Pesawat nirawak atau penderum (bahasa Inggris: unmanned aerial vehicle atau disingkat UAV atau sering disebut sebagai drone)adalah sebuah mesin terbang yang berfungsi dengan kendali jarak jauh oleh pilot atau mampu mengendalikan dirinya sendiri yang dioperasikan oleh operator, menggunakan hukum aerodinamika untuk mengangkat dirinya, bisa digunakan kembali dan mampu membawa muatan baik senjata maupun muatan lainnya. Penggunaan terbesar dari pesawat nirawak ini adalah di bidang militer, tetapi juga digunakan di bidang geografi, fotografi, dan videografi yang dilakukan secara bebas dan terbuka. Di bidang geografi, pesawat nirawak digunakan sebagai salah satu wahana pengindraan jauh yang sangat penting dalam pembuatan peta, seperti peta penggunaan lahan, peta daerah rawan bencana, dan peta daerah aliran sungai. Sebuah Rudal walaupun mempunyai kesamaan, tetapi tetap dianggap berbeda dengan pesawat nirawak karena rudal tidak dapat digunakan kembali dan rudal adalah senjata itu sendiri.
Peristilahan
Kata "drone" dalam bahasa Inggris yang artinya berdengung dan terus-menerus[1]. Sedangkan kata "penderum" dalam bahasa Indonesia berasal dari kata derum yang bermaksud dengungan atau tiruan suara kendaraan atau guruh dari jauh, penerjemahan semantik dari drone.
Deskripsi
Pesawat nirawak memliki bentuk, ukuran, konfigurasi dan karakter yang bervariasi. Sejarah pesawat nirawak adalah Drona target, pesawat nirawak yang digunakan sebagai sasaran tembak. Perkembangan kontrol otomatis membuat pesawat sasaran tembak yang sederhana mampu berubah menjadi pesawat nirawak yang kompleks dan rumit.
Kontrol pesawat nirawak ada dua variasi utama, variasi pertama yaitu dikontrol melalui pengendali jarak jauh dan variasi kedua adalah pesawat yang terbang secara mandiri berdasarkan program yang dimasukan kedalam pesawat sebelum terbang.
Saat ini, pesawat nirawak mampu melakukan misi pengintaian dan penyerangan. Walaupun banyak laporan mengatakan bahwa banyak serangan pesawat nirawak yang berhasil tetapi pesawat nirawak mempunyai reputasi untuk menyerang secara berlebihan atau menyerang target yang salah.
Pesawat nirawak juga semakin banyak digunakan untuk kebutuhan sipil (non militer) seperti hobi fotografi, hobi videografi, pemadam kebakaran, keamanan non militer atau pemeriksaan jalur pemipaan. Selain sebagai kamera terbang, pesawat nirawak juga sering melakukan tugas yang dianggap terlalu kotor dan terlalu berbahaya untuk pesawat berawak.
Saat ini pesawat nirawak (PTTA) telah diproduksi oleh industri dalam negeri antara lain: PT. Dirgantara Indonesia, PT. UAV Indo, PT. Globalindo Tekhnologi Service Indonesia, PT. RAI (Robo Aero Indonesia), PT. Aviator dan PT. Carita. Adapun PTTA hasil produk dalam negeri tersebut saat ini digunakan untuk kepentingan olahraga kedirgantaraan dan beberapa industri masih mengadakan pengembangan PTTA untuk kepentingan sasaran latihan Arhanud. Dengan adanya kemampuan berbagai industri dalam negeri dalam mengembangkan PTTA tersebut, merupakan potensi dan peluang yang dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan PTTA yang memiliki kemampuan sebagai pesawat pengintai/pemantau sasaran/objek dari udara. Pengembangan PTTA tersebut dilakukan dengan melengkapi sebuah kamera dan hasilnya secara langsung dapat diamati pada layar monitor di darat.
