Kiribati (nama resmi Republik Kiribati) merupakan sebuah negara kepulauan yang terletak di kawasan Samudera Pasifik bagian tengah.[1] Wilayah negara tersebut terdiri atas tiga kepulauan yakni Kepulauan Gilbert, Kepulauan Line dan Kepulauan Phoenix.[2] Ibukota Kiribati berada di Tarawa yang merupakan sebuah atol dari Kepulauan Gilbert di wilayah bagian barat-tengah Samudera Pasifik.[3]
Etnis Kiribati (bahasa Kiribati : I-Kiribati) merupakan penduduk asli dari Kiribati dan secara etnisitas kaum tersebut merupakan bagian dari Mikronesia.[4] I-Kiribati menuturkan bahasa Kiribati, sekalipun bahasa Inggris digunakan sebagai resmi di Kiribati dan diajarkan dalam sekolah dasar dan menengah.[5] Selain itu, terdapat etnis minoritas yang hidup di Kiribati seperti kaum I-Kiribati/campuran dan etnis Tuvalu, juga terdapat komunitas lain yang hidup di Kiribati termasuk orang Tionghoa, orang Australia, orang Selandia Baru dan orang Eropa.[6] Mayoritas penduduk Kiribati terkonsentrasi di Tarawa Selatan.[7]
Sebab perubahan iklim di Kiribati
Secara geografis, wilayah Kiribati terdiri atas gugusan atol (pulau karang) dan pulau-pulau kecil yang tersebar di Samudera Pasifik bagian tengah. Wilayah Kiribati berpotensi hilang dikarenakan perubahan iklim.[8]Perubahan iklim tersebut disebabkan oleh meningkatnya suhu udara, curah hujan, air laut dan pencemaran samudera.[9] Dalam hal ini, iklim di Kiribati pada masa depan akan dipengaruhi oleh keberlanjutan dari peningkatan suhu udara, curah hujan, air laut dan pencemaran samudera.[10]
Salah satu penyebab yang signifikan pada perubahan iklim di wilayah Kiribati adalah kenaikan permukaan air laut. Permukaan air laut yang meningkat ini merupakan dampak dari penipisan gas ozon di atmosfer dan mencairnya es di Kutub Utara dan Kutub Selatan. Dalam hal ini, para ilmuwan menyatakan bahwa perubahan iklim (salah satunya melalui kenaikan permukaan air laut) tersebut berperan dalam menenggelamkan pulau-pulau terpencil dan membahayakan garis pantai di seluruh dunia.[11] Dengan demikian, Kiribati menjadi negara yang paling rentan terkena dampak dari perubahan iklim tersebut, dikarenakan wilayah Kiribati terdiri atas gugusan atol (pulau karang) dan pulau-pulau kecil.
Dampak perubahan iklim di Kiribati
Perubahan iklim di Kiribati sangat terasa di sebuah desa bernama Tebunginako yang mana penduduk desanya terpaksa untuk direlokasi ke dataran yang lebih tinggi pada tahun 1994 karena air laut sering mengenangi desanya dan juga erosi pantai.[12][13]
Perubahan iklim yang terjadi di wilayah Kiribati menjadi salah satu faktor yang menyebabkan sebagian besar masyakarat Kiribati melakukan migrasi, baik di dalam wilayah Kiribati maupun ke luar negeri. Dikarenakan erosi merusak tanaman pangan, air laut membanjiri kolam air tawar dan warga terpaksa mengungsi.[14] Di dalam negeri, mayoritas masyarakat Kiribati melakukan migrasi ke Tarawa Selatan dan Kiritimati.[15] Tujuan emigrasi dari sebagian besar masyarakat Kiribati adalah Fiji, Selandia Baru dan Australia.[16] Salah satu contohnya yaitu terjadi pada Ioane Teitiota yang mana mengajukan suaka di Selandia Baru pada tahun 2013 karena perubahan iklim yang terjadi negaranya, meskipun pengajuan suaka ditolak dan dia dideportasi pada tahun 2015.[17] Migrasi tersebut diproyeksikan akan semakin meningkat dikarenakan keberlanjutan dari fenomena perubahan iklim yang berpengaruh secara signifikan bagi kehidupan perekonomian dan kebudayaan dari masyarakat Kiribati serta melanjutkan kehidupan yang lebih baik dalam hal pekerjaan maupun pendidikan di wilayah urban seperti Tarawa Selatan dan Kiritimati atau di wilayah negara lain seperti Fiji, Selandia Baru dan Australia.
Perubahan iklim menjadi sebuah tantangan bagi Pemerintah Kiribati untuk melakukan penatakelolaan negaranya. Dalam hal ini, Pemerintah Kiribati telah mengeluarkan kebijakan berkenaan dengan dampak perubahan iklim atas wilayah Kiribati yakni National Adaptation Program for Action (NAPA) tahun 2007, Kiribati Development Plan (KDP) 2012-2015 tahun 2012, National Disaster Risk Management Plan (2012) dan National Framework for Climate Change and Climate Change Adaptation (2013).[18] Presiden Anote Tong memiliki visi yakni “Migration with Dignity” (Mengungsi secara Terhormat) yang diimplementasikan melalui penyediaan pendidikan berskala internasional bagi I-Kiribati yang berguna untuk mencari pekerjaan di luar negeri sebagai salah satu kebijakan pro-aktif dalam menangani proses perubahan iklim.[19] Selain itu, Kiribati membeli tanah seluas 5.460 ha dari sebuah lahan di Vanua Levu (pulau terbesar kedua di Fiji) pada tahun 2014 sebagai tempat penyimpanan makanan dari I-Kiribati dan sebagai tempat relokasi untuk masyarakat Kiribati[20] serta menjamin ketahanan pangan saat perubahan iklim terjadi.[21]
Selandia Baru menyediakan lotre tahunan yang mereka sebut Pacific Access Ballot.[22] Lotre ini disediakan bagi 75 penduduk Kiribati untuk pindah ke negara di selatan bumi itu. Namun kuota lotre itu dikabarkan tidak pernah terisi penuh.[22] Alasannya tentu saja dapat diterima akal sehat: tidak ada orang yang ingin meninggalkan rumah, keluarga, dan kehidupan asli mereka.[22]
Di sisi lain, terdapat upaya pengembangan terknologi berupa rekayasa teknik dan arsitektur yang mampu berdiri dan bertahan, seperti benteng pasir laut hingga teknologi reklamasi, untuk melindungi wilayah masyarakat Kiribati sekaligus meningkatkan ketahanannnya.[23] Selain itu, Kiribati mengadakan kerjasama dengan beberapa negara untuk melakukan penanggulangan terhadap perubahan iklim, salah satunya dengan Indonesia.[24]