Peperangan Nikea–Latin
Peperangan Nikea–Latin merupakan peperangan yang terjadi antara Kekaisaran Latin dan Kekaisaran Nikea, yang dimulai dari keruntuhan Kekaisaran Bizantium oleh Perang Salib Keempat pada tahun 1204. Kekaisaran Latin dibantu oleh Negara-negara Tentara Salib yang didirikan di wilayah Bizantium setelah Perang Salib Keempat dan Republik Venesia, sedangkan Kekaisaran Nikea dibantu secara berkala oleh Kekaisaran Bulgaria Kedua dan oleh saingan Venesia, Republik Genoa. Konflik ini juga melibatkan Epirus, yang juga menyatakan diri sebagai penerus Kekaisaran Bizantium dan menentang hegemoni Nikea. Penaklukan kembali Konstantinopel oleh Nikea pada tahun 1261 M dan restorasi Kekaisaran Bizantium di bawah dinasti Palaiologos tidak menghentikan konflik, karena pihak Bizantium melancarkan serangan secara berkala untuk merebut Yunani Selatan (Kepangeranan Akhaya dan Kadipaten Athena) dan Kepulauan Aegea sampai abad ke-15, sedangkan pihak Latin, dipimpin Kerajaan Napoli, mencoba untuk memulihkan kembali Kekaisaran Latin dan menyerang Kekaisaran Bizantium. Latar BelakangWalaupun ada perintah dari Paus untuk tidak menyerang Konstantinopel, para tentara salib menjarahnya pada tahun 1204. Mereka lalu mendirikan Kekaisaran Latin yang berpusat di Konstantinopel. Konstantinopel adalah sebuah kota suci dan Nikea berniat merebutnya kembali untuk menjadi penerus yang sah dari Kekasiaran Bizantium. Jalannya perangSerangan di Adramitium (1205)Henry dari Flanders, saudara lelaki Kaisar Latin Baldwin I dari Konstantinopel, didorong oleh orang-orang Armenia untuk menyerang kota Adramitium . Dia berangkat dari Abydos setelah meninggalkan garnisun di kota, dan berkuda selama dua hari sebelum berkemah sebelum Adramitium. Kota itu menyerah dengan segera, dan Henry menduduki kota itu dan menggunakannya sebagai pangkalan untuk menyerang Bizantium. Pada tanggal 19 Maret 1205, Konstantin Laskaris, yang berniat untuk membalaskan kekalahan Perang Salib Keempat, muncul di depan tembok kota. Henry, yang tidak ingin terperangkap di dalam tembok Kota Adramitium, membuka gerbang dan menyerbu dengan kavaleri beratnya. Kedua pihak terlibat dalam pertempuran jarak dekat, hingga kemenangan diraih oleh pihak Latin, yang membunuh atau menawan sebagian besar pasukan Bizantium. Pihak Latin kemudian merebut senjata dan harta dalam jumlah yang besar. Pertempuran Rhyndacus (1211)Setelah kekalahan Nikea, Kekaisaran Latin berada dalam posisi yang menguntungkan. Akan tetapi, adanya serangan Bulgaria di Eropa memaksa pihak Latin untuk melakukan gencatan senjata dan pergi. Pada tahun 1211, hanya sebuah eksklave kecil di sekitar Pegai yang berada di bawah kendali Latin. Mengambil kesempatan dari kekalahan Nikea kepada Kekaisaran Seljuk pada Pertempuran Antioch di Meander, Henry mendarat dengan pasukannya di Pegai dan bergerak timur menuju Sungai Rhyndacus pada tanggal 15 Oktober 1211. Henry memiliki sekitar 260 ksatria Franka. Laskaris memiliki pasukan yang lebih besar secara keseluruhan, tetapi jumlah ksatrianya hanya sedikit, karena mereka mengalami kekalahan besar sebelumnya. Laskaris mempersiapkan penyergapan di Rhyndacus, tetapi Henry menyerbu