Pengembangan
Dalam sebuah perancangan pesawat nirawak (PTTA), terlebih dahulu harus mendefinisikan misi penerbangan seperti apa yang akan dilakukan oleh pesawat tersebut. Hal ini harus dilakukan karena tidak ada satu jenis PTTA yang bisa melakukan semua misi yang ada dalam penerbangan. pesawat nirawak dimaksudkan untuk mengemban misi pemantauan udara untuk melihat objek yang diam atau bergerak di atas permukaan tanah. Misi tersebut dilakukan diwilayah dengan dukungan infrastruktur yang minim seperti daerah hutan, pegunungan, rawa dan lain-lain. Dengan misi tersebut, maka PTTA harus merupakan gabungan karakter antara tipe pesawat sport, trainer dan pesawat trainer glider, yaitu berkecepatan rendah, sangat stabil, dapat melayang dan mudah dikendalikan. Agar dapat melakukan pemantauan dengan saksama maka PTTA harus memiliki tinggi terbang 200 m, kecepatan terbang 60 km/jam dan lama terbang 60 menit.
Agar dapat dimobilisasi/demobilisasi dengan mudah maka pesawat tersebut harus praktis, portable dan agar dioperasikan secara “take off hand launched” maka bobot dari pesawat harus ringan agar dapat diluncurkan dengan menggunakan tangan, sehingga berat pesawat harus lebih kecil dari 6 kg. Sementara itu, pada bagian Airframe/Fuselage PTTA terdapat berbagai instrument, untuk itu perlu lift yang besar dari pesawat, untuk memperoleh lift yang besar maka sayap harus luas, menggunakan wing aerofoil Un simetris dengan letak letak sayap berada diatas airframe dan menggunakan engine power yang tidak terlalu besar. Disamping instrumen yang terdapat dalam pesawat, PTTA dilengkapi video camera system dengan karakteristik sebagai berikut:
Resolusi: minimum sama dengan resolusi TV yaitu 420 baris
Berat: tidak lebih dari 500 gr
Volume: tidak lebih dari 350 cm3
Telemetry: Line of Sight (LOS) dengan frekuensi yang aman
Sistem kendali
Tahap manual
Pada tahap ini take off dan landing peran pilot (operator) mutlak diperlukan untuk mengendalikan PTTA mencapai ketinggian dan kecepatan operasi yang diinginkan serta untuk mengantisipasi keadaan pengendalian yang di luar dugaan. Pada tahap ini pilot menggunakan Remote Control Transmitter (R/C Tx) untuk mengendalikan PTTA. Dalam pengujian menggunakan R/C Tx, pilot dapat dengan efektif mengendalikan PTTA sampai pada jarak 1 km dengan kondisi baterai yang baik.
Kemudian setelah melalui serangkaian uji terbang, maka dilakukan beberapa perubahan pada rancangan awal. Perubahan tersebut adalah: panjang pesawat menjadi 1050 mm, panjang sayap menjadi 1800 mm dan bidang kendali aileron kiri dihilangkan. Perubahan-perubahan ini dilakukan untuk: menambah kecepatan jelajah PTTA, mendapatkan kestabilan static yang lebih baik serta meminimalisir bagian mekanik yang kritis di pesawat agar aman saat terjadi benturan ketika mendarat.
Tahap autopilot
Ketika PTTA sudah berada pada ketinggian operasi dan kecepatan terbang yang diinginkan maka pilot mengaktifkan sistem kendali autopilot.
Sistem ini meliputi: Wing leveler untuk menjaga pesawat tetap datar/level, Airspeed hold untuk menjaga kecepatan pesawat agar tetap pada satu angka kecepatan yang telah diprogram dan Altitude hold untuk menjaga ketinggian terbang pesawat agar tetap pada satu ketinggian yang telah diprogramkan. Pada pengujian autopilot sistem diperoleh hasil yang sangat baik, terindikasi dengan performa terbang (ketinggian, kecepatan dan kestabilan terbang) yang baik. Pesawat ini dapat terbang dengan lintasan lurus dan mendatar.
Sistem navigasi
PTTA memiliki system navigasi yang berbasis GPS. Pada uji penerbangan waypoint following (mengikuti titik-titik koordinat yang telah ditentukan) system navigasi ini bisa bekerja dengan baik. Navigasi berbasis GPS secara efektif memandu pesawat melakukan penerbangan PTTA melewati titik-titik koordinat yang telah diprogram dibantu dengan system autopilot. PTTA memiliki fungsi utama sebagai pengintai. Dengan demikian penempatan kamera video sebagai mata dari pesawat ini menjadi penting. Ada beberapa hal penting yang dipertimbangkan dalam penempatan kamera, antara lain memiliki sudut pandang yang terbuka, menjadi alat Bantu pengendalian bagi pilot dan ditempatkan pada dudukan yang kokoh.
