Perang Napu–Ondae

Perang Napu–Ondae (bahasa Inggris: Napoe–Ondae War), adalah sebuah perang suku yang terjadi antara To Napu menghadapi To Ondae yang berlangsung sekitar tahun 1892 hingga 1902. Perang ini, memakan korban 194 jiwa di kedua belah pihak. Penaklukan militer Belanda mengakhiri tradisi perang suku dan melarang praktik mengayau di antara penganut agama suku di Poso.[1]

Latar belakang

Misionaris Belanda, A.C. Kruyt, menggambarkan rangkaian peperangan ini sebagai sebuah peristiwa yang sangat masif. Pada bulan April 1893, saat ia melakukan kunjungan untuk keempat kalinya ke Poso bersama keluarganya, ia sempat menyaksikan perang antara kedua suku ini. Ia menuliskan: "Untuk menyerang To Ondae, To Napu harus melewati wilayah To Pebato. Akibatnya, terjadi saling menyerang antara To Napu yang dibantu oleh To Pebato dengan kelompok suku To Ondae." Peperangan tersebut berlangsung sampai akhir tahun 1894. Dalam keadaan yang sulit ini, Kruyt yang membawa misi penginjilan mencoba melakukan upaya untuk meredam situasi tersebut sebagai pintu masuk untuk melakukan tugas yang dibebankan kepadanya oleh Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG). Di Poso, ia memetakan kondisi sosial politik, serta membangun lobi dengan para pemangku kepentingan (Kabosena), juga melobi Pemerintah Hindia Belanda untuk menekan Luwu yang memiliki pengaruh dan kuasa terhadap wilayah Pamona ketika itu.[2]

Penyelesaian

Upaya perdamaian antara Ondae dan Napu pernah terlaksana di wilayah Lage oleh Magido, seorang tokoh masyarakat dari Lage. Gagasan awal untuk perdamaian pertama kali muncul di kawasan tanah milik Umana Soli di wilayah Napu yang disebut Urumopenga, sekitar akhir tahun 1894. Magido mengawali diplomasi bersama dengan tokoh Napu Umana Soli dengan mengutus 3 orang, yaitu Papa I Melempo (Gaweda) dan Nduwa (Talasa) sebagai tokoh netral dan perwakilan dari To Lage, serta Papa I Gale (Rangga) yang mewakili To Ondae. Dalam proses diplomasi, yang diawali dengan cara berbalas Kayori (pantun) tersebut, kedua belah pihak sepakat untuk menghentikan peperangan dengan cara poraasi, dengan catatan harus ada 1 orang yang dijadikan tumbal sebagai tempat pelampiasan amarah kedua belah pihak. Menurut beberapa sumber, lokasi pelaksanaan perdamaian berada di Peladia pada tahun 1898, sebuah tempat di sekitar desa Panjoka saat ini, sedangkan versi lain menyebut tahun 1905. Peladia dipilih sebagai tempat yang representatif untuk melakukan perdamaian, karena sesuai dengan kesepakatan bahwa pelaksanaan perdamaian harus dilaksanakan di tempat netral, yaitu wilayah Lage.[2]

Sebelum pelaksanaan prosesi perdamaian, baik pihak To Napu maupun Ondae telah membangun pondok darurat (hondo) beberapa hari sebelumnya di Peladia secara berhadap-hadapan. Di bagian tengahnya terdapat sebuah panggung kecil (lampa'ani) dengan tinggi kurang lebih 3 meter dari tanah. Sore menjelang hari pelaksanaannya, seorang dukun wanita pribadi Magido bernama nDoi Bungu yang akan dikorbankan dijemput di kebunnya dengan pesan: "Komi ndapeboo I mpue" (Anda diminta datang oleh Tuan). Ia berkemas, kemudian berjalan beriringan dengan penjemputnya. Dari ketinggian di atas panggung, ia memandang perkemahan dari kedua belah pihak. nDoi Bungu berkata: "Kurata ndayamo pu'u pampeboo I mpue yaku" (saya sudah paham tujuan Tuan memanggil saya). Ia lebih banyak berdiam diri dan tidak menyentuh makan malamnya, sampai akhirnya gugur sebagai "pahlawan perdamaian", pada esok harinya.[2]

Dampak

Kruyt mencatat bahwa desa-desa seperti Wawo nTolo telah lenyap sejak lama, sementara yang tertua dari semua desa Ondae —Bomba— adalah desa terakhir yang dihancurkan. Peristiwa ini terjadi pada akhir abad ke-19. Dalam perang ini, Morengku —koloni Bomba— juga hancur serta banyak desa lainnya. To Bomba kemudian menetap di Laro Bomba dan kemudian di Tompira.[3]

Referensi

  1. ^ Sangadji, Arianto (12 September 2006). "Kekerasan Poso dan Ekspansi Modal". IndoPROGRESS. Diakses tanggal 17 Mei 2017. 
  2. ^ a b c Waru, Darwis (13 Juli 2017). "Hentikan Perang Ondae vs Napu". Kaili Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-08-15. Diakses tanggal 15 Agustus 2017. 
  3. ^ Kaudern 1925, hlm. 134.

Sumber