Penggurunan atau desertifikasi adalah jenis degradasi lahan ketika lahan yang relatif kering menjadi semakin gersang, kehilangan badan air, vegetasi, dan juga hewan liar.[2] Penggurunan umumnya disebabkan oleh berbagai faktor seperti perubahan iklim dan kegiatan manusia. Penggurunan adalah masalah lingkungan dan ekologis global yang signifikan.[3]
Definisi
Berbagai kontroversi hadir dalam menentukan definisi yang layak mengenai istilah penggurunan. Helmut Geist (2005) telah menemukan 100 definisi formal, namun definisi yang diterima lebih luas adalah definisi dari kampus Universitas Princeton yang mendefinisikan penggurunan sebagai "proses perubahan lahan yang subur menjadi gurun, umumnya merupakan hasil dari pengawahutanan, kekeringan, atau praktik pertanian yang tidak layak."[4]
Perbincangan paling awal dari topik ini muncul setelah penjajahan Prancis di Afrika Barat ketika sebuah komite kajian melakukan penelitian untuk mengetahui proses perluasan Gurun Sahara pada zaman prasejarah.[5]
Sejarah
Padang pasir yang diketahui saat ini terbentuk melalui proses alami dalam waktu yang sangat panjang. Selama waktu tersebut, padang pasir telah meluas dan menyusut tanpa peran campur tangan manusia. Padang pasir prasejarah berukuran lebih besar dibandingkan padang pasir terluas saat ini, yaitu Sahara, hingga dapat disebut sebagai lautan pasir, yang kini stabil karena vegetasi.[6]
Penggurunan memainkan peran penting dalam sejarah manusia, yang menyumbang pada keruntuhan beberapa kerajaan besar seperti Kartagena, Yunani, dan Romawi, dan menyebabkan perpindahan penduduk dalam skala besar.[3][7][8][9]
Lahan kering menutupi 40-41% luas lahan di bumi[10][11] dan menjadi rumah bagi 2 miliar penduduk.[11] Diperkirakan 10-20% lahan kering telah terdegradasi.[12][13] Hingga tahun 1998, perluasan ke arah selatan Padang Pasir Sahara tidak diketahui karena kurangnya pengukuran perluasan ketika itu.[14]
Tiga lokasi utama yang menjadi pusat peradaban pada zaman dahulu, yaitu Mediterania, Mesopotamia, dan dataran tinggi loessial di Tiongkok sebelumnya merupakan kawasan padat penduduk hingga penggurunan terjadi.[15]
Penyebab
Penyebab utama penggurunan adalah menghilangnya vegetasi yang terjadi karena berbagai hal seperti kekeringan, perubahan iklim, aktivitas pertanian, penggembalaan hewan berlebih, dan penggundulan hutan. Vegetasi memainkan peran penting dalam menentukan komposisi biologis dari tanah. Sebuah kajian menunjukan bahwa di berbagai lingkungan, laju pengikisan dan aliran air permukaan berkurang secara eksponensial dengan meningkatnya luas tutupan vegetasi.[16] Permukaan lahan kering yang tidak terlindungi akan tertiup oleh angin atau tersapu oleh banjir bandang, meninggalkan lapisan tanah yang tidak subur dan terpanggang oleh cahaya matahari dan tidak menjadi produktif. Namun, sebuah penelitian lain menunjukan bahwa pergerakan hewan ternak dan hewan liar menjadi faktor penentu utama dalam mempertahankan vegetasi dan kualitas tanah, dan menghilangnya hewan ternak dan hewan liar menjadi salah satu penyebab penggurunan.[17][18][19][20]
Mitigasi dan pencegahan
Metode untuk mitigasi atau membalikkan efek penggurunan telah diusulkan, tetapi terdapat halangan dalam menerapkannya. Salah satunya adalah praktik pertanian berkelanjutan yang diketahui mampu mengurangkan penggurunan, terkadang membutuhkan biaya melebihi keuntungan petani. Masalah lainnya adalah rendahnya motivasi politik dan pembiayaan dalam reklamasi lahan dan program antipenggurunan.[21]
Penghutanan kembali mampu mencegah penggurunan dari akar permasalahannya, yaitu pengawahutanan. Berbagai organisasi lingkungan seperti Eden Reforestation Projects[24] bekerja pada ruang lingkup tempat pengawahutanan dan penggurunan menyumbang pada kemiskinan. Mereka fokus pada pembinaan masyarakat setempat mengenai pengawahutanan dan memberdayakan mereka untuk menumbuhkan bibit yang ditanam pada musim hujan di lahan yang telah ditebang habis.[25]
Mitigasi dan pencegahan umumnya fokus pada dua aspek dasar, yaitu penyediaan air dan menyuburkan tanah. Penumbuhan vegetasi rintisan sedikit membantu kedua hal tersebut, yang pada akhirnya akan diikuti oleh vegetasi lain yang lebih besar dan memberikan manfaat lebih.
Memperbaiki kondisi tanah dapat dilakukan dengan penggunaan vegetasi pemecah angin. Pemecah angin dibangun dari tegakkan pepohonan dan semak yang digunakan untuk mencegah pengikisan dan evapotranspirasi tanah yang tinggi.
Beberapa jenis tanah seperti tanah liat akan terkonsolidasi (tersatukan) (penurunan volume curah tanah) akibat minimnya keberadaan air. Pembajakan mampu mengembalikan keporosan dan volume tanah.[26]
^Bogumil Terminski (2011), Towards Recognition and Protection of Forced Environmental Migrants in the Public International Law: Refugee or IDPs Umbrella, Policy Studies Organization (PSO), Washington.
Barbault R., Cornet A., Jouzel J., Mégie G., Sachs I., Weber J. (2002). Johannesburg. World Summit on Sustainable Development. 2002. What is at stake? The contribution of scientists to the debate. Ministère des Affaires étrangères/adpf.
Batterbury, S.P.J. & A.Warren (2001) Desertification. in N. Smelser & P. Baltes (eds.) International Encyclopædia of the Social and Behavioral Sciences. Elsevier Press. pp. 3526–3529
Lucke, Bernhard (2007): Demise of the Decapolis. Past and Present Desertification in the Context of Soil Development, Land Use, and Climate. Online at [1]
Reynolds, James F., and D. Mark Stafford Smith (ed.) (2002) Global Desertification – Do Humans Cause Deserts? Dahlem Workshop Report 88, Berlin: Dahlem University Press
Stelt, Sjors van der (2012) Rise and Fall of Periodic Patterns for a Generalized Klausmeier-Gray-Scott Model, PhD Thesis University of Amsterdam
Beyerlin, Ulrich. Desertification, Max Planck Encyclopedia of Public International Law
Bell, Trudy (December 6, 2002). "City-swallowing Sand Dunes". NASA. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-06-19. Diakses tanggal 2006-04-28.Parameter |coauthors= yang tidak diketahui mengabaikan (|author= yang disarankan) (bantuan)