Perdamaian Kartago

Perdamaian Kartago adalah "perdamaian" sangat brutal yang diwujudkan dengan melenyapkan musuh sepenuhnya. Istilah ini berasal dari bentuk perdamaian yang diwujudkan Romawi di Kartago. Usai Perang Punisia Kedua, Kartago kehilangan semua koloninya, dipaksa membubarkan militernya, membayar upeti rutin ke Romawi, dan hanya bisa berperang atas seizin Romawi. Pada pengujung Perang Punisia Ketiga, Romawi membumihanguskan Kartago dan memperbudak penduduknya.

Asal mula

Istilah ini berasal dari hasil rentetan perang antara Romawi dan kota Kartago di Punisia, biasa disebut Peperangan Punisia. Kedua kekaisaran ini terlibat dalam tiga perang yang berbeda melawan satu sama lain sejak 264 SM hingga 146 SM.

Pada akhir Perang Punisia Ketiga, Romawi mengepung Kartago. Setelah kota berhasil direbut, mereka membantai sebagian besar penduduknya, memperbudak sisanya, dan menghancurkan seluruh kota. Tidak ada bukti fisik yang memperkuat pandangan modern bahwa Romawi menggarami tanah di sana.[1]

Lantas, perdamaian Kartago bisa mengacu kepada perjanjian damai brutal yang menuntut pihak yang kalah untuk tunduk total.

Modern

Pada era modern, istilah ini dipakai untuk segala bentuk perjanjian damai yang terlalu memberatkan dan sengaja dirancang untuk menonjolkan kelemahan pihak yang kalah. Setelah Perang Dunia I, banyak orang (termasuk ekonom John Maynard Keynes)[2] menyebut Perjanjian Versailles sebagai "Perdamaian Kartago".

Rencana Morgenthau yang diusulkan usai Perang Dunia II juga dicap "Perdamaian Kartago" karena mendorong deindustrialisasi Jerman. Rencana ini bertujuan memangkas pengaruh kekuasaan Jerman di Eropa dan mencegah remiliterisasinya yang sebelumnya pernah terjadi usai Perang Dunia I (remiliterisasi Rhineland). Rencana Morgenthau digantikan oleh Rencana Marshall (1948–1952) yang mendorong pemulihan infrastruktur Eropa Barat, khususnya Jerman Barat.

Jenderal Lucius D. Clay, wakil jenderal Dwight D. Eisenhower sekaligus Gubernur Militer Zona Pendudukan Amerika Serikat di Jerman (1945), pernah berkata, "JCS 1067 jelas-jelas mempertimbangkan perdamaian Kartago yang sempat memengaruhi operasi kami pada bulan-bulan pertama pendudukan di Jerman, padahal AS waktu itu masih menerapkan Rencana Morgenthau."[3] Clay kelak menggantikan Eisenhower sebagai gubernur dan panglima di Eropa. Rencana Marshall dipilih karena kebangkitan ekonomi Jerman Barat dinilai perlu demi memulihkan ekonomi seluruh Eropa. Jerman Barat dipandang sebagai pesaing utama Blok Timur.

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Ridley, R.T. (1986). "To Be Taken with a Pinch of Salt: The Destruction of Carthage". Classical Philology. 81 (2): 140–146. doi:10.1086/366973. JSTOR 269786. 
  2. ^ Keynes, John Maynard. The Economic Consequences of the Peace. New York: Harcourt, Brace and Howe, 1920.
  3. ^ A Nation at War in an Era of Strategic Change, p.129 (Google Books)

Daftar pustaka

  • L.Loreto, L’inesistente pace cartaginese, in M. Cagnetta ed., La pace dei vinti, Roma 1997, 79 ff.