Pañcatantra adalah sebuah karya sastra dunia yang berasal dari Kashmir, India dan ditulis pada abad-abad pertama Masehi.
Pengantar
Pañcatantra ini mengisahkan seorang brahmana bernama Wisnusarma yang mengajari tiga pangeran dungu putra prabu Amarasakti mengenai kebijaksanaan duniawi dan kehidupan, atau secara lebih spesifik disebut ilmu politik atau ilmu ketatanegaraan. Ilmu pelajarannya terdiri atas lima buku, itulah sebabnya disebut Pañcatantra yang secara harafiah berarti “lima ajaran”. Lima bagian ini merupakan lima aspek yang berbeda dari ajaran sang brahmana ini. Bagian-bagian tersebut di dalam buku bahasa Sanskerta yang berjudulkan Tantrakhyāyika dan dianggap sebagai redaksi Pañcatantra yang tertua, adalah sebagai berikut:
Mitrabheda (Perbedaan Teman-Teman)
Mitraprāpti (Datangnya Teman-Teman)
Kākolūkīya (Peperangan dan Perdamaian)
Labdhanāśa (Kehilangan Keberuntungan)
Aparīkṣitakāritwa (Tindakan yang Tergesa-Gesa)
Ciri khas Pañcatantra ini terutama ialah bahwa ceritanya dikisahkan dalam bentuk cerita bingkai dan banyak mengandung fabel-fabel. Cerita bingkai ini juga disebut dengan istilah kathāmukha dan cerita-ceritanya semua dianyam menjadi satu dengan yang lain. Setelah setiap cerita yang biasanya dalam bentuk prosa, moral cerita diringkas dalam bentuk seloka.
Cerita-cerita fabel Pañcatantra banyak yang berdasarkan cerita-cerita jataka.
Penyebaran
Pañcatantra yang bentuk aslinya ditulis dalam bahasa Sanskerta ini, mungkin adalah satu-satunya karya sastra kuno yang paling luas penyebarannya dan paling banyak diterjemahkan serta digubah di seluruh dunia. Ada kurang lebih 200 versi dalam 50 bahasa. Versi-versi ini tersebar dari Indonesia di ujung timur sampai Islandia di ujung barat Dunia Lama. Sudah jelas tentunya karya sastra ini banyak mengalami perubahan-perubahan dalam proses alihbahasa dan penggubahan ini.
Bahkan di Persia, karya sastra ini diterjemahkan dua kali, pertama kalinya dalam bahasa Parsi kuno atau bahasa Pahlevi oleh Burzoe, seorang tabib raja Persia, Syah Anusyirwan, pada tahun 672 Masehi dari bahasa Sanskerta. Terjemahan Parsi ini memiliki judul Karataka wa Damanaka dan diterjemahkan ke dalam bahasa Suryani (bahasa Aram), lalu dari bahasa Suryani ke bahasa Arab. Gubahan dalam bahasa Arab ini sekarang disebut cerita Kalilaq wa Damanaq atau hikayat Kalilah dan Daminah. Dari versi Arab ini dibuatkan lagi sebuah terjemahan dalam bahasa Parsi dan dari bahasa ini diterjemahkan ke bahasa Turki. Terjemahan bahasa Turki ini penting sebab versi inilah yang dibawa ke Eropa Barat .
Penyair fabel Prancis dari abad ke-17 yang termashyur, Jean de la Fontaine yang menulis bukunya yang berjudulkan Fables yang terdiri atas 12 jilid pada tahun 1692–1694, juga memasukkan cerita-cerita Pañcatantra. Konon cerita-ceritanya ini dikarang oleh seorang brahmana bernama Bidpay atau Pilpay. Nama ini kemungkinan korupsi kata dari bahasa Sanskerta widyapati (raja pengetahuan).
