Perjanjian Jatisari
Perjanjian Jatisari (bahasa Jawa: ꧋ꦥꦿꦗꦚ꧀ꦗꦺꦤ꧀ꦆꦁꦗꦠꦶꦱꦫꦶ, translit. prajanjèn ing Jatisari) adalah sebuah perjanjian yang ditandatangani pada 15 Februari 1755. Penandatanganan perjanjian tersebut bertempat di Jatisari, yang kini menjadi sebuah wilayah di dalam desa Sapen, Kecamatan Mojolaban, Kabupaten Sukoharjo. Perjanjian ini menentukan dasar kebudayaan bagi kedua kerajaan yang telah terbagi lebih dulu dalam Perjanjian Giyanti, yakni Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.[1] Latar belakangPerjanjian ini timbul sebagai tindak lanjut dari Perjanjian Giyanti yang telah ditandatangani pada 13 Februari 1755, dua hari sebelumnya. VOC melalui gubernur Nicolaas Hartingh bersama dengan Hamengkubuwana I melakukan perjalanan menuju Jatisari untuk menemui Pakubuwana III. Jatisari dipilih karena menjadi titik tengah antara Surakarta dan Giyanti.[2] Kepergian rombongan tersebut guna melakukan pertemuan untuk tujuan rekonsiliasi setelah Perjanjian Giyanti. PerjanjianPerjanjian ini ditandatangani oleh Pakubuwana III dan Hamengkubuwana I, dengan disaksikan oleh Gubernur VOC Nicolas Haartingh. Selain itu, Pakubuwana III juga memberikan keris Kyai Kopek kepada Hamengkubuwana I. Dalam tradisi Jawa, pemberian keris Kyai Kopek dimaknai sebagai sebuah upaya harmonisasi kedua belah pihak. Istilah 'Kopek' dalam bahasa Jawa adalah persusuan, yang memiliki makna Keraton Yogyakarta yang baru saja lahir itu adalah sebuah kerajaan yang mengibu kepada induknya yakni Surakarta Hadiningrat. Hubungan keduanyan bukan musuh/saingan, melainkan layaknya ibu dan anak yang harus saling mengasihi dan menghormati satu sama lain.[3] Isi perundinganPerjanjian Jatisari membagi budaya Kesultanan Mataram, dalam hal ini adalah tata cara berpakaian, adat istiadat, bahasa, gamelan, tari-tarian, dan lain-lain. Kasultanan Yogyakarta memilih untuk tetap mempertahankan budaya yang sudah ada sejak masa Kesultanan Mataram, sedangkan Kasunanan Surakarta Hadiningrat memilih untuk mengembangkan budaya baru, namun tetap berdasarkan budaya Mataram.[1] Hal pokok lain yang disampaikan dalam pertemuan di Jatisari tersebut yakni pihak Keraton Surakarta Hadiningrat memberikan masing-masing sebagian dari wilayah Kabupaten Nayaka yang dimilikinya kepada Kasultanan Yogyakarta sebagai wulu pametu (sumber pendapatan kerajaan). Dimana Keraton Surakarta memiliki wilayah Kabupaten Nayaka di bagian Kedu dan Bagelen. Masing-masing wilayah tersebut ialah Kabupaten Nayaka Tumbak Anyar, Siti Sewu, Bumija, dan Bumi. Adapun yang diberikan kepada Yogyakarta adalah Kabupaten Nayaka Bumija dan Numbak Anyar saja.[3] Referensi
Pranala luar |