Pemanfaatan pesawat nirawak
Pemanfaatan pesawat nirawak yang telah menunjukkan hasil menjanjikan di luar negeri umumnya jauh dari konsumen, di lokasi kerja, atau kawasan relatif terpencil yang biasanya menggunakan pesawat berawak.
Perusahaan tambang memakai kamera definisi tinggi yang terpasang pada badan pesawat nirawak untuk menciptakan peta tambang tiga dimensi yang penting dalam kalkulasi volume material yang telah digarap. Hal tersebut memungkinkan banyak perusahaan untuk menyesuaikan taksiran produksi. “Lebih cepat, lebih mudah, dan lebih efisien” daripada juru survei manusia atau pesawat berawak, ujar Thomas Lerch, pengguna pesawat nirawak untuk kepentingan pengukuran tambang kerikil dan tempat pembuangan sampah akhir di Swiss.
Contoh pesawat nirawak
Berbagai upaya dilakukan untuk meminimalisir kecelakaan dan jatuhnya korban jiwa. Teknologi pesawat nirawak adalah salah satu terobosan untuk mengurangi jatuhnya korban nyawa manusia dalam tugas-tugas di udara. Berikut ini ada beberapa jenis pesawat nirawak yang pada umumnya di pakai:
Helikopter nirawak ini diadopsi dari jenis helikopter ringan Schweizer Model 330SP. RQ-8A Fire Scout digunakan oleh U.S. Navy dalam misi pengintaian. Helikopter ini dapat beroperasi selama empat jam lebih dengan jarak 120 mil dari pusat kendali. Fire Scout dilengkapi dengan sistem navigasi berbasis GPS dan mampu beroperasi secara otonom. Karena mampu beroperasi secara otonom, pusat kendali dapat mengendalikan tiga helikopter tak berawak ini secara simultan. Sea Scout, kembangan dari helikopter tak berawak ini, bahkan mampu mengangkut rudal udara-darat (air-to-surface missiles) untuk misi pengeboman.
Pesawat nirawak ini adalah hasil kolaborasi antara AAI Amerika dan Israel Aircraft Industries. Pesawat ini telah dipergunakan oleh U.S. Marine Corps, U.S. Navy dan U.S. Army sejak 1986. Pioneer bertugas melakukan pengintaian, pengawasan, pencarian target, dan mendukung penembakan angkatan laut baik pada siang hari maupun malam hari. Pesawat ini dapat diluncurkan dari kapal dengan bantuan dorongan roket atau diluncurkan dari darat dengan bantuan katapel. Dengan panjang badan 14 kaki dan rentang sayap 17 kaki, Pioneer dapat terbang hingga ketinggian 15,000 kaki selama lima jam. Pioneer dapat mengangkut beban hingga 37 Kg dan dapat dilengkapi dengan sensor optic atau infrared dan alat pendeteksi ranjau.
Pesawat berbobot 20 Kg ini dapat terbang selama 15 jam dengan ketinggian lebih dari 16,000 kaki dan kecepatan 60 mil per jam. Pesawat ini dapat diluncurkan baik dari darat maupun dari kapal laut. Scan Eagle adalah pesawat nirawak yang tidak dapat dideteksi oleh radar, selin itu suaranya pun hampir tidak terdengar. Scan Eagle terbang dengan dipandu sistem GPS dan dilengkapi dengan kamera dan sensor infra-red.
Global Hawk adalah pesawat nirawak yang terbesar dan tercanggih di dunia saat ini. RQ-4 Global Hawk adalah pesawat nirawak pertama yang memperoleh sertifikasi dari FAA (badan penerbangan Amerika) untuk terbang dan mendarat di bandara sipil secara otomatis. Karena keunggulannya ini, Global Hawak diharapkan dapat menjadi perintis pesawat penumpang dengan pilot otomatis dimasa mendatang. Pada saat pengujian, Global Hawk mampu terbang dari Amerika Serikat menuju Australia pulang pergi dengan membawa sejulah alat pengintai. Untuk keperluan militer, pesawat ini dapat dipergunakan untuk melakukan pengintaian, pengawasan dan survey intelejen pada daerah yang luas dan dalam jangka waktu yang lama.