Kembali lagi ke Pañcatantra dari tradisi Arab yang disebut Kalilah dan Daminah, ada pula sebuah terjemahannya yang dibuat dalam bahasa Melayu melalui versi bahasa Parsi. Lalu dari bahasa Melayu ada lagi terjemahan yang dibuat dalam bahasa Jawa. Namun dari Eropa hikayat Kalilah dan Daminah ini juga dibawa ke Asia Tenggara dan dibuatkan lagi sebuah terjemahan ke dalam bahasa Melayu oleh Gonggrijp pada paruh kedua abad ke-19. Maka lingkaran sudah tertutup sebab karya sastra Pañcatantra ini juga dibawa ke timur, langsung dari India, terutama ke Asia Tenggara di mana terdapat beberapa versi.
Penyebaran Pañcatantra ke Timur
Cerita Pañcatantra juga dibawa ke timur, menuju ke Asia Tenggara. Versi-versi yang diketahui ada dalam bahasa Thai, bahasa Laos dan beberapa bahasa di Indonesia. Selain bahasa Jawa dan Melayu, ada juga versi dalam bahasa Bali, bahasa Madura dan kemungkinan bahasa Sunda (Kuno) . Versi-versi dalam bahasa Jawa Kuno serta bahasa Thai dan bahasa Laos banyak memperlihatkan persamaan secara struktural dengan sebuah gubahan Pañcatantra dalam bahasa Sanskerta dari India bagian selatan yang disebut Tantropākhyāna. Bahkan seloka-seloka yang ada dalam versi prosa Jawa Kuno banyak yang menunjukkan persamaan dengan yang ada di Tantropākhyāna.
Tantropākhyāna yang masih ada sudah tidak lengkap lagi. Cerita bingkai atau kathāmuka sudah tidak ada dan dari empat buku yang semestinya ada, cuma tersisa tiga.
Meskipun naskah Tantropākhyāna yang ditemukan ini tidak lengkap lagi, tetapi setelah diperbandingkan dengan sebuah versi dalam bahasa Tamil dan versi-versi Asia Tenggara lainnya yang masih berkerabat bisa disimpulkan bahwa Tantropakhyāna ini strukturnya agak berbeda dengan Tantrakhyāyika yang disinggung di atas ini, cerita-ceritanya juga lain. Tantropakhyāna tidak terdiri atas lima buku tetapi terdiri atas hanya empat buku yang namanya juga lain pula:
Nandakaprakaraṇa (cerita seekor lembu)
Maṇḍūkaprakaraṇa (cerita si kodok)
Pakṣiprakaraṇa (cerita para burung)
Piśacaprakaraṇa (cerita para pisaca (semacam raksasa))
Lalu kathāmukha atau cerita bingkainya juga berbeda. Di mana dalam Tantrakhyāyika seperti disinggung di atas ini mengisahkan seorang brahmana yang ingin mengajarkan ilmu politik kepada tiga pangeran yang dungu, dalam versi-versi lain yang berkerabat dengan Tantropakhyāna, cerita bingkai ini mengisahkan seorang raja yang ingin menikah setiap malam, mirip dengan kisah cerita "1001 Malam". Di sini harus diberi catatan bahwa cerita bingkai ini dalam naskah tunggal Tantropakhyāna sudah tidak tersimpan lagi. Dalam Tantri Kāmandaka, begitulah sebutan teks ini dalam bahasa Jawa Kuno, kathāmukha ini disebut Wiwahasarga, atau arti harafiahnya ‘kisah pernikahan’.
Pañcatantra dalam bentuk relief
Cerita-cerita dari Pancatantra juga banyak ditemukan dalam bentuk relief. Relief-relief ini banyak pula ditemukan di pulau Jawa. Candi-candi yang mengandung relief-relief Pancatantra antara lain adalah:
juga dikenal sebagai: Tantrakhyayika — Panchakhyana — Kalila and Dimna — The Lights of Canopus — The Fables of Bidpai/Pilpay — The Moral Philosophy of Doni — Tantri Kamandaka — Nandaka-prakarana