Pembantaian Manili adalah suatu kejadian pembunuhan massal 65-70 Muslim Moro, termasuk wanita dan anak-anak, yang terjadi di sebuah masjid di Manili, Carmen, North Cotabato, Filipina, pada 19 Juni 1971.
Kelompok militant Kristen Ilaga diduga berada di belakang penyerangan tersebut, tetapi terdapat tuduhan pula bahwa Konstabulari (polisi) Filipina juga terlibat atau berkolaborasi dengan Ilaga dalam insiden tersebut. Dalam kejadian tersebut, pihak berwajib tidak menemukan pihak yang dianggap bertanggung jawab.[1][2] Akibatnya, rasa ketidakpercayaan antara penduduk Muslim Moro terhadap tentara dan pemerintah Filipina yang mayoritas Kristen pun semakin memuncak.[3]
Kejadian tersebut menimbulkan reaksi keras dari Dunia Islam. Pemimpin Libya saat itu, Muammar Qaddafi, menanggapi kejadian itu dengan mengirimkan Menteri Penerangan Libya Saleh Buwaysir untuk menemui Presiden Ferdinand Marcos. Ia lalu menyatakan bahwa Libya berkeinginan memberikan bantuan kepada para pengungsi, dan bahwa Presiden Marcos telah menyambut baik isyarat ini.[4]
Dampak langsung dari kejadian itu ialah pada 15 Juli 1971, sekelompok 30 orang Muslim Filipina, yang terdiri dari senator, mantan senator, anggota kongres, pejabat tinggi pemerintah, pemimpin organisasi Islam, sarjana, intelektual agama, akademisi, profesional, dan pemimpin mahasiswa berkumpul dan menandatangani suatu manifesto kesepakatan untuk bersatu, yang pada 21 Juli 1971 diterbitkan di Manila Times. Pemimpin klan-klan Islam yang banyak bersaing secara politik dengan itu menyatakan bahwa kepentingan Bangsa Moro secara keseluruhan berada di atas kepentingan-kepentingan kelompok lokal mereka.
Di kemudian hari terbentuklah kelompok perjuangan Moro National Liberation Front (MNLF), Bangsamoro Liberation Organization (BMLO), Moro Islamic Liberation Front (MILF), dan organisasi lainnya yang melakukan perlawanan kepada pemerintah Filipina, yang mana banyak para pemimpin utamanya adalah dari penandatangan manifesto tersebut.
Lihat pula
Referensi