Northrop Grumman Global Hawk
Reaper adalah pesawat multi fungsi nirawak yang dikembangkan untuk menjadi mesin penghancur. Dalam operasi militer Amerika di Afghanistan dan Irak, MQ-9 dilengkapi dengan rudal AGM-114 Hellfire dan dipergunakan untuk memburu dan menghancurkan target. Pesawat ini dapat mengangkut beban hingga lima ton, berkecapatan 230 mil per jam pada ketinggian 50,000 kaki dan dapat terbang sejauh 3,682 mil. Pesawat ini dilengkapi dengan IR targeting sensor, laser rangefinder dan synthetic aperture radar. MQ-9 dapat dibongkar pasang dan diangkut ke berbagai lokasi dengan mudah.
AeroVironment Raven dan Raven B
RQ-11A Raven, yang dibuat pada tahun 2002-2003, adalah versi kecil dari 1999-vintage AeroVironment Pointer, yang dilengkapi dengan GPS navigation system, dan peralatan control. Badan pesawat ini terbuat dari Kevlar dan berbobot, dua Kilogram. Pesawat nirawak ini memiliki radius operasi lebih dari 6 mil dan dapat terbang selama 80 menit pada kecepatan 60 mil per jam. Raven B dilengkapi dengan berbagai jenis sensor dan laser target designator.
AeroVironment Raven dan Raven B: RQ-11A Raven
Karena bentuknya yang unik, pesawat nirawak ini sering disebut sebagai kacang terbang. Bombardier CL-327 VTOL adalah pesawat pengawas nirawak yang dimotori mesin Williams International WTS-125 turboshaft engine berdaya 100 tenaga kuda. Dengan bobot maksimum 300 Kg saat takeoff, CL-327 dapat difungsikan sebagai alat relay komunikasi, menginspeksi keadaan lingkungan dan melakukan patroli di daerah perbatasan. Pesawat ini telah banyak membantu aparat dalam upaya pemberantasan narkotika dan dalam operasi-operasi pengintaian militer. Pesawat ini dapat mengudara selama lime jam dan dilengkapi dengan berbagai sensor, datalink systems dan sistem navigasi baik berupa GPS maupun inertial navigation systems.
Pesawat ini adalah pesawat terbang nirawak yang paling banyak dipergunakan di dunia untuk keperluan non militer. Helikopter mini Yamaha RMAX, dapat dipergunakan untuk berbagai keperluan misalnya untuk menyemprotkan pestisida dan pupuk, dan melakukan survey untuk keperluan penelitian. Helikopter ini mempergunakan mesin YAMAHA dua langkah dan dapat terbang hingga ketinggian 500 kaki.
Desert Hawk mulai diproduksi pada tahun 2002, untuk memenuhi kebutuhan militer Amerika dalam misi-misi pengawasan di Irak. Desert Hawk digerakkan dengan mesin listrik dan dilengkapi dengan GPS. Pesawat ini dapat terbang hingga ketinggian 1000 kaki dan beroperasi secara otonom dengan panduan GPS. Pesawat nirawak ini dapat terbang dengan kecepatan 57 mil per jam dalam radius tujuh mil.
Predator yang mampu terbang dengan kecepatan 135 mil per jam ini adalah pesawat pengintai nirawak yang dilengkapi dengan persenjataan tempur. Predator mampu terbang hingga ketinggian 25,000 kaki dan menempuh jarak 450 mil. Predator dilengkapi dengan dua rudal AGM-114 Hellfire berpemandu laser. Pesawat ini merupakan pesawat terbang nirawak pertama yang dapat menghancurkan terget-terget di darat. Predator pertama kali dipergunakan dalam operasi militer Amerika di Afghanistan.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mengembangkan Pesawat Udara Nir Awak (PUNA) untuk berbagai keperluan pemantauan dari udara, seperti pemetaan, pemantauan kebakaran hutan, mitigasi bencana, pencarian korban hingga keperluan militer.
Prinsipnya PUNA mampu membawa terbang berbagai peralatan seperti kamera, alat pengintai dan sejenisnya hingga seberat 20 kg," kata Deputi Kepala BPPT bidang Teknologi Industri Rancang Bangun dan Rekayasa, Surjatin Wirjadidjaja di Jakarta, Senin.
