangkat sebagai anggota Dewan Kepausan untuk Dialog Antar Kepercayaan. Claverie berperan menyusun dokumen Dewan Kepausan yang berjudul Dialog dan Proklamasi, yang merenungkan ekonomi keselamatan bagi Islam. Pada 1938, Claverie diundang ke Masjid Paris untuk mengemukakan pemikirannya. Pertemuan itu diselenggarakan dalam bahasa Arab dan bahasa Prancis dan dimulai dengan perenungan dampak polemik dan eksklusi dalam komunitas Kristen dan Muslim. Pada 1987, Claverie mengajukan permohonan kewarganegaraan Aljazair. Walaupun permohonannya tidak diterima bahkan hingga akhir hidupnya, Claverie semakin mendapatkan tempat dalam hati orang - orang Aljazair. Gereja Katolik Aljazair semakin dekat dengan orang-orang di tapal batas dan anggota-anggotanya mengabdikan diri di institusi-institusi di Aljazair dan untuk orang-orang miskin. Meskipun, Aljazair semakin menampakkan ciri Islam Arabnya, para misionaris Kristen yang menetap di sana berkenan untuk membaurkan diri dengan karakter tersebut. Tidak sedikit pun Claverie menyesali berkurangnya pengaruh ciri Gereja dalam komunitas di Aljazair. Menurut Claverie, Gereja Katolik Aljazair bukan semata-mata kelompok marjinal di dalam komunitas masyarakat Aljazair, melainkan haruslah menjadi bagian integral dalam konteks masyarakat Aljazair. Referensi
|