posisinya dan mencerai-beraikan pasukan Nikea dalam pertempuran seharian pada 15 Oktober. Kemenangan Latin, kabarnya tanpa satu pun korban, sangat menentukan: setelah pertempuran Henry menyusuri wilayah Nikea tanpa gangguan, bahkan sampai ke Nymphaion. Peperangan berakhir setelahnya, karena kedua belah pihak setuju dengan Perjanjian Nymphaeum, yang memberi Kekaisaran Latin kendali atas sebagian besar Mysia sampai desa Kalamos ( Gelembe modern), yang disetujui menjadi wilayah tak berpenghuni dan menjadi perbatasan antara kedua negara. Pihak Nikea mengambil inisiatif (1214)Setelah Perjanjian Nimfaum, pendiri Kekaisaran Nikea yang energetik, Theodore I Laskaris, meninggal,[1] dan digantikan oleh menantunya, Ioannis III Doukas Vatatzes, yang memenangkan perang saudara yang terjadi setelah kematian Theodore I Laskaris. [1] Suksesi itu diperdebatkan oleh saudara-saudara Theodore, yaitu sebastokratores Alexios Laskaris dan Isaac Laskaris, yang memberontak dan meminta bantuan dari kaisar Latin, Robert dari Courtenay. Memimpin pasukan Latin, mereka bergerak menyerang Vatatzes. Kedua pasukan bertemu di Poimanenon, di dekat sebuah gereja yang didedikasikan untuk Malaikat Tertinggi Michael . Dalam pertempuran yang terjadi, pihak Nikea mendapat kemenangan yang telak; kedua saudara Laskaris ditangkap dan dibutakan. Kemenangan ini membuka jalan bagi pemulihan sebagian besar wilayah Latin di Asia. Terancam oleh Nicaea di Asia dan Epirus di Eropa, kaisar Latin membuat perjanjian damai pada tahun 1225. Menurut perjanjian itu, pihak Latin meninggalkan seluruh wilayah Asia mereka kecuali pantai timur Bosporus dan kota Nikomedia dan sekitarnya. Eskalasi konflik (1214–1235)Setelah Kaisar Latin Robert dari Courtenay meninggal pada tahun 1228, Jean dari Brienne menjadi wali pemerintahan. Setelah kekalahan telak Epirus oleh Bulgaria di Pertempuran Klokotnitsa,[2] ancaman Epirus ke Kekaisaran Latin hilang, tetapi digantikan oleh Nikea, yang mulai memperoleh wilayah di Yunani. Kaisar Ioannis III Doukas Vatatzes dari Nicea membuat aliansi dengan Bulgaria. NIkea dan Bulgaria secara bersama melakukan kampanye militer melawan Kekaisaran Latin pada tahun 1235. Pengepungan Konstantinopel oleh Nikea-Bulgaria (1235)Adipati Naxos, Angelo Sanudo, mengirimkan sebuah regu angkatan laut untuk mempertahankan Konstantinopel pada tahun 1235, di mana Kaisar Jean dari Brienne sedang dikepung oleh Ioannis III Doukas Vatatzes, Kaisar Nikea, dan Ivan Asen II dari Bulgaria. Pengepungan bersama itu gagal.[3] Nikea dan Bulgaria mundur pada musim gugur untuk menghindari musim dingin. Ivan Asen II dan Vatatzes setuju untuk melanjutkan pengepungan pada tahun depan, tetapi Kaisar Bulgaria menolak untuk mengirimkan pasukan. Dengan kematian Jean dari Brienne pada tahun 1237, ada kemungkinan Ivan Asen II bisa menjadi wali dari Kekaisaran Latin, sehingga pihak Bulgaria memutuskan perjanjian. Dengan adanya intervensi lanjutan dari Angelo, genjatan senjata ditandatangani oleh kedua belah pihak. Kemajuan Nikea (1235–1259)Meskipun Kekaisaran Latin berhasil memenangkan pengepungan tahun 1235, mereka tidak dapat menghentikan Kekaisaran Nikea. Selama 26 tahun ke depan, pihak Latin