Mengenai harga pesawat nir awak dengan pesawat sejenis buatan negara lain, ia menyebutkan, sekitar ratusan juta rupiah. Nilai tersebut bertambah tergantung dari peralatan yang dibawanya.
Kegiatan pengembangan PUNA diawali dengan pembuatan wahana sasaran tembak atau target dron yang digunakan untuk meningkatkan kemampuan prajurit Pusenart (Pusat Senjata Artileri) TNI-AD. PUNA dirancang mempunyai kecepatan jelajah 80 knot dengan jangkauan terbang mencapai 30 km di ketinggian sekitar 7.000 kaki.
Selain UAV LSU 02 Lapan, Indonesia juga mengembangkan UAV Sriti buatan BPPT. UAV Sriti telah unjuk kebolehan dihadapan para siswa Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat /SESKOAD di Subang-Jawa Barat 2 Mei 2013. Sebelum dibawa ke siswa Seskoad, UAV Sriti melakukan uji coba menggunakan engine baru, tanggal 25 April 2013 di Batujajar-Jawa Barat. Pengujian ini untuk mengetahui kehandalan sistem propulsi dan kesesuaian mencapai terbang mandiri. Dalam rangkaian pengujian tersebut juga dilakukan uji kehandalan sistem transmisi data dari UAV ke Ground Control Station (GCS). Operasi terbang Sriti terpantau dari hasil pengiriman dokumentasi data parameter terbang, foto dan video yang secara real time dikirim Ground Control.
UAV Sriti dioperasikan untuk pengintaian terbang berdurasi 2 jam dengan jangkauan radius 75 km. Kelebihan Sriti adalah, tidak memerlukan landasan untuk take off dan hanya menggunakan peluncur serta dapat mendarat menggunakan jaring. UAV Sriti dioperasikan oleh satu regu prajurit (10 orang) untuk memasang, menarik peluncur, monitoring GCS, bongkar pasang jaring dan pilot. Sistem ini cocok dipakai TNI AD dan dapat dimobilisasi dengan mudah ke berbagai tempat.
Meski UAV Sriti masih dalam skala riset, SESKOAD berkeyakinan dimasa mendatang TNI AD membutuhkan banyak UAV model Sriti untuk melakukan pengawasan teritorial di wilayah perbatasan bahkan akan ditempatkan disetiap KOREM. UAV Sriti juga dipersiapkan untuk misi pemantauan (surveillance & recognition) pergerakan penyerangan dan pertahanan pasukan militer.
Pesawat ini berwarna putih. Sriti adalah wahana udara nirawak jarak dekat dengan konfigurasi desain playing wing menggunakan catapult (pelontar) sebagai sarana take off dan jaring sebagai sarana landing.
"Sriti untuk surveillance. Karena bisa take off dengan peluncuran dan landing di jaring maka bisa dipakai untuk melengkapi Angkatan Laut pada peralatan di KRI. Sriti ini bisa melihat ke depan sejauh 60-75 km. Jadi bisa dikatakan sebagai mata KRI," papar Chief Engineer BPPT, Muhamad Dahsyat di lokasi.
Yang kedua, imbuh Dahsyat, untuk memenuhi kebutuhan pengamanan lokal area seperti bandara. Bisa juga dipakai untuk tindakan SAR di gunung-gunung, jadi lebih efektif.
Spesifikasi pesawat:
Rentang sayap: 2.988 mm
Berat lepas landas maksimum (MTOW/Maximum Take Off Weight): 8,5 kg
Pesawat ini bermotif loreng dengan warna hijau tua dan hijau muda tentara. Alap-alap adalah wahana udara nirawak jarak menengah dengan konfigurasi desain V-tail terbalik dan batang ekor ganda (double boom) menggunakan landasan keras sebagai sarana lepas landas.
Alap-alap didesain untuk jelajah jauh, tetapi hanya untuk kebutuhan pengamatan (surveillance) saja.
Pesawat ini bermotif loreng dengan warna oranye dan putih.
Gagak adalah wahana udara nirawak jarak jauh dengan konfigurasi desain V-tail, low wing dan low boom, menggunakan landasan keras sebagai sarana lepas landas dan mendarat.
Puna Gagak ini sama dengan Pelatuk tetapi berbeda misi, yaitu untuk misi rendah-tinggi-rendah. Puna Gagak dapat digunakan untuk kebutuhan Angkatan Laut.
