Pemberontakan Wat Tyler, Pemberontakan Petani, atau Kekacauan Besar 1381 adalah salah satu dari sejumlah pemberontakan populer di Eropa yang terjadi pada akhir abad pertengahan dan merupakan salah satu peristiwa besar dalam sejarah Inggris. Pemberontakan ini tidak hanya menjadi pemberontakan yang paling ekstrem dan luas dalam sejarah Inggris, tetapi juga pemberontakan abad pertengahan terbaik yang pernah didokumentasikan. Nama-nama para pemimpinnya seperti John Ball, Wat Tyler dan Jack Straw masih akrab dan sering muncul dalam budaya populer, meskipun sedikit yang diketahui tentang riwayat hidup mereka.
meskipun berakhir dengan kegagalan, pemberontakan ini telah menandai awal dari berakhirnya perbudakan di Inggris pada abad pertengahan. Pemberontakan ini juga meningkatkan kesadaran penduduk kelas atas akan perlunya reformasi feodalisme di Inggris, sementara disisi lain penderitaan dirasakan oleh penduduk kelas bawah sebagai akibat dari perbudakan paksa yang mereka alami.
Latar belakang
Penarikan pajak
Pemberontakan ini terjadi pada masa pemerintahan Raja Richard II sebagai akibat dari upayanya untuk menegakkan pajak pada abad pertengahan. Pajak ini pertama kali dikenakan pada tahun 1377 yang diduga untuk membiayai pasukan militer di luar negeri.[1] Pemungutan pajak ketiga dikenakan pada tarif yang tidak tetap (seperti pada tahun 1377) dan juga tidak sesuai dengan jadwal[2] (seperti halnya pada tahun 1379), melainkan memungut pajak pada beberapa warga miskin dengan tarif yang berkurang, sementara warga lain yang sama-sama miskin harus membayar pajak dengan tarif penuh, sehingga hal tersebut menciptakan ketidakadilan. Tarif pajak yang ditetapkan naik menjadi tiga menir (setara dengan 12 pence atau satu shilling), dibandingkan dengan tarif pajak tahun 1377 yang hanya empat pence. Usia Raja Richard II yang masih sangat muda untuk memerintah Inggris (14 tahun) adalah alasan lain yang memicu meletusnya pemberontakan. Sekelompok orang tidak populer dan korup yang mendominasi pemerintahannya juga menimbulkan ketidakpercayaan rakyat. Orang-orang ini diantaranya John of Gaunt (Adipati Lancaster), Simon Sudbury (Lord Chancellor dan Uskup Agung Canterbury).
Pajak juga dipungut dengan sangat tinggi pada perempuan yang sudah menikah, yang dikenakan pajak secara terpisah dari suami mereka terlepas dari pendapatan atau status pekerjaan. Perempuan memainkan peranan yang besar dalam pemberontakan, baik sebagai pemimpin ataupun sebagai bagian dari massa pemberontak.[3]
Kekurangan buruh
Musibah Kematian Hitam yang melanda Inggris pada tahun 1348 hingga 1350 turut mengurangi jumlah buruh yang akan dipekerjakan. Akibat langkanya kebutuhan akan buruh, para buruh yang masih hidup menuntut upah yang lebih tinggi dan jam kerja yang lebih sedikit, serta ada juga yang meminta kebebasan. Hal ini mendorong Edward III dan Parlemen Inggris untuk mengesahkan Undang-Undang Perburuhan pada tahun 1351. Undang-undang ini berusaha mengekang tuntutan para buruh dengan menetapkan kembali upah kerja ke periode sebelum terjadinya musibah Kematian Hitam serta membatasi mobilitas tenaga kerja. Namun, dalam penerapannya hanya buruh yang dipekerjakan oleh tuan tanah yang secara umum dibebaskan. Sementara para buruh pengrajin dan buruh tani yang bekerja pada majikan lain yang lebih substansial sama sekali tidak memperoleh hak-hak mereka. Penegakan hukum baru ini membuat marah para petani dan memicu alasan lain untuk melakukan pemberontakan.
Jalannya pemberontakan
Insiden di desa-desa Essex di Fobbing dan Brentwood menjadi pemicu awal pemberontakan.[4] Pada tanggal 30 Mei 1381, Thomas Bampton ditugaskan untuk mengumpulkan pajak dari para warga desa di Fobbing.[5][6] Para penduduk desa, yang dipimpin oleh Thomas Baker, seorang tuan tanah lokal, mengatakan bahwa mereka tidak akan membayar apapun pada Bampton, dan Bampton dipaksa untuk meninggalkan desa dengan tangan kosong. Kemudian, Robert Belknap (Kepala Court of Common Pleas) diutus oleh kerajaan untuk menyelidiki insiden tersebut dan menghukum para pelaku. Pada tanggal 2 Juni, Belknap diserang di Brentwood. Pada saat itu, kemarahan akan ketidakadilan yang memicu pemberontakan telah menyebar ke seantero negeri. CountyEssex dan Kent sudah berada dalam situasi pemberontakan penuh. Para pemberontak segera pindah mendekati kota London dan kemudian melakukan aksi pemberontakan bersenjata.[7]
Di tempat lain di London, Istana Savoy, yang merupakan kediaman dari paman raja Inggris, John dari Gaunt, adalah salah satu bangunan yang juga dihancurkan oleh para pemberontak. Pejabat-pejabat kerajaan yang tidak populer seperti Richard Lyons juga ditangkap dan dipenggal.[8]
^The Tax Returns of the Wapentakes of Staincliffe and Ewercross are transcribed in full in Speight, Harry (1892). "The Craven and north-west Yorkshire highlands". hlm. 29–60, see p 27-6; or by downloading the PDF facsimile, see hal. 38–69.
Andrew Godsell (2008), "The Peasants' Revolt and the Radical Tradition" in Legends of British History
P. J. P. Goldberg (2004), Medieval England 1250–1550: A Social History, ISBN 0-340-57745-2; Chapter 13 is devoted to the Peasants' Revolt.
Christopher Hampton (1984), A Radical Reader: The Struggle for Change in England, 1381–1914
John J. Robinson (1990), Born in Blood: The Lost Secrets of Freemasonry, ISBN 0-87131-602-1; Chapters 1–5 concern the Peasants' Revolt. It makes a (somewhat speculative) case for a Knights Templar connection, tracing some revolt features (e.g., the names of leaders, especially Wat Tyler, the special targets of the destruction in London, etc.) to traditions surviving the suppression of that order and its destruction on the Continent a few generations earlier.