secara bertahap kehilangan wilayah mereka kepada pihak Nikea. Pada tahun,1247 pihak Nikea telah secara efektif mengepung Konstantinopel, dan satu-satunya halangan mereka hanyalah temboknya yang teguh. Titik puncak: Pelagonia (1259)Setelah kemenangan tahun demi tahun, pihak Nikea memutuskan untuk melakukan ofensif pada musim semi tahun 1259, dan bergerak dengan cepat ke arah barat di sepanjang Via Egnatia, merebut Kota Ohrid dan Deavolis . Michael II dari Epirus, yang berkemah di Kastoria, terperangah oleh kecepatan gerakan mereka, dan ketika pihak Nikea menyeberangi celah Vodena untuk menghadapinya, ia terpaksa mundur bersama pasukannya melintasi pegunungan Pindus ke wilayah Avlona dan Bellegrada, yang berada di bawah kendali Manfred, sekutunya. Dalam pengundurannya, yang berlanjut di malam hari, pihak Epirus kehilangan banyak prajurit di jalur gunung yang berbahaya. [4] Setelah pihak Epirus hampir dihancurkan, sekutu Sisilia mereka memutuskan untuk mengirimi mereka bantuan: sebanyak 400 ksatria, yang mendarat di Avlona untuk bergabung dengan pasukan Michael II dari Epirus. [5] Sementara itu, William II dari Villehardouin memimpin pasukan dari Kepangeranan Akhaya, Kadipaten Athena, Triarki Negroponte, dan Kadipaten Naxos . Michael VIII tidak tertarik pada konfrontasi langsung. Oleh karena itu, dia menggunakan strategi untuk memecah musuh-musuhnya. Strategi ini berhasil; pihak Nikea menang secara telak, dan restorasi Kekaisaran Bizantium dimulai. Kebuntuan: Pengepungan Nikea di Konstantinopel (1260)Setelah Michael VIII memenangkan kemenangan besar pada Pertempuran Pelagonia di musim panas 1259, sebagian besar lawan Palaiologos tewas, tertangkap, atau terasingkan. Oleh karena itu, Palaiologos bebas untuk memusatkan perhatiannya kepada Konstantinopel.[3][6] Setelah melewati musim dingin di Lampsakos, Palaiologos melintasi Selat Hellespont pada Januari 1260 dengan pasukannya dan bergerak menuju Konstantinopel.[7] Dia mengepung kota itu. Dia terlebih dahulu mengisolasi kota dengan merebut benteng dan permukiman di sekitarnya,sampai sejauh Selymbria (sekitar 60 km dari kota), serta menyerangGalata.Serangan ini berskala besar lengkap dengan mesin pengepungan dan penggalian dinding, serta diawasi secara langsung oleh Palaiologos dari posisi yang tinggi. Namun, Galata tetap bertahan karena perlawanan yang tekun dari penduduknya dan bantuan yang dikirim dari Konstantinopel dengan perahu dayung. Menghadapi keadaan ini, dan khawatir dengan berita akan adanya bantuan bagi Galata, Michael menghentikan pengepungan Pada Agustus 1260, gencatan senjata ditandatangani antara Michael VIII dan Baldwin II dengan durasi satu tahun (hingga Agustus 1261).[8] Meskipun pengepungan gagal, Michael VIII mulai membuat rencana untuk mencoba lagi. Pada bulan Maret 1261, ia bernegosiasi dengan Republik Genoa,yang menghasilkan Perjanjian Nymphaeum, memberinya akses ke angkatan laut mereka dengan imbalan perjanjian perdagangan. Perjanjian itu juga berfungsi sebagai pakta pertahanan antara kedua negara melawan Republik Venesia, musuh utama Genoa dan pendukung utama dari Kekaisaran Latin. Tahap Akhir (1261)Pertempuran
Lihat jugaReferensi
Sumber
|