Pesawat ini bermotif loreng dengan warna putih, abu-abu dan krem.
Pelatuk adalah wahana udara nirawak jarak jauh dengan konfigurasi desain V-tail terbalik, high wing dan high boom, menggunakan landasan keras untuk lepas landas dan mendarat.
Sama seperti Puna Gagak, misi Puna Pelatuk bersifat rendah-tinggi-rendah.
Selain memiliki Sriti, BPPT juga mengembangkan UAV Wulung dengan ukuran yang lebih besar dari Sriti dan membutuhkan landasan untuk take off. Kontrak produksi UAV Wulung dengan BPPT telah dilakukan tanggal 29 April 2013. BPPT menyatakan kesiapannya untuk memproduksi pesawat nirawak tersebut bekerjasama dengan PT Dirgantara Indonesia (DI) sebagai pelaksana produksi. PT LEN ikut bekerjasama dalam mengembangkan UAV yang lebih modern.
Puna Wulung memiliki spesifikasi berat kosong maksimal 60 kg, berat muatan 25 kg, kecepatan jelajah 55 knot, bentang sayap 6,34 meter, ketahanan terbang empat jam dan ketinggian terbang 12.000 kaki di atas permukaan tanah. Pesawat tersebut dilengkapi kamera pengintai yang dihubungkan dengan pusat pengendali di darat.
Saat ini tim UAV Wulung terus mengembangkan pesawat tersebut.
’’Pesawat ini sekarang masih memiliki kemampuan 3,5 gravitasi. Kami sedang kembangkan agar memiliki kemampuan 7 gravitasi sehingga mampu menahan beban ratusan kilogram,’’ ujar Kepala Program UAV BPPT, Joko Purnomo.
Umumnya, pesawat militer tak berawak milik negara maju telah berada di level tiga. Level tertinggi atau level empat yang mampu dicapai saat ini adalah kemampuan jelajah di atas 70 ribu kaki.
Wulung akan memenuhi kebutuhan skuadron Supadio TNI AU, Pontianak. Dengan adanya UAV, fungsi pengawasan oleh kapal dan pesawat berawak TNI AU bisa lebih efisien. UAV bisa menggantikan biaya tinggi akibat pengawasan di wilayah perbatasan.
Selain untuk keperluan militer, UAV Indonesia juga digunakan untuk pengawasan transportasi, SAR, penelitian atmosfer, pengawasan kebencanaan, kargo operasi hujan buatan, penyebaran benih, pengamatan vegetasi daerah kritis yang sulit, pengambilan gambar film dan lain sebagainya.
Pesawat ini bermotif loreng hijau tosca dan abu-abu.
Wulung ini medium. Terbang bisa mencapai waktu 6 jam. Dan muatannya cukup hingga bisa dipakai untuk membuat hujan buatan maupun penyebaran benih.
Lembaga Penerbangan Dan Antariksa Nasional /LAPAN akhirnya berhasil menerbangkan pesawat nirawak atau Unmanned Aerial Vehicle (UAV) LSU 02 sejauh 200 kilometer dengan waktu tempuh dua jam, pergi dan pulang ke lapangan udara Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat. UAV dengan bahan bakar Pertamax Plus (RON 95) ini terbang secara autonomous dan berhasil kembali mendarat dengan mulus di lapangan udara Pameungpek, Garut.
“UAV ini bisa terbang sangat jauh hingga 5 jam. Lima liter pakai Pertamax Plus oktan 95. Kalau terbang 1 jam 0,9 liter,” ucap Kepala Bidang Avionic LAPAN Ari Sugeng di acara Harteknas di Aula BPPT Jakarta.
LSU 02 berbobot 15 kg, dilengkapi 2 kamera foto dan kamera video. Pesawat ini mampu terbang dengan ketinggian 3000 meter. Lapan kini sedang menyiapkan generasi baru UAV yang mampu terbang hingga ketinggian 7200 meter, dengan payload dan endurance yang lebih besar. Dalam artian, Lapan terus meningkatkan jangkauan terbang (long distance), kemampuan terbang (long endurance), kemampuan terbang secara automatis (autonomous flying), dan kemampuan take off dan landing.
Pesawat nirawak LSU 02 besutan LAPAN ini sebelumnya telah memecahkan rekor dari Museum Rekor Indonesia atau yang akrab disebut dengan MURI untuk kategori pesawat UAV atau nirawak yang mampu menempuh jarak terbang terjauh, yakni sejauh 200 km.
LSU 02 buatan LAPAN ini mampu membawa beban dengan berat maksimal hingga 3 kg dengan kecepatan terbang hingga 100 km/jam. Pesawat nirawak seperti LSU 02 ini sangat bermanfaat untuk memantau wilayah yang sulit dijangkau manusia atau wilayah yang berbahaya, misal memotret kawah gunung berapi atau memantau kawasan bencana.
Pesawat nirawak LSU 02 besutan LAPAN ini memiliki panjang sayap hingga 2400mm dan panjang badan pesawat 1700mm. Seperti layaknya pesawat UAV lainnya, pesawat LSU 02 ini memiliki kemampuan untuk terbang secara otomatis yang dikandalikan dari jauh atau diprogram untuk menuju sasaran tertentu.
Seperti yang dilansir dari Kompas (22/08/2013), era modern seperti sekarang ini keberadaan pesawat nirawak seperti LSU 02 sangat bermanfaat. Tak hanya digunakan untuk memantau wilayah yang sulit dijangkau atau berbahaya, pesawat nirawak dapat dimanfaatkan oleh militer untuk misi pengintaian di wilayah musuh.
LSU 02 adalah Pesawat Tanpa Awak yang Mampu Terbang secara Autonomous. Kinerja terbang pesawat nirawak yang sering menjadi ukuran yaitu kemampuan jangkauan terbang (long distance), kemampuan lama terbang (long endurance), kemampuan terbang secara automatis (autonomous flying), dan kemampuan take off dan landing. Kemampuan tersebut juga menyangkut aspek inovasi aircraft (desain pesawat terbang), propulsi, avionik, dan aerodinamika
Pesawat LSU 02 merupakan hasil penelitian dan pengembangan Pusat Teknologi Penerbangan Lapan. Pesawat UAV yang telah melakukan berbagai misi ini mampu terbang secara autonomous dengan jangkauan terbang hingga 300 kilometer
Spesifikasi LSU 02
Panjang badan: ± 2.000 mm
Rentang sayap: 2.500 mm
Daya mesin: 10 PK/ 3,5 ltr
Daya jelajah: 5 jam
Jangkauan maksimum: 450 km
Komunikasi telemetri: 900 MHz dengan daya 1 watt
Sistem kendali: Sistem otomatis (autonomous flying system)
Pesawat antariksa ini lazim diproduksi dan diterbangkan. Karena tidak membawa manusia di dalamnya, pesawat ini lebih bebas bergerak dan memiliki fungsi yang lebih variatif. Dalam bahasa Inggris, pesawat seperti ini disebut unmanned spaceplane. Sebagian wahana antariksa nirawak difungsikan sebagai satelit ruang angkasa, seperti Sputnik 1. Beberapa contoh wahana antariksa nirawak adalah Explorer 1, Project SCORE, SOHO, berbagai tipe Sputnik, Syncom, X-37, dan sebagainya.
Karena dirancang untuk terbang nirawak, pesawat luar angkasa ini tidak memiliki sistem pengendali langsung. Gerakan dan pengendalian pesawat ini dilakukan dengan jarak jauh dari bumi. Jadi para ahli memonitor pesawat yang sedang terbang melalui serangkaian peralatan pendukung di bumi.
Wagner, William. Lightning Bugs and other Reconnaissance Drones; The can-do story of Ryan's unmanned spy planes. 1982, Armed Forces Journal International, in cooperation with Aero Publishers, Inc.
Carafano, J., & Gudgel, A. (2007). The Pentagon’s robots: Arming the future [Electronic version]. Backgrounder 2093, 1-6.
Singer, P. (2009a). Military robots and the laws of war [Electronic version]. The New Atlantis: A Journal of Technology and Society, 23, 25-45.
Singer, P. (2009b). Wired for war: The robotics revolution and conflict in the 21st century. New York: Penguin Group.
UVS International Non Profit Organization representing manufacturers of unmanned vehicle systems (UVS), subsystems and critical components for UVS and associated equipment, as well as companies supplying services with or for UVS, research organizations and academia.